Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-Burung di Jalan

1 Mei 2021   09:08 Diperbarui: 1 Mei 2021   09:09 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kendaraan minibus sekolah berhenti di muka sebuah gang kecil yang lebarnya tak bisa memuat.  Pak supir memarkir di tanah terbuka tanpa menghalangi jalan masuk. Para penumpang cilik di bangku tengah dan belakang bersiap turun. Tanpa mengurangi berisiknya yang seperti tak sabar untuk keluar dari kumpul bocah yang mengungkung kebebasan mereka. 

"Keluar satu-persatu anak-anak! Jangan berebut!" aku memberi peringatan kecil.

"Baik pak Guru" jawab mereka serempak. Namun tetap saja mereka bertumpuk hendak saling mendahului, sehingga aku terpaksa menjaga dan mengaturnya bergiliran keluar pintu.

Suara murid-murid kecil ini bertambah pecah ketika menjejak di ruang terbuka, amat berbeda ketika mereka berada di dalam ruang kelas. Aku tersenyum membariskan mereka sehabis semua turun, memeriksa pasukan murid kecil yang berlenggok tanpa beban.

"Rumahnya Hani dimana pak Guru?" murid paling cerewet memulai kicaunya.

"Di jalan sini" kataku menunjuk gang tadi.

Lalu barisan kami masuk menyusuri jalan gang yang lumayan rapat. Namun terlihat lingkungannya tertata rapih, rumah-rumah kecil sederhana berwarna pastel berjejer terlihat bersih.  Aku masih merunut deretan nomor yang tertempel di setiap rumah sekiranya mendekati rumah murid perempuanku Hani.

"Pak Guru! Merpati!" pasukan cilik di punggungku mengusik konsentrasi. Anak esde ini kembali bising. Aku sedikit menengadah memandang deretan kotak-kotak burung merpati. Beberapa beterbangan, sebagian berputar mengangguk-angguk di serambi kayunya.

"Burung-burung lucu! Indahnya? Aku takut!" beragam kata keluar dari bibir mungil mereka, memaksaku menenangkan. "Ssstt. Kita telah tiba students!"

Dan nomor rumah yang kami cari telah selesai, selang bersebelahan dengan kayu-kayu ruang atas kandang  para merpati dengan kesibukan mereka dari yang melayang, mematuk, hingga berputar menggelembungkan bulu halus lehernya dengan suara menderu-deru.

Aku menatap merpati hanya warna tiga adanya, dari hitam, putih dan abu atau paduannya. Entah aku segera menerbitkan rasa yang curiga kepada mereka. Ada sekonyong rasa syak yang merayap dari balik mataku yang menjalar ke permukaan pikiranku meski aku lalu menganggapnya aneh.

Selanjutnya ternyata pintu kayu telah ternganga dan seorang perempuan yang masih cukup muda, menyambut langkah kedatangan kami.

"Silakan masuk" katanya halus.  

"Ah! Terima kasih. Maaf perkenalkan saya guru baru, mungkin ibu belum mengenal saya. Roma" aku mengenalkan diri.  "Rita" jawab ibu Hani menyambut genggam tanganku.

"Ah! Saya bersama sebagian teman satu kelas Hani. Mau menengoknya. Mmmm.. bagaimanakah kesehatannya?"

"Mari, dia ada terbaring.." ibu Hani membawa kami menuju kamar mungilnya.

"Hani..Hani kamu kenapa" anak-anak yang berkata melirih. Memandang anak perempuan sebayanya yang terbujur membuka sekejap mata, lalu menutup kembali. Bibirnya memaksakan senyum kecil. Parasnya pucat, tubuhnya lurus. Menciptakan kami semua mendadak sepi.

"Dokter bicara untuk tidak banyak bergerak. Dia mengeluhkan kepalanya berputar jika bangkit.." ibu Hani menerangkan dengan ucapan yang menyekat.

"Kasihan Hani.." anak berbisik semakin perlahan, beberapa mata bening mereka berkabut. Lalu saya memecah atmosfir kamar yang memekat untuk membawa pasukan kecil menyegarkan pindah ke ruang tamu. Sedang aku kembali ke kamarnya bersama ibu Hani. Lalu hanya aku, Rita ibu Hani dan Hani yang terbeku di ranjangnya.

"Saya pikir untuk segera ke rumah sakit ibu.." tak ada kata lain keluar dari mulut saya.

"Yah. Rencana besok harus biopsi. Karena memang satu minggu kebelakang ini tanpa perobahan. Katanya kepalanya selalu pening. Berputar.." Rita seperti tak hendak melanjut kata. Hanya matanya yang basah yang mengatakan lebih.

"Maaf. Mmmm..Bapak Hani..?

"Dia sudah tidak ada.." perempuan beranak satu itu menggeleng. Parasnya menunduk yang malah mengalirkan genangan.

Sehabis jeda lama, aku menawarkan. "Biarlah saya mengantarkannya besok, ibu..". sang ibu hanya mengangguk dan aku sangat memakluminya.

Tak lama kami meninggalkan ibu beranak itu. Kembali melewati jalan kecil kumpulan merpati yang seperti semula. Sayap-sayapnya mengepak seakan menebar embun di seputar tubuhnya. Mereka ada berkejaran.

"Baris sedikit cepat, anak-anak!" perintahku setengah menghindar lintasan merpati. Kembali aku tak menyukai suasana di seputaran unggas-unggas itu, seakan menemukan musuh  tanpa wujud di waktu yang akan datang. Yang mana lintasannya, seperti mebuyarkan bubuk-bubuk halus yang menyesakkan dan bertengger diam di dalam kepalaku.

***

Pagi ini aku permisi dan sudah berada di rumah sakit bersama Rita. Sedang Hani sang puteri kecil kelas tiga dasar itu sudah terlelap semenjak berangkat. Kami berdua hanya menanti dengan mata satu arah, di muka sebuah kamar putih dingin dimana pintu besarnya rapat tertutup.

"Saya harap dia baik-baik saja" kataku sesekali menatap. Sekerlip dia membalas hanya pandang dari redup bola matanya. Wajah piasnya terlihat derita, meski diselingnya aku masih merasakan sayup  kecantikannya. Mungkin berjam kami terduduk, padahal telah dua kali aku membeli sekedar teh hangat dan penganan yang hanya seteguk direguk tanpa lagi disentuhnya. Perempuan itu seperti patung, dingin dan terdiam. Seperti membaca firasat hati seorang ibu.
Hingga pintu terbuka dan brangkar putih bermuat mahluk kecil itu bergegas didorong perawat, sementara kami mengejar mendampinginya.

"Hani sabar dan kuat, ya nak.." sang ibu membisik disisinya mengikuti laju brankar, sementara tentu saja anak perempuannya tak berespon, hanya terlihat balutan kain di kepalanya yang membebat begitu banyak. Matanya tetap terpejam.

Kupandang Rita bermata linang namun berkutat dengan kekuatan seorang bunda. Sedang aku? Apalah. Seorang bujang terlambat yang mengantar dengan mata yang tiba-tiba berkabut. Yang semakin tidak karu-karuan saat dokter bertangan kuat menahan kami berdua.

"Bapak ibu tetap disini.  Ini darurat! Kami harus mempersiapkan operasi!" Dokter penolong berwajah dingin itu melangkah cepat bersama brankar gadis membelakangi kami. Sementara suster menjelaskan dengan kertas-kertasnya yang bersoal  persetujuan operasi. Aku mematung tak terbaca semua abjad sedang Rita sudah terkulai di sofa dinding. Beberapa suster menjelaskan kepadaku seakan aku seorang ayah, dan sekilas miris ku baca akan satu baris kalimat perihal pembedahan otak.

"Ibu harus menandatanginya.." aku menyorongkan lembar kertas ke tangan Rita. Di tabahnya dia membaca sama seperti yang ku baca dan tangan indahnya menuliskan tanda tangannya yang terlihat bergetar.
Lalu setelah itu kami hanya menunggu waktu yang paling lama yang pernah ada,mungkin selama yang tak pernah kuketahui hingga dimensi yang tak pernah tertembus waktu.

***

Bendera kuning kertas itu basah tertunduk sehabis hujan. Tersandera sepi. Penguburan gadis kecil Hani telah dijalani sejalan hidupnya yang sebentar. Menyisakan pasti luka ibu, dan telah mengambil lebih dari separuh hidup perempuan itu, mungkin saja. Aku melepas dari iring-iringan hitam yang mulai memudar ke arahnya masing-masing. Mencoba mendampingi beban hebat Rita untuk meringankannya. Beberapa guru sekolah demikian pula, merasakan perihnya atas kepulangan anak murid yang begitu belia.

"Terima kasih sangat pak guru. Sejatinya Hani kerap bercerita tentang anda.." Rita berkata saat aku undur pamit. Aku memegang tangannya dengan hanya bisa mengangguk karena begitu misterinya kepergian.
Aku melangkah keluar meninggalkan perempuan sendiri bersedih. Kembali melewati lingkaran bawah burung-burung merpati yang kupikir menjadi semakin berpinak di kesorean mentari. Aku setengah berlari untuk melupakan sementara unggas-unggas. Aku benar-benar tidak suka. Entahlah!

***

"Time must go on" bermalam di bujanganku, aku kerap melamun. Terlebih murid gadis kecilku yang pergi belum juga menggenapi keikhlasan. Sudah menjelang matahari ketujuh, sementara kuputuskan untuk mengantarkan barang dan pernik pratinggal sekolah Hani kepada Rita, ibunya.

Siang itu aku menyiapkan segala wasiat kecil kembali ke rumahnya. Melalu lagi kelompok merpati yang beraktivitas di kotak papannya. Malas! Bahkan untuk meliriknya. Seketika ku sadari sedemikian cepat tubuhku tiba di pintu Rita. Perempuan itu menyambut warisan sekolah putrinya dengan halus, seperti seorang yang terluka dalam.

"Maaf. Sekira belum berkenan, ibu bisa menyimpankannya kepada saya" kataku

"Tidak mengapa. Terima kasih pak guru" sahutnya lunglai.

"Ah! Panggil saja saya Roma" kataku merubah suasana.

Di tirus wajah cantiknya dia mencoba melipat duka lewat senyum indahnya. "Panggil saya Rita.."

"Baiklah. Aku akan hadir jika kamu memerlukan sesuatu apa, Rita"

"Terima kasih, Roma"

"Segeralah pulih, memendamkan luka" kataku mencoba menghibur hati. Dia mengangguk menggerakkan rambut lurus indahnya.

Siang yang terik itu menjadi surut seakan sungkan melihatku, saat ku meninggalkan ruang Rita. Meski kembali melewati gerombolan manuk dara yang selalu membikinku ogah di bawahnya. Dan aku semakin menyesakkan wasangka kepada kumpulan unggas dara itu.

Demikian, beberapa kali kami bertemu untuk kemudian agar dia bisa mengembalikan rasa meski tak sempurna. Aku mulai mencintainya. Ku sendiri tak mengetahui datangnya berupa apa dan seperti apa, tiba-tiba seperti mentari yang tanpa terasa batasnya saat mengguyur pagi. Mungkin semenjak wajahnya membayang di saban malam lelapku tanpa teralihkan. Rita yang sendu tetaplah perempuan kehilangan yang hanya satu mengisi hati. "Kamu baik" katanya. Dan aku melihat cintaku meski tak sepenuh membasuh luka. Rita mengisi ruang waktu ku yang lama panjang tersendiri.

***

"Aku pusing. Maukah kau membelikan obat?" aku membaca WA Rita di sela mengajar. Entahlah ini kali ketiga Rita meminta sama. Aku merasakan desir yang menyengat. Seperti 'dejavu' yang ku pernah melewatinya pada bayangan maya. Dan aku kembali lagi melalui gugusan burung merpati di gang rumah Rita. Aku tau aku bertambah rasa takut dan berupaya mengingkarinya. Mereka tetap saja terbang dan menderu-derukan leher sembari mematuk-matuk. Ah!

Di kala itu ku ingat separuh tahun setelah kepergian Hani, hatiku berdegup kencang ketika mendapati Rita terbentang di ranjangnya. Wajah mempesonanya terlihat pucat, sementara mata indahnya terpejam lama. Aku meraba keningnya hangat. Rita meraih lenganku katanya mau memuntahkan rasa mualnya. "Rita.."

"Rasa berputar, kepalaku Roma.. "dia kembali berbaring meram.

"Aku antar kau ke dokter Rita"

Dia hanya terdiam di dalam laju mobil. Inilah diam terpanjang kupikir. Seperti kisah kedua yang kembali menyergap ku. Sedikit bergetar ku dorong brankar setelah merapat  hospital.

Aku membelainya ketika tubuh Rita bernafas pelan dan sedikit reaksi untuk melaju ke IGD. Dokter menjelaskan perihal observasi serius sembari memberi ruang untuk perawatan.

"Kau harus pulih, Rita" aku berbisik di telinganya. Rita tak jua merespon. Dan aku sudah tahu bahwa aku pernah mengalami atmosfer seperti ini  ketika Rita di jalankan ke ruang biopsi. Apalagi selanjutnya? Itu hanya cerita duka yang sama dan kehilangan kedua yang lebih berat.
Selanjutnya ku terlempar ke dalam dimensi panjang yang paling luruh. 

***

Hari menaikkan pagi, ketika sehabis puluhan tahun kehilangan. Kaki renta ku menyusuri gang kenangan. Rumah Rita yang sepi masih meninggalkan rongga di hati. Aku hanya bisa berlalu dari situ untuk menyimpan cerita pilu.
Dan sekitaran gang itu kini hampir dipenuhi merpati. Sebagian mengepakkan sayap menebar bulu-bulu halusnya, sebagian mematuk-matuk papan rumahnya menebarkan remah. Ada yang saling memagut dan sebentar melepas kaki landasnya untuk terbang menyebarkan puing lembut kotorannya.

Dan aku memandang mahluk-mahluk unggas itu dengan tegun. Ada semacam dendam yang tak pernah kentara kepada mereka disaat aku mulai pasrah semenjak aku merasakan pusing dan kepala berputar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun