***
Bendera kuning kertas itu basah tertunduk sehabis hujan. Tersandera sepi. Penguburan gadis kecil Hani telah dijalani sejalan hidupnya yang sebentar. Menyisakan pasti luka ibu, dan telah mengambil lebih dari separuh hidup perempuan itu, mungkin saja. Aku melepas dari iring-iringan hitam yang mulai memudar ke arahnya masing-masing. Mencoba mendampingi beban hebat Rita untuk meringankannya. Beberapa guru sekolah demikian pula, merasakan perihnya atas kepulangan anak murid yang begitu belia.
"Terima kasih sangat pak guru. Sejatinya Hani kerap bercerita tentang anda.." Rita berkata saat aku undur pamit. Aku memegang tangannya dengan hanya bisa mengangguk karena begitu misterinya kepergian.
Aku melangkah keluar meninggalkan perempuan sendiri bersedih. Kembali melewati lingkaran bawah burung-burung merpati yang kupikir menjadi semakin berpinak di kesorean mentari. Aku setengah berlari untuk melupakan sementara unggas-unggas. Aku benar-benar tidak suka. Entahlah!
***
"Time must go on" bermalam di bujanganku, aku kerap melamun. Terlebih murid gadis kecilku yang pergi belum juga menggenapi keikhlasan. Sudah menjelang matahari ketujuh, sementara kuputuskan untuk mengantarkan barang dan pernik pratinggal sekolah Hani kepada Rita, ibunya.
Siang itu aku menyiapkan segala wasiat kecil kembali ke rumahnya. Melalu lagi kelompok merpati yang beraktivitas di kotak papannya. Malas! Bahkan untuk meliriknya. Seketika ku sadari sedemikian cepat tubuhku tiba di pintu Rita. Perempuan itu menyambut warisan sekolah putrinya dengan halus, seperti seorang yang terluka dalam.
"Maaf. Sekira belum berkenan, ibu bisa menyimpankannya kepada saya" kataku
"Tidak mengapa. Terima kasih pak guru" sahutnya lunglai.
"Ah! Panggil saja saya Roma" kataku merubah suasana.
Di tirus wajah cantiknya dia mencoba melipat duka lewat senyum indahnya. "Panggil saya Rita.."
"Baiklah. Aku akan hadir jika kamu memerlukan sesuatu apa, Rita"