Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Matahari Terbenam

14 April 2021   09:26 Diperbarui: 14 April 2021   09:46 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Milada Vigerova dari Pixabay

Saya sering menulis entah sejak kapan, mungkin sejak kepala saya tidak disiplin, sehingga sering membuat rumit diri sendiri. Saya pikir itu karena efek pengangguran ketika saya tidak bekerja, sehingga saya tersesat di dalam masalah fakta paling benar. Benar iitu nilainya 100 dan dosen tidak bisa memberi nilai untuk yang paling benar dengan angka 125.

Dan saya menemukan perempuan cantik itu di sinar sore yang hampir selesai yang masuk lewat jendela kedai kopi harum. Terlihat kopi di mejanya masih terbungkus asap, karena mata indahnya hanya terpaku ke dalam gajetnya. Sebentar di menuliskan beberapa lewat jemari lentiknya di atas laptop, begitu ringan sehingga ketukannya seperti mengusap awan.  Perempuan itu sesekali mengibas gerai rambut hitamnya seakan mengusik gerah di ruang berpendingin. Barangkali terlalu lama untuk suatu kerja tambahan untuk satu sore di dalam sebuah kafe, bahkan terlalu serius.

Beberapa menit terlewati, saya yang duduk tak jauh bertatap menyayangkan nasib kopi di mejanya yang asapnya mulai menyurut . Dan ini sedikit mengusik hati saya agar dia mau berjeda, menghormati senja turun yang sedang melepas rok indah merahnya. Saya pun mendekati kesibukannya, meskipun dia tak mengacuhkannya.

"Kamu mesti menghirupnya sebelum asapnya pergi" saya membukakan perbincangan sembari menunjuk ke cangkir yang masih dipenuhi kopi. Dia menghentikan gerak jarinya di laptop tanpa memandang saya, lalu tangannya meraih kopi dan mereguknya lewat bibir merahnya. Baru perempuan cantik itu mengangkat parasnya untuk menatap saya, seakan menimbang untuk meneruskan saya tetap disini atau saya harus kembali ke meja saya.

"Ada menariknya seandainya kamu membiarkan waktu senja, sesekali" saya membelah waktu sebelum satu perintah pun keluar dari bibir indahnya. Matanya yang bulat nampak mengecil mendengar tawaran saya.

"Okei.. seandainya Anda bisa mencukupkan waktu hari untuk pekerjaan saya. Silakan!" dia berkata sedikit ketus.

"Ah! Rupana kamu harus bekerja sepanjang hari untuk menghasilkan satu matahari terbenam"  jawab saya yang tak hendak berdebat namun hanya menyimpulkan sementara.

"Jadi.. biarkan saya.." perempuan itu seperti memotong untuk tidak diganggu dan bisa kembali masuk kedalam pekerjaannya yang harus menghabiskan satu matahari terbenam.

"Okei. sekali ini, sudilah untuk mempertimbangkan  kepergian senja di kafe yang biasa memerahkan seluruh dinding ini" kata saya merayu.

"Saya akan merindukannya" balasnya sarkas.

"Jika begitu, bagaimana bila saya kelak bisa membuatkan kamu dua matahari terbenam" kata tawar saya perlahan yang membuat dia tersenyum seperti mengatakan mimpi.

Saya pun kembali ke meja saya untuk melanjutkan penghormatan kepada matahari terbenam, yang terlihat membawa segala merahnya berlarian ke balik horison. Matahari terlihat semakin telanjang, ketika gaun merahnya terkoyak dan tertelan malam yang mulai menjelma menjadi penguasa.

Pulang ke kamar, saya hanya memerlukan menulis untuk menumpahkan isi kepala yang mulai membuat limbung. Seraut wajah perempuan kerja di senja kopi masih bercampur aduk dengan turunnya senja yang menggeliat di dalam kepala. Ada rasa menyengat ingin membebaskannya dari ketidakcukupan hari yang diderita gadis cantik itu. Ah! Saya mesti beradu cepat dengan hari untuk melepaskan bebannya. Saya seperti ge-er bagai pahlawan penyelamat putri keraton. Namun 'whatever' saya mulai duduk di meja kayu dan menulis dua tulisan untuknya. Saya pun melipat kertas itu untuk saya berikan kepada sang gadis sore.

***

Hari menjejak begitu segera, sehingga waktu pun kembali terdesak ke dalam senja. Mungkin sedikit terlambat ketika langkah kaki saya memasuki warung kopi yang meniupkan sejuk di pintunya. Nonik cantik itu telah duduk di tempatnya seperti kemarin dengan kesibukannya yang serupa kemarin pula. Saya mengambil meja kebiasaan saya dan memesan kopi, mencium harumnya dan mereguknya perlahan. Khawatir terlewatkan senja, saya segera mendekati mejanya sambil menggenggam lipatan kertas puisi saya.

"Saya memenuhi janji saya kemarin" kata saya membuka bincang. Wajahnya yang menawan menengadah lalu menarik nafas panjang dan menyemburkan udaranya lewat bibir merekahnya.

"Ah! Okei.." balasnya separuh malas.

"Ini! saya menyelesaikannya dua, ditambah beberapa bintang sebagai bonus keindahan" kata saya sambil menyodorkan lipatan kertas di atas meja.

"Saya akan mempertimbangkannya" sekilas nampak kerling matanya berbasa-basi.

"Tidak Nona! Matahari terbenam milikmu hanya satu dan teramat luas, kamu tak akan bisa menyelesaikannya. Saya telah membuatkan kamu dua dan lebih nyaman untuk dibawa di tangan" saya meyakinkannya.  

Sejenak dia terpana, wajahnya menggambarkan beban hari yang seperti tak pernah usai yang mesti ditanggungnya. Perlahan dia meraih kertas puisi saya dan menggenggamnya erat bersama harapan baru yang terpancar di lapis pesona wajahnya.

***

Pada hari berikutnya ketika saya melewati pintu kayu kedai kopi, saya tak melihat gadis cantik itu. Hanya tertinggal bangku kosongnya dan atmosfir sejuk yang tenang untuk menikmati sore terbenam. Yang ketika mentari turun melewati saya dan mulai memerahkan dinding kedai yang kali ini tampak lebih tajam merahnya. Saya pun menikmatinya dan tak berhasrat lagi membuat puisi dua matahari terbenam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun