Saya sering menulis entah sejak kapan, mungkin sejak kepala saya tidak disiplin, sehingga sering membuat rumit diri sendiri. Saya pikir itu karena efek pengangguran ketika saya tidak bekerja, sehingga saya tersesat di dalam masalah fakta paling benar. Benar iitu nilainya 100 dan dosen tidak bisa memberi nilai untuk yang paling benar dengan angka 125.
Dan saya menemukan perempuan cantik itu di sinar sore yang hampir selesai yang masuk lewat jendela kedai kopi harum. Terlihat kopi di mejanya masih terbungkus asap, karena mata indahnya hanya terpaku ke dalam gajetnya. Sebentar di menuliskan beberapa lewat jemari lentiknya di atas laptop, begitu ringan sehingga ketukannya seperti mengusap awan. Â Perempuan itu sesekali mengibas gerai rambut hitamnya seakan mengusik gerah di ruang berpendingin. Barangkali terlalu lama untuk suatu kerja tambahan untuk satu sore di dalam sebuah kafe, bahkan terlalu serius.
Beberapa menit terlewati, saya yang duduk tak jauh bertatap menyayangkan nasib kopi di mejanya yang asapnya mulai menyurut . Dan ini sedikit mengusik hati saya agar dia mau berjeda, menghormati senja turun yang sedang melepas rok indah merahnya. Saya pun mendekati kesibukannya, meskipun dia tak mengacuhkannya.
"Kamu mesti menghirupnya sebelum asapnya pergi" saya membukakan perbincangan sembari menunjuk ke cangkir yang masih dipenuhi kopi. Dia menghentikan gerak jarinya di laptop tanpa memandang saya, lalu tangannya meraih kopi dan mereguknya lewat bibir merahnya. Baru perempuan cantik itu mengangkat parasnya untuk menatap saya, seakan menimbang untuk meneruskan saya tetap disini atau saya harus kembali ke meja saya.
"Ada menariknya seandainya kamu membiarkan waktu senja, sesekali" saya membelah waktu sebelum satu perintah pun keluar dari bibir indahnya. Matanya yang bulat nampak mengecil mendengar tawaran saya.
"Okei.. seandainya Anda bisa mencukupkan waktu hari untuk pekerjaan saya. Silakan!" dia berkata sedikit ketus.
"Ah! Rupana kamu harus bekerja sepanjang hari untuk menghasilkan satu matahari terbenam" Â jawab saya yang tak hendak berdebat namun hanya menyimpulkan sementara.
"Jadi.. biarkan saya.." perempuan itu seperti memotong untuk tidak diganggu dan bisa kembali masuk kedalam pekerjaannya yang harus menghabiskan satu matahari terbenam.
"Okei. sekali ini, sudilah untuk mempertimbangkan  kepergian senja di kafe yang biasa memerahkan seluruh dinding ini" kata saya merayu.
"Saya akan merindukannya" balasnya sarkas.
"Jika begitu, bagaimana bila saya kelak bisa membuatkan kamu dua matahari terbenam" kata tawar saya perlahan yang membuat dia tersenyum seperti mengatakan mimpi.