Saya pun kembali ke meja saya untuk melanjutkan penghormatan kepada matahari terbenam, yang terlihat membawa segala merahnya berlarian ke balik horison. Matahari terlihat semakin telanjang, ketika gaun merahnya terkoyak dan tertelan malam yang mulai menjelma menjadi penguasa.
Pulang ke kamar, saya hanya memerlukan menulis untuk menumpahkan isi kepala yang mulai membuat limbung. Seraut wajah perempuan kerja di senja kopi masih bercampur aduk dengan turunnya senja yang menggeliat di dalam kepala. Ada rasa menyengat ingin membebaskannya dari ketidakcukupan hari yang diderita gadis cantik itu. Ah! Saya mesti beradu cepat dengan hari untuk melepaskan bebannya. Saya seperti ge-er bagai pahlawan penyelamat putri keraton. Namun 'whatever' saya mulai duduk di meja kayu dan menulis dua tulisan untuknya. Saya pun melipat kertas itu untuk saya berikan kepada sang gadis sore.
***
Hari menjejak begitu segera, sehingga waktu pun kembali terdesak ke dalam senja. Mungkin sedikit terlambat ketika langkah kaki saya memasuki warung kopi yang meniupkan sejuk di pintunya. Nonik cantik itu telah duduk di tempatnya seperti kemarin dengan kesibukannya yang serupa kemarin pula. Saya mengambil meja kebiasaan saya dan memesan kopi, mencium harumnya dan mereguknya perlahan. Khawatir terlewatkan senja, saya segera mendekati mejanya sambil menggenggam lipatan kertas puisi saya.
"Saya memenuhi janji saya kemarin" kata saya membuka bincang. Wajahnya yang menawan menengadah lalu menarik nafas panjang dan menyemburkan udaranya lewat bibir merekahnya.
"Ah! Okei.." balasnya separuh malas.
"Ini! saya menyelesaikannya dua, ditambah beberapa bintang sebagai bonus keindahan" kata saya sambil menyodorkan lipatan kertas di atas meja.
"Saya akan mempertimbangkannya" sekilas nampak kerling matanya berbasa-basi.
"Tidak Nona! Matahari terbenam milikmu hanya satu dan teramat luas, kamu tak akan bisa menyelesaikannya. Saya telah membuatkan kamu dua dan lebih nyaman untuk dibawa di tangan" saya meyakinkannya. Â
Sejenak dia terpana, wajahnya menggambarkan beban hari yang seperti tak pernah usai yang mesti ditanggungnya. Perlahan dia meraih kertas puisi saya dan menggenggamnya erat bersama harapan baru yang terpancar di lapis pesona wajahnya.
***