Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biduan

17 Mei 2020   08:36 Diperbarui: 17 Mei 2020   08:40 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini malam pertama aku menikmati lagu yang dinyanyikannya. 'Tetap Dalam Jiwa', lagu yang biasa dibawakan Isyana Sarasvati. Menurut saya, perempuan biduan ini selain berparas cantik juga bernyanyi merdu, suaranya tak selain indah saja tapi lebih dari luapan jiwa. Dia berdendang sendiri bersama kibornya tanpa iringan grup band kecil di stage kafe. 

Seperti kali ini, jemarinya membelai mata piano elektrik mengikuti dinamika suaranya yang mengiris hati, namun terkendali dalam ketenangan. Dinaung cahaya remang siluet panggung, saya menatap lebih kepada sesuatu babak pendek tentang kehilangan yang dilagukan. Menyajikan tawaran lain, bahwa nyanyian sakit itu juga salah satu bentuk dari keindahan. 

Dan tak terasa irama lagu patah itu sudah selesai, ketika ditandai dengan tepukan para pengunjung kafe. "Terima kasih" ucap sang biduan masih merunduk diatas tuts. 

Tertangkap oleh mata saya, sekilas bibirnya tipis tersenyum, yang kaku bagai keterpaksaan yang saya telan dengan ada rasa getir. Saya tidak tahu mengapa saya menjadi 'baper', sehingga tak secuilpun rasa ingin untuk bertepuk memberi aplus. 

Mungkin otak didalam kepala saya lebih bereaksi bahwa ini bukan keindahan panggung, melainkan keindahan dari suatu kehilangan. Dan saya merasa nyaman untuk merasakan didalam hati tanpa gembira seperti pengunjung yang lain.  

Lalu biduan itu beringsut kebelakang panggung dalam langkah yang diam, meletakkan kami para pesonanya tetap duduk manis, seperti takkan pernah terjadi sesuatu apa, kecuali penggantian penyanyi band yang lain. 

Saya masih duduk sendiri di warna kabur udara kafe, mencoba mengalihkan rasa untuk mencerna lagu berikut di panggung. Seorang biduan lelaki bertipe 'rock' yang saya pikir tampak siap mengguncang. 

Namun dalam intro yang di awali, saya pun segera akrab. Ternyata satu lagi tawaran kesedihan dari suara parau tentang 'rock' yang melankoli, terdengar 'As long as I can see the light' dari CCR yang begitu silam. Yang terasa indah dari kementahan suara, melelehkan kepedihan seperti lagu disebelumnya. Dan saya merasa dobel sedih, seperti sembilu menuansakan patah yang tak hendak rehat.  

Barangkali betul kata orang, datanglah ke kafe 'Lonely' ini, guna menggenapi rasa sempurna kehilangan, kepedihan, sakit, derita , patah hati, dan segala turunannya.  

Sementara ditengah kebaruan dari kehadiran saya di kota pantai yang kecil ini, saya harus mengawali pencarian kesendirian yang baru, tak hendak tertarik kembali kedalam atmosfir hidup saya yang sedang berjalan stagnan. 

Tak lain saya mesti berinteraksi guna menembus batas pandang langit yang lain, dan lalu saya beranjak mengitari kafe lalu tiba di belakang halaman. Tampak biduan perempuan itu sedang menyendirikan lamunannya dengan sebatang rokok berasap pekat.  

Di sayup musik tembang panggung muka, saya coba berani hati mendekat sang biduan, yang seperti sudah amat terbiasa menghadapi lelaki. Dan dalam keadaan langit luar yang masih tertembus pandang lewat embun bercampur asap aroma cengkeh, saya menyapanya.

"Saya mengagumi suara anda tadi". Dia memalingkan pandang pesonanya. 

"Abang baru rupanya?" 

"Satu malam ini". 

"Aku tau..". 

"Saya Denimekoi" saya menjulurkan lengan dan dia menyambut jabat saya. Sekali ini dia menatap.

"Inka". 

"Saya tau..".  Lalu dia kembali menghisap tembakau beratnya, seperti tak terjadi suatu apa. "Masih ada tampil?"

 "No!" 

"Maaf, kamu sudah selesai panggung?". Dia mengangguk. 

"Sudah lama?" kembali dia menoleh. 

"Abang benar benar baru disini?". 

"Ya, satu malam". 

"Maksud aku, dikota ini?".

 "Benar". Dia membuang asap panjang. 

"Hmm.. kota kecil". 

"Mungkin menarik" jawabku. 

"Ha ha.." bibir indahnya sedikit terkuak. 

"Kenapa?". 

"Apa yang abang cari disini?". Saya tak menjawabnya, sampai dia melanjut. "Abang bukan orang pulau?" 

"Hmm.." aku mengangguk. 

"Dari mana?".  

"Jawa". Kembali dia berpaling, menatap seperti melihat mahluk asing. 

"Jawa? Apa yang abang lakukan?". 

"Entahlah" saya menggeleng. Dia lebih mendekatkan herannya. 

"Abang menyeberang jauh, untuk mencari entah di pulau mungil ini?" mata indahnya menyipit. Saya hanya mengangkat bahu. Lalu tak lama dia berlaku seperti tak acuh. 

"Aku suka lagu terakhir kamu" saya mengganti topik. 

"Abang melankolis kali..", kembali dia tersenyum kecil. 

" Kamu sering menyanyikannya?" dia berpaling, menyibak rambut hitam lembutnya.

" Tetap dalam jiwa..terkadang..". 

"Saya menyukainya meski terdengar pahit". 

"Abang tak tertampak pahit..". 

"Barangkali..maaf", aku menjadi salting. 

"Abang  bukan macam lelaki yang mendekati perempuan dalam kepahitan, bukan?".

"Kamu terlalu terus terang".  

"Aku kerap melihatnya". 

"Maksud kamu?". 

"Aku selalu melihat banyak hal yang ada didepan". 

"Kamu cenayang?". 

"Ha..ha" perempuan itu tertawa meski rapat bibir merahnya. "Abang lucu". 

"Indigo?", saya setengah menggoda dan dia menggeleng. 

"Aku kerap melihat diriku sejak kecil". Sekarang gantian aku yang menatap wajah sang biduan yang tirus menawan, ada seperti garis panjang di bola matanya, seakan garis kegetiran. 

"Abang suka menyanyi?". 

"Saya pernah penyanyi". 

"Hm.. aku harus selalu menyanyi untuk menjaga perjalanan". 

"Kenapa?". 

"Aku mesti menjaganya supaya segala yang telah tiba didepan tidak menghancurkanku". Dia lalu menyulut baru rokoknya, menghembuskan asap putih pertamanya ke hitam malam. 

"Kamu punya anak? Maaf..", saya bertanya penasaran. 

"It's okay.. aku sudah melihat anak lelaki kecil terkaram di biru laut, saat ku kecil". tiba tiba dia melirih seperti kepada dirinya sendiri.

 "Jadi..?" saya mendekat duduknya dan mengusap jemari tangannya, seperti menyesal mengeluarkan tanya yang seperti saya tahu jawabnya yang bakal tragis. Sementara dia menghapuskan mata kacanya yang mulai mencair. 

"Tak mengapa, dia lelaki kecil tampanku. Yang telah di peluk laut, ketika ayahnya begitu sibuk dengan wanita lain..dan aku tak bisa menolongnya". Seketika pula saya tak berani menatap matanya, kerna saya sadar akan hanya menatap sebuah luka yang paling kelam. "It's okay.. itu berlalu silam, dan aku sudah melihatnya di lebih silam lagi".

Dia tak berusaha melepas tangan saya diatas tangannya. "Maaf..saya tak bermaksud membuka luka.." saya hanya kelu berucap. Biduan perempuan itu hanya berdiam berusaha membekukan kenangan. Saya hanya mematung merelakan keheningan malam mengambil alih pembicaraan. Itu lebih baik, buat menarik napas kembali ke waktu adanya. 

Lama kami terdiam, hanya mata pandang kami berusaha menembus kedalam malam yang menghitamkan pantai belakang kafe.  Tak lama dia bangkit berdiri. "Abang suka laut?" biduan perempuan cantik itu seperti mengajak. Saya mengangguk dan ikut berdiri, meraih tangannya untuk bersama berjalan menembus gulita. 

Beberapa saat kami lurus berjalan tanpa alas, sampai  kedua telapak kaki merasakan lembut dari pasir basah pantai. Lalu aku berhenti di batas, namun biduan itu tetap berjalan lurus meninggalkan saya sendiri.  Dan saya masih bisa mendengar  sayup suara panggung kafe di belakang saya. "As long as I can see the light"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun