Dan segera Ferguso berlalu cepat, meninggalkan rumah dan kampungnya menembus ke kelaman malam. Sementara belum pula sepersepuluh perjalanannya, Ferguso gelisah seperti mentok harus kemana arah.Â
Meski dia yakin akan tujuan kalbunya namun dia bingung mesti memulai langkahnya dari mana. Kemana tempat yang harus ditujunya?Â
Ferguso menjadi limbung mau ke kiri, ke kanan atau lurus kedepan, tetapi yang jelas dia pantang untuk berbalik kebelakang. Dia tak lagi sudi untuk meraih kembali rumahnya, bahkan untuk mendekatinya pun.
Ditengah sepinya jalan batas desa yang temaram rembulannya, Ferguso melihat sesosok bayangan berjarak sedikit jauh di mukanya. Sosok itu terlihat gontai, langkah kakinya tidak lempeng, berkeliuk hendak ambruk seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya.Â
Dengan sisa tenaga tuanya Ferguso mencoba berlari semampunya, untuk mengejar bayang didepan matanya. Tak lama sosok itu berhasil digapainya.
"Hai, bapak? Ada apa gerangan berjalan sepi sendiri?" Ferguso berbasa basi baku. Sosok itu berhenti dan menoleh, mencari suara dari balik punggungnya, matanya kriyep kriyep menguak kegelapan.Â
"Siapakah kisanak?" suaranya berat.
"Kenalkan saya Ferguso dari kampung utara" sambil menjulurkan lengan, yang disambut oleh teman baru dengan jabat erat.Â
"Ah! Sukurlah, aku menemukan kawan, namaku Pedros dari kampung selatan" suaranya yang masih ngebas. Mereka berjabat sambil berpandang mata, seakan mengukur segala tanya yang timbul di masing masing otak kepalanya.Â
Ferguso menatap kawan barunya yang ternyata tak lebih tua  selayak dirinya, berkeriput, sama saja dengan kulit roman wajahnya. "Setujukah kita berjalan bersama?" Ferguso merayu sedikit.Â
"Silakan". Lalu mereka berjalan sejajar.