Sejak meninggalkan rumahnya, Ferguso memang berniat menggelandang. Rumah yang dihuni boleh dikata sudah seumur hidupnya, tak pernah hendak disambanginya lagi. Memang terkadang dia merindunya, namun sudah menjadi demikian samar.Â
Toh, dia sudah berketapan untuk melupakannya sejak langkah kaki pertamanya memunggungi pintu rumah miliknya sendiri itu. Ferguso tidak menyangka jika griyanya yang semula sangat diagungkan ternyata mendapati kenyataan yang pahit, di saat usianya menjelang tua dan sudah bau tanah.
Entah, sekerjap saja dia merasa benci dan jijik ketika berada di dalamnya. "Rumah ini setiap kali berubah memburuk!" begitu omel mulutnya yang ditujukan lebih kepada kekecewaan dalam dirinya sendiri. Sehingga ketika keadaan memuncak, Ferguso tak tahan lagi, lalu kabur mencampakkan rumah miliknya satu satunya.
"Bapak Ferguso mau kemana?" begitu saat Ferguso ketanggor tetangganya yang mencurigai dia mau minggat. Ferguso tua segan menyahut, namun sang tetangga ramah itu terlihat mendesak terus, sehingga Ferguso ngasal menjawab.
"Aku bosan!" katanya.Â
"Hey, hey, ada apa bapak Ferguso gerangan?" tetangga terpancing kepo.Â
"Aku mau mencari kehidupan".
"Hah? Bukankah bapak sudah sepuh? Apakah sudah saatnya mencari akherat bukannya kehidupan?" begitu malah tetangga mengajak debat.Â
"Ah, sok tauk kamu" roman Ferguso seperti menatap rendah. "Cah kemarin sore ini ngerti apa sih?" dalam jiwa dia menggerutu sambil berpaling mau melaju.Â
"Hey, hey, sabar lah bapak, bisa kita diskusikan dulu" tetangga berusaha nego.Â
"Ah! Emangnya 'Lawyer Club'. Udah ah, capek deh" Ferguso malas meladeni dan menetapkan langkahnya kedepan tanpa sanggup ditahan oleh sang tetangga.
Dan segera Ferguso berlalu cepat, meninggalkan rumah dan kampungnya menembus ke kelaman malam. Sementara belum pula sepersepuluh perjalanannya, Ferguso gelisah seperti mentok harus kemana arah.Â
Meski dia yakin akan tujuan kalbunya namun dia bingung mesti memulai langkahnya dari mana. Kemana tempat yang harus ditujunya?Â
Ferguso menjadi limbung mau ke kiri, ke kanan atau lurus kedepan, tetapi yang jelas dia pantang untuk berbalik kebelakang. Dia tak lagi sudi untuk meraih kembali rumahnya, bahkan untuk mendekatinya pun.
Ditengah sepinya jalan batas desa yang temaram rembulannya, Ferguso melihat sesosok bayangan berjarak sedikit jauh di mukanya. Sosok itu terlihat gontai, langkah kakinya tidak lempeng, berkeliuk hendak ambruk seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya.Â
Dengan sisa tenaga tuanya Ferguso mencoba berlari semampunya, untuk mengejar bayang didepan matanya. Tak lama sosok itu berhasil digapainya.
"Hai, bapak? Ada apa gerangan berjalan sepi sendiri?" Ferguso berbasa basi baku. Sosok itu berhenti dan menoleh, mencari suara dari balik punggungnya, matanya kriyep kriyep menguak kegelapan.Â
"Siapakah kisanak?" suaranya berat.
"Kenalkan saya Ferguso dari kampung utara" sambil menjulurkan lengan, yang disambut oleh teman baru dengan jabat erat.Â
"Ah! Sukurlah, aku menemukan kawan, namaku Pedros dari kampung selatan" suaranya yang masih ngebas. Mereka berjabat sambil berpandang mata, seakan mengukur segala tanya yang timbul di masing masing otak kepalanya.Â
Ferguso menatap kawan barunya yang ternyata tak lebih tua  selayak dirinya, berkeriput, sama saja dengan kulit roman wajahnya. "Setujukah kita berjalan bersama?" Ferguso merayu sedikit.Â
"Silakan". Lalu mereka berjalan sejajar.
"Saudara Pedros kemana tujuan anda?" Ferguso membuka lagi tanya.Â
"Aku mencari seseorang" jawab teman baru.Â
"Seseorang, siapakah?".Â
"Seseorang yang aku cari". Mau Ferguso mendesaknya untuk lebih jelas, namun itu tidak sopan. "Dan engkau kawan, ada tujuan apakah gerangan?" Pedros balik bertanya.Â
"Aku mencari kehidupan" balas Ferguso. Sang kawan menatapnya tajam, seperti kepikiran sesuatu yang mengganggunya.Â
"Apakah kita satu tujuan, kawan?" Pedros bertanya. Kembali Ferguso menatapnya tajam sang kawan baru itu.Â
"Mungkin..mungkin juga tidak.." Ferguso sesekali menggeleng kurang yakin.Â
"Kalo demikian biar kita berjalan saja" keduanya hampir bersamaan berkata serupa. Dan kedua orang matang itu berjalan dalam diam menepiskan embun malam yang mentah dan belum terasa sejuknya. Nampak seperti tanpa kesepakatan, kedua mereka berjalan kearah sama yaitu kearah timur.
Pada akhir kelelahan berjalan, kedua generasi kolonial ini sepakat untuk beristirahat dan bermalam dibawah sebuah pohon nyaman yang rindang. Dan tanpa dikomando kedua ortu ini terlelap dalam sekejap ditelan gelap.Â
Sementara malam yang turun semakin tua, yang kadang memanggil atmosfir udara yang kurang diharapkan. Sepertinya waktu sekitar tengah malam, muncul seorang berwajah seram, terhuyung mengendap menghampiri kedua renta yang sedang bermimpi itu.Â
Tubuh seram  yang ternyata begal ini tampak menggeliat, tangannya mencengkeram lambungnya, yang terlihat darah membasah merah disekujur perutnya, nampak dia terluka hebat.Â
Dia mendekat ke sosok Pedros yang terbaring lelap, meraba dan mencekik leher tua itu. Pedros tergagap dan kaget setengah mati tanpa sempat berteriak. "Serahkan nafasmu!" begal berdesah garang tepat dihidungnya. "Cepaat!!" .
" Ba..ba..ik..ughh.." Pedros merintih, kerongkongannya tertahan tanpa daya.Â
"Ayooh!!.." perompak mendelik dan mengangakan mulutnya sendiri, juga dengan lengan kokohnya, memaksa membuka mulut sang korban . Pedros juga melotot dengan mulut yang lebar menganga.Â
"Inilah yang kamu minta.." sahut Pedro lirih, sambil menghembuskan aliran udara sekuatnya dari mulut lebarnya, yang serta merta dihisap rakus oleh mulut lebar sang begal dihadapannya.Â
Sekejap tiba tiba sang begal sanggup berdiri tegap, terlihat perubahan sosoknya menjelma segar tanpa darah lagi keluar dari luka lambungnya. Segera begal berniat kabur.Â
Namun sebelum hengkang, sang begal sempat menghampiri Ferguso yang lelap dengan ngoroknya, menatap tajam ke wajah polos Ferguso tua yang tidur nyenyak seperti orok. Begal hanya menggeleng lalu berbalik loncat kedalam gulita malam.
Ayam jantan fajar terdengar berkokok, Ferguso mengulet dan mengucek ngucek matanya menyambut pagi. rupanya dia tertidur  seperti mati semalaman.Â
Refleks matanya mencari sang teman baru Pedros, yang semalam berbaring agak berseberang, namun tak di jumpai batang hidungnya. Diapun bangkit dan berkeliling mencari. "Kawan Pedros.. kawan Pedros.. dimana anda gerangan?" Ferguso memanggil di tengah pagi namun tiada sahutan. "Mungkin dia sudah duluan" Ferguso menggumam, sambil bersiap melanjut rencana perjalanannya, mencari kehidupan.
Sampai tiba di satu desa yang bernama kampung timur, dia mendapati keramaian disatu rumah sederhana yang dilaluinya. "Ada apa gerangan kisanak?" Ferguso bertanya ke seorang muda disekitar.Â
"Itu ibu yang didalam rumah. Anak bayi nya sedang sakit sekarat, pak tua" jawab pemuda. Serentak Ferguso melangkah masuk rumah melewati kerumunan orang.Â
"Inikah saatnya?" Ferguso tua menatap sang ibu didampingi sang suami, yang tampak menangis duka, ditengahnya sang 'baby' murni terlihat diam dengan sisa nafasnya yang kecil seperti berjuang merebut udara.
"Bisakah aku mendekat" Ferguso memecah kata di kedukaan. Sang suami menoleh terkesiap menatap wajah Ferguso.Â
"Bukankah bapak.. teman orang itu..?" si suami tergagap, yang ternyata dia adalah begal yang mencekik kawan Pedros dan mengenalinya. Ferguso hanya menoleh tak mengerti. Lalu Ferguso menyeruak dan merendah ke pembaringan 'baby' yang sedang bersabung nyawa.Â
Mendekatkan wajahnya ke wajah bayi, Ferguso membuka lebar lebar mulutnya dan menghembuskan aliran besar udara sekuat kuatnya, serta merta tak lama sang bayi pun mulai membuka lebar bibir mungilnya, seperti menghirup sebanyak dan sesukanya semua udara yang di hembuskan Ferguso.Â
Dan bayi mungil mulai menangis kencang memulai tanda kehidupan. Sementara sang ibu menangis histeri bahagia sedang sang suami begal itu menatap sesal ke wajah tua Ferguso yang terduduk lemas dan terbujur kaku tak bergerak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H