"Entahlah. Kupikir kamu terperangkap sastra kontestasi politik rendah kemarin, lalu dengan enaknya kamu kembali kekeindahan semula. Bahwa lupakan perkelahian, saatnya merangkai indahnya untaian persatuan. Â Itu luka, sayang. Risalah hati kita menjadi mencang mencong."
"Lalu, aku gimana sayang?"
"Kamu mesti nulis, sastra pengampunan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!