Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sastra Pengampunan

8 Juni 2019   17:30 Diperbarui: 8 Juni 2019   21:08 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

"Kenapa sekarang sastra kamu plin plan say?"

Aku terperanjat istriku bertutur menohok, padahal dia lagi kontemplasi pada struktur patung gaweannya. Aku setop menusuk tuts kibor lap. Menatapnya,  namun istri ayu itu enggak menoleh sesudutpun. 

"Itu vulgar sayang" aku bangkit dan melekat.

"Sori" dia bergeming menyemen statunya.

"Pematung cantik"

"Oke pujangga."

"Aku plin plan?"

"Hmm.."

"Itu resen pasion sayang. Soal sastra politik maksud aku. Dan itu nyata." Aku memepet di parasnya, memaksa menolehkan hidung bangirnya.

"Kamu berubah dan itu membingungkan. Selama ini kotak sastramu selalu jernih, namun masa pemilihan kali ini menyetir paragraph mu seperti enggak ada filter. Tulisan mu keruh sayang. Sepertinya perlu tawas mungkin detoks". Perempuan sehati itu protes.

"Tapi aku menorehnya dengan pikiran sehat say"

"Akal sehat berbeda dengan hati sehat"

"Kamon hanei. Ini cuman soal momen. Dan sekarang kelar"

"Tak semudah itu ferguso. Kamu jadi penulis oportunis sekarang. Dari sastra sains ke partisan lalu kembali lagi ke alam.  "

"Apa yang salah, dear?"

" Itu mencederai. Sejatinya tanpa pernah ada larangan kebebasan ketika kamu sastranisasi paslon, lalu sayang banged membikin sastra indahmu semula, seperti bercampur sampah."

"Tapi aku bukan karyawan negri?"

"Kamu sastra negara, kan? Itu namamu juga kan, denmas sastronegoro?"

"Apakah artinya manusia enggan membaca ku kembali? Tdak semudah itu fersogu! Membaca itu keindahan yang pribadi bukan sentimen pribadi"

"Kamu suamiku sayang. Aku sukak tulisanmu sekaligus aku sukak sama kamu. Itu tak terpisahkan. Engga tauk deh yang lain. Apakah mereka bisa memisah misahkan antara rasa kamu dan rasa tulisan kamu?"

"Lalu?"

"Entahlah. Kupikir kamu terperangkap sastra kontestasi politik rendah kemarin, lalu dengan enaknya kamu kembali kekeindahan semula. Bahwa lupakan perkelahian, saatnya merangkai indahnya untaian persatuan.  Itu luka, sayang. Risalah hati kita menjadi mencang mencong."

"Lalu, aku gimana sayang?"

"Kamu mesti nulis, sastra pengampunan"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun