Sebentar, selamat tahun baru 2024 wahai para Kompasianer. Kali ini saya akan mengulas tentang penulis sebagai profesi, khususnya di Indonesia. Sebuah pertanyaan yang sering mengganjal: Apakah penulis itu termasuk profesi?
Saya baru benar-benar menekuni profesi sebagai penulis pada tahun 1994 ketika untuk kali pertama artikel opini saya muncul di media massa cetak. Ada rasa luar biasa karena telah memperoleh pengakuan dari media lokal lalu media nasional. Selanjutnya, saya memulai pekerjaan menerima pesanan penulisan buku pelajaran (buku teks). Pekerjaan ini yang kemudian saya kenal sebagai bisnis jasa penerbitan (publishing service).
Bisnis lain yang dapat ditekuni seorang penulis adalah book packager atau perajin buku. Berbeda dengan jasa penerbitan yang mengerjakan buku berdasarkan order, perajin buku mengerjakan buku secara mandiri lalu ditawarkan ke penerbit yang berminat. Perajin buku juga dapat menjual hak cipta terjemahan buku ke penerbit-penerbit asing.Â
Contoh bisnis perajin buku semacam ini dikembangkan oleh Miles Kelly Publishing yang didirikan dua bersaudara, Jim Miles dan Gerard Kelly, pada tahun 1996. Saya pernah membahas tentang Miles Kelly dan profesi perajin buku di situs web ini: Miles Kelly dan  Perajin Buku.
Tiga Indikator Pekerjaan sebagai Profesi
Ada tiga indikator bahwa suatu pekerjaan termasuk sebagai profesi. Pertama, pekerjaan itu memerlukan keahlian khusus untuk melakukannya. Kedua, pekerjaan itu memiliki standar, kaidah, dan kode etik dalam menjalankannya. Ketiga, pekerjaan itu berbayar atau memiliki tarif untuk melakukannya.
Jika kita mengujinya dengan penulis, ketiga indikator itu ada. Mari membahasnya satu per satu.
Pertama, mereka yang menekuni menulis harus memiliki keahlian penulisan dalam satu jenis atau berbagai jenis tulisan. Latar belakang keilmuan yang digunakan secara umum, yaitu ilmu bahasa, ilmu sastra, dan ilmu komunikasi.
Kedua, penulisan mengandung standar, kaidah, dan kode etik. Setiap lembaga biasanya memiliki panduan gaya selingkung (in-house style) terkait dengan karya tulis atau produk tulisan.Â
Contoh terkait hal ini dalam penulisan buku tertuang pada Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2022 tentang Standar Mutu Buku, Standar Proses dan Kaidah Pemerolehan Naskah, serta Standar Proses dan Kaidah Penerbitan Buku. Anda dapat mengaksesnya di sini: Standar dan Kaidah Penulisan dan Penerbitan Buku.
Penegasan lain terdapat pada dokumen Kualifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) versi 2020. Profesi penulis disebut pada  KBLI nomor 90024 dengan tajuk Aktivitas Penulis dan Pekerja Sastra.Â
Cakupan kegiatan dari KBLI ini, yaitu kegiatan menulis, menyunting, menciptakan konten tulisan dalam bentuk apa pun, seperti cerpen dan novel, mengevaluasi bahan terkait literatur untuk dipublikasikan, termasuk naskah dan narasi untuk film, TV, radio, permainan komputer dan animasi, penerjemahan verbal maupun tertulis ke dalam berbagai bahasa, penyair, kritikus sastra, pelaku musikalisasi puisi, dan pekerja sastra lainnya yang sejenis.
Dengan penegasan ini artinya seorang penulis sudah dapat mendirikan badan usaha/badan hukum khusus jasa penulisan/penyuntingan yang bukan termasuk kategori penerbitan. KBLI ini sudah terdaftar di Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS) Kementerian Investasi/BKPM. Dengan basis risiko usaha menengah rendah, penulis sudah dapat mendirikan perusahaan perseorangan dan mendapatkan nomor induk berusaha (NIB).
Ketiga, penulisan itu berbayar atau mengandung nilai uang, baik sebagai produk maupun jasa. Sayangnya, di Indonesia kita belum memiliki standar tarif penulisan yang bervariasi seperti halnya di negara Eropa atau Amerika. Sebuah buku bertajuk Writer's Market yang diterbitkan Writers Digest Book setiap tahun memudahkan acuan tarif dalam pekerjaan penulisan dan penerbitan di AS.
Di dalam Standar Biaya Umum yang diterbitkan pemerintah, honorarium pekerjaan menulis masih rendah dan terbatas dalam hal kategori tertentu. Karena itu, asosiasi profesi penulis dapat mendorong peningkatan honorarium dan pengategorian pekerjaan menulis secara lebih spesifik.
Amatir Versus Profesional
Seseorang yang menekuni suatu pekerjaan sebagai profesi dapat disebut profesional. KBBI (edisi VI) menempatkan entri 'profesional' sebagai kata sifat (adjektiva) dan juga sebagai kata benda (nomina). Sebagai kata sifat, ia mirip dengan indikator profesi yang sebelumnya saya tuliskan.
Berbeda halnya jika seseorang yang melakukan suatu pekerjaan atas dasar kesenangan belaka, ia disebut amatir. Maka dari itu, wajar saja jika ada orang yang menganggap pekerjaan menulis hanya hobi atau pekerjaan sampingan. Di dunia olahraga, amatir merujuk pada pengertian yang sama. Hadiah untuk lomba-lomba amatir umumnya tidak bernilai uang, seperti piala atau trofi. Olahraga versi amatir dilakukan untuk kesenangan, bukan profesi.
Penulis-penulis amatir yang bergabung dalam suatu komunitas penulisan biasanya untuk saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman. Terkadang mereka juga mengikuti lomba-lomba penulisan. Dalam istilah saya, mereka tidak menjadikan menulis dan penulisan sebagai "periuk nasi" atau magic jar mereka.Â
Karena itu, jika mereka tidak menulis, tentu tidak berpengaruh pada kelangsungan hidupnya. Ia masih punya pekerjaan utama atau profesi sejati yang ditekuni, bukan sebagai penulis.
Di sisi lain, ada juga penulis amatir yang akhirnya naik kelas menjadi penulis profesional. Bahkan, seseorang dapat menekuni dua profesi sekaligus, yaitu profesi utamanya, sebut saja dokter atau psikolog dan profesi keduanya sebagai penulis.Â
Todung Mulya Lubis dikenal sebagai pengacara andal, belakangan juga bertugas sebagai duta besar RI. Dalam diskusi di Koran Tempo dengan Mas Wendo (mendiang Arswendo Atmowiloto) beberapa tahun silam, saya mendapat informasi bahwa Todung dahulu pernah menulis cerita anak.Â
Terakhir, saya membaca di sebuah berita bahwa Bang Todung ini juga sedang mempersiapkan diri untuk menulis novel berlatar belakang dunia hukum. Nah, menarik profesional seperti ini. Ia seorang pengacara, tetapi juga seorang penulis.
Fungsi Asosiasi Profesi Penulis
Salah satu ciri sebuah profesi berkembang ialah ketika profesi itu memiliki asosiasi/organisasi yang menaunginya. Para penulis di Indonesia, termasuk sastrawan, dalam berbagai masa pernah mendirikan organisasi profesi penulis. Namun, sejarah memperlihatkan umumnya tidak ada yang bertahan lama. Setiap masa berganti maka berganti pula organisasi penulis.
Sampai kini ada beberapa asosiasi atau organisasi profesi penulis dengan badan hukum perkumpulan. Pertama adalah Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional Indonesia (Penpro) yang didirikan tahun 2016 Â lalu ada Perkumpulan Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) yang pendiriannya diinisiasi Bekraf pada tahun 2017. Selain itu, ada pula dalam bentuk organisasi lain, seperti Forum Lingkar Pena (termasuk yang bertahan lama) dan Forum Penulis Bacaan Anak (Paberland).
Asosiasi profesi sebagai perkumpulan yang beranggotakan individu penulis biasanya melahirkan kode etik profesi. Selain itu, beberapa organisasi juga memaklumkan sertifikasi profesi dengan tujuan seseorang teserfikasi kompetensinya secara baku.Â
Contoh konkret adalah pelaksanaan sertifikasi di bidang jurnalistik. Kegiatan ini dilakukan oleh organisasi pers yang sudah diakui oleh Dewan Pers, seperti PWI dan AJI. Demikian pula organisasi kehumasan dapat menyertifikasi staf humas/PR berdasarkan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI).
Secara umum sertifikasi profesi di Indonesia diatur dan dikelola oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang dibentuk pemerintah pada tahun 2008. Asosiasi profesi dapat mendirikan lembaga sertifikasi profesi (LSP) dengan pengesahan dari BNSP. Jadi, antara berkembangnya profesi, pengakuan di dalam KBLI, penyusunan SKKK/SKKNI, dan pembentukan asosiasi profesi sangat berhubungan dengan penyelenggaraan sertifikasi profesi.
Profesi penulis mulai disertifikasi pada tahun 2019 melalui LSP Penulis dan Editor Profesional yang didirikan oleh Penpro. Basis sertifikasi menggunakan standar kompetensi kerja khusus (SKKK) yang disusun oleh Penpro dan disahkan oleh Kemenaker. Adapun keberadaan LSP harus disahkan oleh BNSP.
Sertifikasi profesi dapat dipandang sebagai kebutuhan terhadap pengakuan/pembuktian, pembeda (antara profesional dan amatir), dan penghargaan terhadap profesi sehingga ia dapat berkorelasi salah satunya pada peningkatan tarif/honor penulis.Â
Selain berkepentingan terhadap sertifikasi kompetensi, asosiasi profesi juga perlu membina anggotanya, terutama meningkatkan atau memperbarui kompetensi anggota dengan berbagai kegiatan yang relevan. Karena itu, ketika anggotanya akan disertifikasi maka asosiasi profesi dapat terlebih dahulu memberikan pembekalan berupa diklat berbasis kompetensi.Â
Ada satu hal yang mungkin selalu menjadi isu dalam aktivitas asosiasi profesi ini. Sebagai organisasi maka asosiasi profesi harus dapat menghidupi dirinya secara mandiri. Untuk itu, diperlukan pendapatan dari berbagai sumber dana. Salah satu sumber dana asosiasi ialah melalu penyelenggaraan diklat berbayar dan sertifikasi berbayar.Â
Anggota asosiasi memaklumi dan menyetujuinya dengan syarat tidak memberatkan atau mendapatkan subsidi dari pemerintah karena ini termasuk program pemerintah. Hal inilah yang harus diupayakan pengurus asosiasi melalui kerja sama dengan pemerintah atau lembaga/organisasi lain.
Memasuki Industri Penulisan
Kebanyakan penulis selalu dihubungkan dengan industri penerbitan, baik penerbitan media berkala maupun penerbitan buku. Tentang hal ini dapat dimaklumi karena bahan baku industri penerbitan adalah naskah dari penulis. Namun, jarang diulas bahwa penulis juga dapat berkiprah di industri penulisan.
Saya menyebut industri penulisan terkait dengan bisnis penulisan yang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan organisasi/korporat nonpenerbit. Industri jasa ini ternyata sangat berkembang yang dijalankan oleh individu atau badan usaha. Sebagai contoh mudah adalah bisnis penulisan biografi/autobiografi tokoh yang menyasar pada pasar individu atau organisasi/korporat dari kecil-menengah hingga besar.
Dengan prinsip tidak ada satu pun bidang di dunia ini yang lepas dari tulis-menulis maka jasa penulisan dapat ditawarkan kepada semua bidang. Saya pernah menangani beberapa pekerjaan/proyek penulisan yang tidak berhubungan dengan latar pendidikan saya, di antaranya dari bidang asuransi syariah, asuransi umum, militer, tambang, otomotif, kesehatan, dan politik.Â
Jika penulis hanya memasuki industri penerbitan, misalnya penerbitan buku, ia akan sangat bergantung pada produktivitas dirinya, penjualan buku, dan kinerja penerbit. Ia mungkin menjadi penulis buku best seller dan mungkin pula tidak. Ia mungkin menjadi penulis lepas yang dikontrak sebuah media dan mungkin pula hanya sekali-sekali muncul.Â
Fenomena itu yang menyebabkan Wahyudi Akmaliah, peneliti LIPI, pernah menulis artikel bertajuk "Profesi Penulis, Terlihat Gagah Tapi Rentan Secara Ekonomi". Profesi penulis masih dipandang tidak memberikan kecukupan, apalagi kebebasan finansial. Sebagian besar penulis memang bergantung pada pendapatan sebagai penulis mandiri---yakni menulis karya sendiri dan dipublikasikan di media.Â
Pilihan menjadi penulis jasa atau penulis profesional yang bekerja untuk perseorangan atau organisasi lain, ternyata tidak semua berminat memasukinya. Mungkin juga karena tidak mengenali rimba jasa penulisan semacam ini sehingga tidak tahu apa yang dapat dilakukan dengan potensi kepenulisan yang dimiliki.
Semakin Mudah Mengaku sebagai Penulis
Tentu tidak dapat disalahkan ketika seseorang mudah mengaku sebagai penulis, tetapi ia tidak pernah diuji kompetensinya. Sering kali bukti yang diperlihatkannya hanya karya tulis yang sudah dipublikasikan, padahal dipublikasikan oleh media yang tidak bereputasi. Bahkan, publikasi itu terjadi karena ia membayar media tersebut.
Jadi, bidang penulisan pada masa kini termasuk bidang yang mudah dimasuki, termasuk bagi seseorang yang hanya belajar secara autodidak. Istilah ini dalam konteks industri sering disebut hambatan masuknya (barrier to entry) terbilang rendah  Alhasil, seseorang dengan mudah sekali mengaku berprofesi sebagai penulis, bahkan penyunting dengan bukti seadanya atau tanpa pembuktian.
Sang penulis bahkan tidak merasa perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan menulis yang memadai. Â Dengan metode menerbitkan buku sendiri (self publishing), ia sudah dapat menyebut dirinya penulis buku. Apalagi ternyata publik memercayainya.
Fenomena semacam ini juga menguat karena basis-basis ilmu penulisan di perguruan tinggi tidak serta merta menjadikan lulusannya sebagai penulis. Misalnya, lulusan Fakultas Ilmu Budaya yang notabene belajar bahasa dan sastra belum tentu menjadi penulis atau sastrawan atau setidaknya kompeten dalam menulis.Â
Demikian pula di Fakultas Ilmu Komunikasi tidak selalu menghasilkan lulusan yang mampu menulis dengan baik atau menjadi penulis. Namun, di dalam perkuliahan mereka dipastikan mempelajari tulis-menulis.
Ketika muncul wacana sertifikasi penulis, penulis dari kalangan "mudah mengaku" ini sebagian besar belum dapat menerimanya. Di satu sisi mereka khawatir jika diuji kemampuannya bakal terdeteksi belum kompeten. Akan tetapi, di sisi lain mereka juga enggan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan menulisnya berbasis ilmu bahasa, sastra, dan komunikasi.Â
Beberapa penulis yang baru 1–2 kali menerbitkan buku kemudian sangat percaya diri menggelar pelatihan penulisan. Mereka hanya berkisah tentang proses kreatif mereka, bukan intisari keilmuannya.
Karena itu, ada yang sudah nyaman dengan keadaan saat ini. Menulis saja dan terserah dengan persepsinya masing-masing. Lucunya di antara mereka juga ternyata tidak menggantungkan hidupnya dari menulis karena memang tidak mampu.
Alasan yang dikemukakan untuk menolak sertifikasi sering kali atas dasar kreativitas dan kebebasan berekspresi. Kreativitas dan kebebasan berekspresi itu tidak dapat diuji/diukur, serbabebas dan serba-imajinatif.Â
Meskipun industri kreatif berbasis seni, bidangnya tetap memiliki standar dan kaidah dalam proses kreatif. Alhasil, pelakunya teridentifikasi kompeten ketika mampu menghasilkan karya yang bermutu. Karya yang berhasil memikat dan memengaruhi publik dapat menjadi bukti portofolio dalam sertifikasi. Karena itu, sertifikasi tidak selalu identik dengan ujian.
Pengetahuan, keterampilan, dan sikap berbasis ilmu selalu diperlukan sebagai ukuran profesional. Apakah menulis itu ada ilmunya?
Jadi, apakah penulis itu profesi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H