Demikian pula di Fakultas Ilmu Komunikasi tidak selalu menghasilkan lulusan yang mampu menulis dengan baik atau menjadi penulis. Namun, di dalam perkuliahan mereka dipastikan mempelajari tulis-menulis.
Ketika muncul wacana sertifikasi penulis, penulis dari kalangan "mudah mengaku" ini sebagian besar belum dapat menerimanya. Di satu sisi mereka khawatir jika diuji kemampuannya bakal terdeteksi belum kompeten. Akan tetapi, di sisi lain mereka juga enggan meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan menulisnya berbasis ilmu bahasa, sastra, dan komunikasi.Â
Beberapa penulis yang baru 1–2 kali menerbitkan buku kemudian sangat percaya diri menggelar pelatihan penulisan. Mereka hanya berkisah tentang proses kreatif mereka, bukan intisari keilmuannya.
Karena itu, ada yang sudah nyaman dengan keadaan saat ini. Menulis saja dan terserah dengan persepsinya masing-masing. Lucunya di antara mereka juga ternyata tidak menggantungkan hidupnya dari menulis karena memang tidak mampu.
Alasan yang dikemukakan untuk menolak sertifikasi sering kali atas dasar kreativitas dan kebebasan berekspresi. Kreativitas dan kebebasan berekspresi itu tidak dapat diuji/diukur, serbabebas dan serba-imajinatif.Â
Meskipun industri kreatif berbasis seni, bidangnya tetap memiliki standar dan kaidah dalam proses kreatif. Alhasil, pelakunya teridentifikasi kompeten ketika mampu menghasilkan karya yang bermutu. Karya yang berhasil memikat dan memengaruhi publik dapat menjadi bukti portofolio dalam sertifikasi. Karena itu, sertifikasi tidak selalu identik dengan ujian.
Pengetahuan, keterampilan, dan sikap berbasis ilmu selalu diperlukan sebagai ukuran profesional. Apakah menulis itu ada ilmunya?
Jadi, apakah penulis itu profesi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H