Di linimasa Facebook saya terbaca petisi menolak sertifikasi penulis buku anak. Penyebaran petisi itu dilakukan oleh teman-teman yang saya kenal bergiat dalam penulisan buku anak atau lebih khas bidang buku anak ini disebut sastra anak.Â
Saya termasuk penggagas sertifikasi bidang penerbitan buku. Dorongan ini sudah ada sejak lama, terutama ketika saya mengikuti rapat di Bekraf (mewakili Ikapi) pada 2017 tentang hasil kajian SKKNI dan lembaga sertifikasi profesi. Ada dua bidang industri kreatif yang belum memiliki SKKNI dan LSP, yaitu perfilman dan penerbitan buku.
Riuh penolakan sertifikasi penulis ini mengingatkan saya saat terjadi penolakan kalangan musisi ketika Bekraf melaksanakan sertifikasi musisi atau bidang musik kali pertama tahun 2018. Lalu, penolakan makin serius saat RUU Permusikan digulirkan di DPR yang memuat sertifikasi musisi sebagai mandatori alias wajib. Jadi, kejadian tahun 2019 ini boleh dibilang mirip dengan apa yang dilakukan oleh teman-teman penulis buku anak pada saat ini meskipun konteksnya berbeda. Musisi menolak RUU Permusikan, sedangkan penulis buku anak menolak sesuatu yang masih menjadi wacana setelah penyusunan rancangan SKKNI.
RUU Permusikan kemudian resmi dicabut dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2019. Perdebatan musisi ini melahirkan tiga kubu: pro-RUU, anti-RUU, dan revisi-RUU (CNNindonesia.com 2019). Setelah RUU tidak jadi, perdebatan pun mereda. Namun, ternyata sertifikasi musisi tetap berjalan sebagai pilihan bagi mereka yang memerlukan sertifikat kompetensi.
Salah satu fakta, Direktorat Kebudayaan melalui LSP Kebudayaan (LSP milik direktorat) bekerja sama dengan Institut Musisi Jalanan  melakukan sertifikasi untuk musisi jalanan dengan skema sertifikasi musisi September 2023 lalu. Tentang LSP P-2 (pihak kedua) Kebudayaan ini dapat diakses di situs web LSP Kebudayaan.Â
LSP Kebudayaan ini juga menginisiasi terbitnya standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) Sejarah yang melahirkan skema penulis sejarah untuk sertifikasi. Saya termasuk salah seorang yang mengikuti bimtek dan sertifikasi penulis sejarah sehingga memegang sertifikat penulis sejarah. Kegiatan selama empat hari itu semua dibiayai oleh Direktorat Kebudayaan.
Sertifikasi untuk penulis dan editor sebenarnya sudah terlaksana sejak 2019 ketika Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) menyusunan standar kompetensi kerja khusus (SKKK) yang disahkan Kementerian Ketenagakerjaan. Lalu, Penpro meneruskannya dengan mendirikan lembaga sertifikasi profesi pihak ketiga (LSP P-3) Penulis dan Editor Profesional. Sampai kini ada sekira 11.000 orang telah mengikuti sertifikasi penulis dan editor, terbanyak dari kampus, yakni dosen dan mahasiswa.
Pemicu penolakan dari teman-teman penulis buku anak tampaknya (saya merasa saja) karena kehadiran saya pada acara Ngopi yang diadakan oleh Paberland. Paberland yang dulu dikenal dengan nama Forum Penulis Bacaan Anak merupakan perkumpulan yang didirikan oleh Mas Ali Muakhir, dkk.Â
Paberland tertarik mengangkat isu sertifikasi penulis karena Pusat Perbukuan (Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek) baru saja menginisiasi penyusunan SKKNI Bidang Penerbitan Buku/Pelaku Perbukuan. Ada 100 lebih orang yang mengikuti diskusi hangat ini.
Saya menjelaskan perihal sertifikasi profesi, tetapi tidak cukup memahamkan banyak orang. Penolakan yang muncul dalam pandangan saya adalah di antara mereka yang cukup paham, setengah paham, dan tidak paham sama sekali duduk perkara sertifikasi profesi.Â
Apalagi, jika tersulut bahwa sertifikasi ini menjadi wajib seperti halnya sertifikasi musisi. Namun, boleh jadi juga ada kekeliruan saya menyampaikannya dalam format obrolan dan tanya-jawab itu sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
Maka dari itu, saya menuliskan beberapa poin pokok saja di sini tentang polemik yang terjadi. Seorang teman penulis sambil bercanda menuliskan di kolom komentar medsosnya: Jangan sampai ini seperti kasus cebong dan kampret.Â
Tapi, ini perkara setiap orang memiliki hak untuk setuju dan tidak setuju secara pribadi. Jika kemudian mereka yang tidak setuju berkelompok dan membuat petisi, itu harus dihormati. Tidak perlu ada petisi tandingan.
Asal Usul Sertifikasi Profesi
Mari memulai dari asal usul terlebih dahulu. Sertifikasi profesi tidak mungkin ada jika tidak ada regulasi yang memerintahkannya. Keperluan sertifikasi profesi/kompetensi ini bermula dari pembentukan Badan Nasional Pendidikan dan Pelatihan Profesi (BN3P). Ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Kemenaker, Kemendikbud, dan KADIN.
Pembentukan badan ini kemudian melahirkan undang-undang yang berhubungan dengan sertifikasi, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada UU Sisdiknas terdapat pasal yang mengharuskan lulusan SMK memiliki sertifikat kompetensi.
PP Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), PP Nomor31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, dan PP Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia (KKNI) kemudian disahkan. Ketiga produk regulasi itu merupakan satu kesatuan Sistem Pengembangan Tenaga Kerja Berbasis Kompetensi.
BNSP kemudian berdiri tahun 2005 sebagai lembaga resmi yang menyelenggarakan sistem sertifikasi nasional. BNSP mengelola sumber daya sertifikasi, yaitu master asesor, asesor, lembaga sertifikasi profesi (LSP), dan tempat uji kompetensi (TUK). Ia memiliki kewenangan untuk mengesahkan LSP, termasuk membekukan LSP.
Ada dua perangkat yang menjadi acuan sertifikasi, yaitu standar kompetensi kerja (SKKK/SKKNI) dan skema sertifikasi. Jika SKKK/SKKNI disahkan oleh Kemenaker, untuk skema sertifikasi disahkan oleh BNSP atas pengajuan LSP.
Demikian pula pengadaan sumber daya sertifikasi, yaitu master asesor, asesor, dan LSP harus melalui lisensi BNSP. Artinya, tanpa adanya master asesor, asesor, dan LSP, sertifikasi tidak akan terjadi. Namun, adanya mandatori dari UU memungkinkan sumber daya ini diadakan segera.
Poin ini menjelaskan alur panjang sertifikasi profesi/kompetensi sebelum benar-benar terjadi. Latar belakang regulasi sangat mendominasi kepentingan sertifikasi ini.
Apakah Sertifkasi Penulis Buku itu Wajib?
UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan tidak menegaskannya tentang sertifikasi kompetensi pelaku perbukuan. Namun, PP Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan menyinggung perihal ini pada Bagian Kedua Pembinaan Profesionalitas, Pasal 70, tertuang bahwa pembinaan profesionalitas dilakukan melalui (a) peningkatan kompetensi; (b) pembinaan organisasi profesi; (c) pengembangan standar kompetensi kerja nasional Indonesia profesi perbukuan; dan (d) pengembangan sistem sertifikasi.
Dengan merujuk pada poin (c) dan (d) PP tersebut maka Pusat Perbukuan sebagai lembaga resmi perbukuan berkewajiban menyusun SKKNI dan mengembangkan sistem sertifikasinya. Ia tidak lantas digemakan sebagai kewajiban sertifikasi untuk semua pelaku perbukuan.
Saya pada tahun 2016--2017 terlibat langsung dalam penyusunan RUU Sistem Perbukuan sebagai anggota tim pendamping ahli di Komisi X DPR-RI dan terus dilibatkan dalam penyusunan PP hingga peraturan menteri dan peraturan Kepala BSKAP. Diskusi tentang peningkatan mutu buku salah satunya merujuk pada sertifikasi kompetensi. Tapi, ia bukan satu-satunya jalan membina pelaku perbukuan untuk menghasilkan buku bermutu. Perdebatan terjadi juga pada setiap rapat pembahasan.
Kewajiban sertifikasi dapat timbul melalui penilaian atau rekrutmen penulis. Misalnya, taruhlah sebuah kementerian atau lembaga pemerintah hendak merekrut penulis buku anak agar dapat menuliskan tentang literasi kebencanaan atau literasi finansial. Kemudian, lembaga itu meminta bukti sertifikat keahlian/kompetensi, itu baru dapat disebut hal wajib.
Kekhawatiran dalam contoh lain seperti ini. Misalnya, Pusat Perbukuan yang memiliki otoritas penilaian buku teks dan buku nonteks membuat ketentuan pelaku perbukuan untuk buku yang dinilaikan itu tesertifikasi. Itu baru menjadi wajib meskipun sampai saat ini belum diberlakukan oleh Pusat Perbukuan, hanya disarankan.
Demikian pula dengan sayembara penulisan bacaan literasi di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Banyak penulis yang terlibat di kegiatan ini setiap tahun, baik sebagai juri maupun sebagai peserta. Jika Pusbuk mewajibkan penulis tesertifikasi, tentu Badan Bahasa juga akan mewajibkan karena semua buku yang lolos sayembara harus disahkan oleh Pusbuk penggunaannya di program dan satuan pendidikan.Â
Jadi, ini memang berkelindan, tetapi kewajiban sertifikasi itu belum terjadi dan tidak pula tersebut sebagai mandatori di dalam regulasi. Petisi penolakan mungkin sebagian besar untuk menghindari perihal Pusbuk dan Badan Bahasa tersebut. Bahkan, penolakan juga muncul dari anggota Komite Penilaian Buku Nonteks di Pusbuk dengan menyebarkan dan mendukung petisi penolakan.Â
Sebagai polemik wajar jika ada yang setuju dan tidak setuju sehingga perlu diskusi panjang soal ini sebelum ia menjadi kewajiban, terutama di Pusat Perbukuan sendiri yang memegang otoritas pembinaan pelaku perbukuan. Namun, Pusbuk menyusun SKKNI itu sudah di jalurnya. Tidak ada alasan menolak penyusunan SKKNI karena tidak selalu berhubungan dengan kewajiban sertifikasi.
Saya menyampaikannya sebagai pilihan meskipun ada yang memandang jawaban saya itu memualkan/memuakkan. Padahal, jawaban semacam ini juga muncul dari para ahli tentang polemik sertifikasi, terutama profesi yang menyangkut seni.Â
Pilihan bagi yang memang memerlukan secarik kertas sertifikat berlisensi BNSP itu untuk ikut sertifikasi, dan boleh ditinggalkan bagi yang tidak memerlukan sama sekali. Kewajiban hanya terjadi pada dua hal, diperintahkan langsung oleh regulasi atau ditentukan langsung oleh lembaga/organisasi dalam industri tersebut.
SKKNI dan Sertifikasi Penulis untuk Apa?
Sampai kini Pusbuk sudah menjalankan satu amanat regulasi PP untuk menyusun SKKNI Bidang Perbukuan/Pelaku Perbukuan. SKKNI ini menunggu disahkan oleh Kemenaker. SKKNI itu memuat unit-unit kompetensi, elemen kompetensi, dan kriteria unjuk kerja. SKKNI salah satunya menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik di SMK, di perguruan tinggi, maupun di lembaga kursus/diklat.Â
Butir unit kompetensi dapat digunakan dalam penyusunan capaian pembelajaran dan tujuan pembelajaran, termasuk materi pembelajaran. Jadi, ia memudahkan dalam penyusunan silabus pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.Â
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi kembali mengukuhkan  lulusan SMK dan pendidikan vokasi harus tesertifikasi BNSP sebagai langkah penjaminan mutu (lihat Pasal 16). Ini yang perlu dipahami bahwa ada kebutuhan siswa SMK dan mahasiswa vokasi (D-3/D-4) untuk tesertifikasi.
Saya pernah mengajar di Jurusan Penerbitan, Prodi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia). Tugas akhir mahasiswa Polimedia itu dominan juga  berupa proyek buku anak secara kolaboratif. Ada yang menjadi penulis, editor, dan ilustrator/desainer.
Tentulah mereka harus mendapatkan kuliah tentang sastra anak dan penulisan buku anak, termasuk ilustrasi buku anak, sebelum menyusun TA berbasis proyek buku anak. Mereka pun perlu diuji kompetensi melalui LSP perguruan tinggi tersebut sebelum lulus dan dinyatakan kompeten menulis buku anak.
Mahasiswa yang baru lulus itu tidak memiliki portofolio karya, kecual TA dan bukti hasil belajar berupa ijazah. Karena itu, mereka memerlukan pengakuan lain berupa sertifikat kompetensi. Itulah yang menjadi amanat dari PP Nomor 68/2022.Â
Untuk SMK, tidak ada jurusan penerbitan di sana, tetapi DKV dan seni rupa ada sehingga desainer dan ilustrator buku yang berasal dari lulusan SMK pun harus tesertifikasi sebagai penjaminan mutu lulusan. Saya mendengar juga akan ada penolakan sertifikasi dari kalangan ilustrator. Karena itu, untuk melihat kepentingannya, salah satu lihat pada lulusan SMK saja.
Itu mengapa sertifikasi profesi/kompetensi bidang perbukuan kemungkinan tetap harus dilaksanakan meskipun bukan sebagai kewajiban dalam penilaian buku di Pusbuk atau sayembara di Badan Bahasa. Ia mesti dilaksanakan di lembaga pendidikan formal untuk menjamin mutu lulusan. Di perguruan tinggi, ia dapat menjadi SKPI atau surat keterangan pendamping ijazah. Saya menggunakan sertifikat kompetensi sebagai SKPI saat mengikuti sidang tesis di Universitas Paramadina.Â
Standar dan Kreativitas
Memang tidak ada pelaku perbukuan yang tidak berhubungan dengan kreativitas. Penulis, editor, ilustrator, dan desainer buku menggunakan proses kreatif dalam berkarya. Semua juga berbasis pengetahuan, keterampilan, dan sikap (kode etik) untuk menjalankannya di tambah dengan kekuatan imajinasi yang sulit tentunya diukur.
Saat kegiatan Ngopi di Paberland, saya membaca sebuah komentar yang membenturkan standar dengan kreativitas. Intinya jika sesuatu distandarkan, berarti semua diseragamkan. Ini kesalahan berpikir soal standar.
Di dalam penulisan fiksi ada istilah premis, logline, dan sinopsis dalam proses kreatif pramenulis. Pembuatan premis, logline, dan sinopsis itu standar, lantas apa hasilnya semua sama?Â
Namun, harus dipahami ada penulis yang tidak memerlukan semua itu. Ragangannya ada di dalam kepala dia dan dia langsung menulis saja. Ini sulit menjelaskannya sebagai tacit knowledge, kecuali dikonversi menjadi explicit knowledge.
Maka dari itu, standar diperlukan sebagai pengetahuan/keterampilan eksplisit. Standar diperlukan untuk menyusun silabus diklat utamanya, termasuk di perkuliahan agar semua peserta diklat, siswa, dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang baku dalam satu bidang ilmu. Jika tidak ada standar acuan, tidak perlu ada sekolah dan perguruan tinggi. Cukup belajar secara informal melalui mentor-mentor kehidupan.
Kalau ada yang merasa cukup belajar secara autodidak, ini juga sebuah pilihan pikiran dan hati. Sama halnya dengan menolak sekolah atau kuliah karena anggapan itu tidak penting.Â
Pusbuk sudah menyusun SKKNI sebagai standar kompetensi pelaku perbukuan. Saya kira penolakan teman-teman penulis buku anak itu bukan diarahkan untuk menolak SKKNI-nya. SKKNI pelaku perbukuan itu sudah menjadi amanat PP untuk disusun oleh Pusbuk, termasuk menyusun peta okupasi. Jalan belajar dan berlatih sesuai dengan standar kompetensi sudah diberikan sehingga mempermudah lembaga pendidikan, kursus, dan pelatihan menyelenggarakannya.
Sertifikasi sebagai Penghargaan
Konteks sertifikasi sebagai penghargaan saya kutip juga dari uraian Pak Surono, mantan komisioner dan Ketua BNSP yang mendalami khusus ilmu sertifikasi. Beliau menyampaikan bahwa sertifikasi itu harus dipandang juga sebagai penghargaan terhadap tokoh yang sudah berdedikasi terhadap profesinya.
Ini memang sering dipertanyakan. Kira-kira begini.
Saya sudah menulis ratusan buku anak. Saya sudah mendapatkan berbagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, bahkan penghargaan internasional. Saya sudah menjalani profesi saya selama lebih dari 20 tahun. Karya-karya saya termasuk best seller, bahkan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di dunia. Terus apakah saya harus disertifikasi?
Salah satu makna disertifikasi = diberi penghargaan. Kalau 'diakui', fakta sudah membuktikan maka tidak perlu dipertanyakan lagi.Â
Ini sama dengan LSP menyertifikasi, sebagai contoh saja, Andrea Hirata atau Eka Kurniawan. Apakah mereka disertifikasi dengan uji kompetensi? Tidak begitu karena ada metode uji yang lain. Mereka disertifikasi dengan portofolio jejak rekam karya dan penghargaan yang diterimanya dalam format wawancara atau boleh juga bedah buku.Â
Sama halnya dengan penulis yang memperoleh Anugerah Kebudayaan. Ada dewan juri yang mewawancarainya dan bertanya soal proses kreatif dan produk kreatif. Dari proses itu dewan juri menetapkan si penulis pun pantas memperoleh penghargaan. Ya, sertifikasi sebagai penghargaan itu sama dengan itu.Â
Anugerah Kebudayaan itu juga inisiasi Direktorat Kebudayaan, Kemendikbudristek. Tadi saya sebutkan Direktorat Kebudayaan punya LSP Kebudayaan yang menyelenggarakan, di antaranya sertifikasi penulis sejarah dan musisi. Artinya, pemikiran pentingnya sertifikasi juga ada di lembaga ini.
Metode sertifikasi sebagai penghargaan itu sudah cukup menempatkan sang maestro, master, atau suhu sebagai orang yang kompeten dengan level tinggi, bahkan tertinggi---seperti halnya Bu Susi Pudjiastuti yang memperoleh sertifikat level 9 di bidang kemaritiman. Asesor yang ditugaskan mengasesmen penulis tokoh ini juga relevan dari kalangan mereka sendiri yang juga diakui karyanya.
Tapi, mungkin ada juga yang berpandangan: Lah, saya tidak perlu sertifikat kompetensi!Â
Maka dari itu, tidak dapat pula LSP memaksa orang untuk diberi penghargaan. Jangankan pemberian sertifikat kompetensi, penghargaan sastra bergengsi internasional juga ada yang menolak untuk menerimanya dengan alasan tertentu.
Umur Sertifikat dan Penggunaan Sertifikat Kompetensi
Ini juga dipertanyakan mengapa ada resertifikasi? Resertifikasi memang merujuk pada aturan BNSP. Ada LSP yang melakukan resertifikasi dengan limitasi 2 tahun dan ada juga yang berbilang 3 tahun atau lebih. Resertifikasi diperlukan untuk survailen bahwa pemegang sertifikat tetap bergiat di bidangnya. Dalam konteks penulis adalah tetap berkarya.
Jadi, para penulis yang tesertifikasi akan diresertifikasi dengan melihat portofolio pekerjaan berupa buku hasil karyanya atau kontrak penulisan buku yang dikerjakannya dari perseorangan atau lembaga/organisasi. Proses resertifikasi tidak sama dengan uji kompetensi karena hanya memverifikasi bukti/portofolio lalu dikeluarkan sertifikat yang baru.
Ada penulis yang sudah tesertifikasi lalu ia mengungkapkan tidak pernah menggunakan sertifikat itu. Artinya, sertifikat kompetensi itu tidak bermanfaat baginya. Ini saya pandang persoalan orang per orang saja. Saya sendiri menggunakan sertifikat itu ketika salah satunya mendapatkan pekerjaan merevisi buku panduan dari KPK. Lembaga antirasuah itu mempersyaratkan adanya sertifikat keahlian untuk penerima pekerjaan.
Jadi, sertifikat itu akan berfungsi dengan keterlibatan intens penulis di industri penulisan dan industri penerbitan. Jika tidak, tentu memang tidak ada gunanya tesertifikasi. Dari sini dapat dipahami sertifikat kompetensi bagi penulis buku anak akan berfungsi jika ada lembaga/organisasi yang mempersyaratkannya ketika si penulis dikontrak untuk suatu proyek penulisan.
Misalnya, sebuah korporat yang bergerak dalam produksi camilan anak ingin membuat buku anak sebagai gimmick. Ia merekrut penulis buku anak dengan syarat ada sertifikat kompetensi. Penulis pun harus memenuhinya jika ingin mengerjakan proyek itu. Jika tidak ingin, ia memang tidak perlu besertifikat.
Lalu, ada yang menyanggah selama ini ia tetap memperoleh proyek penulisan tanpa sertifikat kompetensi. Nah, berarti pemberi pekerjaan memang tidak mewajibkannya atau lebih melihat jejak rekam si penulis. Hal semacam ini pun sangat mungkin terjadi. Saya sendiri juga pada beberapa proyek tidak menggunakan sertifikat kompetensi.
Karena itu, sertifikat kompetensi penulis akan bermakna bagi mereka yang terjun di industri penulisan dan industri penerbitan sebagai profesional aktif. Bagi penulis amatir (menulis sebagai hobi/kesenangan belaka) atau kadang menulis kadang tidak, tentu tidak ada maknanya.
Sertifikasi adalah Bisnis
Ini bahasan terakhir tulisan saya karena sejatinya banyak sekali yang dipertanyakan. Kali pertama mengeposkan tentang sertifikasi, teman saya dari Ikapi langsung menyambar: Ah, ini sih hanya bisnis!
Sertifikasi oleh lembaga sertifikasi profesi secara umum memang bisnis. Sama halnya dengan sertifikasi lain, sebut saja seperti sertifikat hipnoterapi atau sertifikat TOEFL. LSP, khususnya LSP pihak ketiga (P-3) hidupnya dari bisnis uji kompetensi dan sertifikasi ini walaupun ia merupakan kepanjangan tangan BNSP.
LSP menggunakan sumber daya sertifikasi yang juga harus dibayar seperti asesor dan tempat uji kompetensi. Biaya sertifikasi di tiap LSP berbeda-beda karena cara menghitung antara biaya operasional dan keuntungan juga berbeda-beda. Ini mungkin sudah cukup dipahami.
Beberapa asosiasi profesi menjadikan sertifikasi sebagai pendapatan untuk menjalankan roda organisasi. Maka berkembanglah istilah bisnis sertifikasi. Sekali lagi, sertifikasi hanya akan terjadi jika ada SKKNI/SKKK, skema sertifikasi, dan LSP. Sebagai lembaga bisnis, LSP P-3 akan sangat berhitung dengan potensi sertifikasi di masyarakat profesi. Hukum supply and demand berlaku.
Misal saja dengan isu dan perkembangan yang ada, penulis buku anak menolak sertifikasi maka LSP mungkin tidak akan mengajukan skema penulis buku anak bergambar atau penulis novel anak. Ya, buat apa diajukan jika tidak ada peminatnya. Tapi, ternyata di samping yang menolak ada pula yang memerlukannya, seperti mahasiswa yang saya sebutkan tadi. Itu mengapa saya sekali lagi menegaskan sertifkasi itu pilihan bagi yang berkepentingan.Â
Pas ada yang bertanya apakah Paberland sebagai perkumpulan penulis buku anak dapat mendirikan LSP? Tentu saja dengan mengikuti proses pendiriannya di BNSP. Hanya tentu pula pengurus dan warganya harus setuju.
Memang ada sertifikasi yang bukan bisnis? Ada, contoh konkret UKBI yang diselenggarakan Badan Bahasa. Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia itu berbayar juga, tetapi murah dan ada juga yang gratis. Uji dilakukan dengan materi uji standar yang diproses melalui sistem komputer. Bahkan, UKBI adaptif sudah menggunakan AI.Â
Contoh lain, sertifikasi kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga, sering disebut LSP pihak kedua atau P-2. Â Seperti saya sebut sebelumnya LSP Kebudayaan milik Direktorat Kebudayaan menyelenggarakan sertifikasi kompetensi gratis karena menggunakan dana pemerintah. Demikian pula LSP Penyuluh Antikorupsi milik KPK. Jadi, yang bukan berorientasi bisnis adalah LSP P-1 yang dikelola SMK/perguruan tinggi dan LSP P-2 yang dikelola lembaga pemerintah atau perusahaan untuk kepentingan internal.
Banyak yang berkeberatan sertifikasi karena berbayar atau karena biayanya mahal. Wajar sekali keberatan ini. Sertifikasi guru dan sertifikasi dosen juga berbayar. Ini juga yang dipertanyakan dengan membandingkan sertifikasi guru/dosen yang seumur hidup dengan sertifikasi kompetensi dari BNSP yang berlimitasi. Biarlah yang menjawab soal ini pihak yang berwenang saja.
Baiklah jika terasa memberatkan maka biarkan pemerintah yang membiayai Anda untuk ikut sertifikasi karena program ini dari pemerintah. Namun, yang namanya subsidi pemerintah itu terbatas. Alhasil, ada yang kebagian subsidi dan ada yang tidak.Â
Di BNSP sendiri ada program subsidi sertifikasi yang bernama Pelaksanaan Sertifikat Kompetensi Kerja (PSKK) setiap tahun. Masalahnya tiap tahun jumlah subsidinya berkurang, apalagi saat pandemi terjadi. Begitu pula Pusbuk selama dua tahun terakhir menyelenggarakan sertifikasi bersubsidi untuk para penulis buku nonfiksi dan editor.
***
Ini saja yang hendak saya sampaikan menjelang adanya undangan bulan Januari 2024 dari FLP Jakarta untuk membahas soal sertifikasi penulis ini juga, terutama terkait dengan penulis fiksi dalam wilayah sastra. Saya awalnya sangat berhati-hati sekali ketika diminta mengomandoi penyusunan RSKKNI pelaku perbukuan ini, khususnya untuk membuat unit kompetensi bagi penulis fiksi (buku anak dan novel). Namun, sebagai kompetensi yang diajarkan di Fakultas Sastra/Fakultas Ilmu Budaya atau mungkin juga di Fakultas Ilmu Komunikasi, ia patut  disusun sebagai standar kompetensi.
Argumentasi saya dalam tulisan ini adalah pandangan pribadi sebagai penggagas dan pelaku sertifikasi kompetensi bidang penerbitan buku. Pandangan ini tidak mewakili siapa pun, termasuk Pusat Perbukuan atau lembaga lainnya. Mungkin hal ini tetap akan menjadi polemik sehingga selayaknya antara yang tidak setuju dan setuju sertifikasi penulis buku anak itu dapat saling menghormati dan tak perlu berseteru. Mari teruskan Ngopi pagi, siang, sore, dan malam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H