Dengan merujuk pada poin (c) dan (d) PP tersebut maka Pusat Perbukuan sebagai lembaga resmi perbukuan berkewajiban menyusun SKKNI dan mengembangkan sistem sertifikasinya. Ia tidak lantas digemakan sebagai kewajiban sertifikasi untuk semua pelaku perbukuan.
Saya pada tahun 2016--2017 terlibat langsung dalam penyusunan RUU Sistem Perbukuan sebagai anggota tim pendamping ahli di Komisi X DPR-RI dan terus dilibatkan dalam penyusunan PP hingga peraturan menteri dan peraturan Kepala BSKAP. Diskusi tentang peningkatan mutu buku salah satunya merujuk pada sertifikasi kompetensi. Tapi, ia bukan satu-satunya jalan membina pelaku perbukuan untuk menghasilkan buku bermutu. Perdebatan terjadi juga pada setiap rapat pembahasan.
Kewajiban sertifikasi dapat timbul melalui penilaian atau rekrutmen penulis. Misalnya, taruhlah sebuah kementerian atau lembaga pemerintah hendak merekrut penulis buku anak agar dapat menuliskan tentang literasi kebencanaan atau literasi finansial. Kemudian, lembaga itu meminta bukti sertifikat keahlian/kompetensi, itu baru dapat disebut hal wajib.
Kekhawatiran dalam contoh lain seperti ini. Misalnya, Pusat Perbukuan yang memiliki otoritas penilaian buku teks dan buku nonteks membuat ketentuan pelaku perbukuan untuk buku yang dinilaikan itu tesertifikasi. Itu baru menjadi wajib meskipun sampai saat ini belum diberlakukan oleh Pusat Perbukuan, hanya disarankan.
Demikian pula dengan sayembara penulisan bacaan literasi di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Banyak penulis yang terlibat di kegiatan ini setiap tahun, baik sebagai juri maupun sebagai peserta. Jika Pusbuk mewajibkan penulis tesertifikasi, tentu Badan Bahasa juga akan mewajibkan karena semua buku yang lolos sayembara harus disahkan oleh Pusbuk penggunaannya di program dan satuan pendidikan.Â
Jadi, ini memang berkelindan, tetapi kewajiban sertifikasi itu belum terjadi dan tidak pula tersebut sebagai mandatori di dalam regulasi. Petisi penolakan mungkin sebagian besar untuk menghindari perihal Pusbuk dan Badan Bahasa tersebut. Bahkan, penolakan juga muncul dari anggota Komite Penilaian Buku Nonteks di Pusbuk dengan menyebarkan dan mendukung petisi penolakan.Â
Sebagai polemik wajar jika ada yang setuju dan tidak setuju sehingga perlu diskusi panjang soal ini sebelum ia menjadi kewajiban, terutama di Pusat Perbukuan sendiri yang memegang otoritas pembinaan pelaku perbukuan. Namun, Pusbuk menyusun SKKNI itu sudah di jalurnya. Tidak ada alasan menolak penyusunan SKKNI karena tidak selalu berhubungan dengan kewajiban sertifikasi.
Saya menyampaikannya sebagai pilihan meskipun ada yang memandang jawaban saya itu memualkan/memuakkan. Padahal, jawaban semacam ini juga muncul dari para ahli tentang polemik sertifikasi, terutama profesi yang menyangkut seni.Â
Pilihan bagi yang memang memerlukan secarik kertas sertifikat berlisensi BNSP itu untuk ikut sertifikasi, dan boleh ditinggalkan bagi yang tidak memerlukan sama sekali. Kewajiban hanya terjadi pada dua hal, diperintahkan langsung oleh regulasi atau ditentukan langsung oleh lembaga/organisasi dalam industri tersebut.
SKKNI dan Sertifikasi Penulis untuk Apa?
Sampai kini Pusbuk sudah menjalankan satu amanat regulasi PP untuk menyusun SKKNI Bidang Perbukuan/Pelaku Perbukuan. SKKNI ini menunggu disahkan oleh Kemenaker. SKKNI itu memuat unit-unit kompetensi, elemen kompetensi, dan kriteria unjuk kerja. SKKNI salah satunya menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik di SMK, di perguruan tinggi, maupun di lembaga kursus/diklat.Â
Butir unit kompetensi dapat digunakan dalam penyusunan capaian pembelajaran dan tujuan pembelajaran, termasuk materi pembelajaran. Jadi, ia memudahkan dalam penyusunan silabus pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.Â