Produktivitas penulis Indonesia menulis buku yang luar biasa ini sebenarnya dapat ditelusuri penyebabnya. Memang hal ini seperti menyiratkan gairah literasi yang tinggi dalam menulis. Namun, kita tidak boleh terkecoh oleh angka-angka yang melonjak drastis. Literasi semacam apa yang tumbuh itu?Â
Saya menengarai beberapa indikasi lonjakan pengajuan ISBN ini.
- Penilaian buku untuk mendapatkan angka kredit kenaikan pangkat mensyaratkan ISBN. Hal ini terjadi pada lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi. ISBN dijadikan mandatori pengajuan buku sehingga mengharuskan para penulis bekerja sama dengan penerbit. Penerbit berbayar (vanity publisher) menangkap peluang ini dengan mempromosikan biaya semurah mungkin. Modusnya yang penting buku terbit meskipun hanya dicetak dua eksemplar.
- Proyek penulisan buku bersama (antologi) marak dalam beberapa tahun terakhir ini. Penyelenggara proyek ini merupakan penerbit kecil yang mengharapkan uang masuk dari pembayaran peserta. Buku antologi itu pun dicetak minimal sejumlah peserta sebatas memenuhi harapan para penulis pemula ini untuk memiliki buku. Buku itu sama sekali tidak berpotensi dikomersialkan dalam penjualan secara luas.Â
- Proyek penulisan buku bersama yang digagas oleh sekolah, kampus, atau komunitas juga meningkat. Buku itu dicetak terbatas dan disebarkan untuk kalangan sendiri, sekadar untuk  memberikan kebanggaan bagi para penulis.
- Penerbitan publikasi pemerintah semakin banyak dari tahun ke tahun. Semua publikasi itu seolah-olah dianggap buku sehingga harus di-ISBN-kan, padahal hanya berbentuk laporan, terbit terbatas, dan digunakan di internal lembaga.
Mudahnya persyaratan ISBN dan gratis juga menjadi salah satu pendorong maraknya pengajuan ISBN. Mungkin ISBN dikira sekadar nomor yang dapat dikeluarkan terus-menerus tanpa ada konsekuensi di balik itu.
Sisi lain yang mendorong maraknya pengajuan ISBN adalah kesalahpahaman penulis soal hakikat nomor ini. Nomor ini sering dihubungkan dengan mutu buku, prestise, dan pengakuan internasional. International ISBN Agency menegaskan bahwa nomor ISBN bukan merupakan perlindungan terhadap hak cipta. Jelas pula bahwa nomor ini tidak ada hubungannya dengan mutu buku, gengsi, dan pengakuan internasional. Â Ia hanya nomor untuk membantu identifikasi buku.
Maka dari itu, saya pun heran jika ada yang sangat kreatif menggelar pelatihan penulisan buku ber-ISBN, seolah-olah buku ber-ISBN itu adalah suatu kiat atau cara yang memerlukan keterampilan khusus untuk membuatnya. Buku yang ber-ISBN belum tentu buku yang bermutu---untuk kasus saat ini---dan buku yang tidak ber-ISBN belum tentu juga buku yang tidak bermutu.
Memaklumi Pembatasan ISBN
Saya dapat memaklumi jika PNRI mengambil langkah pembatasan ISBN. Langkah pertama adalah mengidentifikasi buku-buku yang tidak relevan diberi ISBN. Dalam diskusi tentang ISBN di PNRI beberapa waktu lalu, saya mengusulkan beberapa hal. Salah satunya agar PNRI membuat nomor identifikasi buku secara nasional. Jadi, buku-buku yang sebenarnya tidak relevan diberi ISBN dapat diakomodasi dengan pemberian nomor identifikasi nasional. Namun, tentu ada pekerjaan baru untuk hal ini.
Langkah kedua adalah memperketat syarat pengajuan ISBN dan kriteria buku ber-ISBN dengan mempertimbangkan profesionalitas penerbit dan pelaku perbukuan. Pengetatan syarat dan kriteria ini memang akan terhubung dengan setidaknya mutu sebuah buku. Tentu ada cara untuk mengidentifikasi mutu buku.
Sebuah lembaga bernama Council of Europe dapat ditiru dalam kebijakan publikasi ber-ISBN. Mereka membuat aturan sebagai berikut.
- Dokumen dan laporan Council of Europe serta materi komunikasi lainnya, terlepas dari panjangnya, tidak memerlukan ISBN, kecuali publikasi itu akan dijual dan didistribusikan melalui saluran  komersial.
- Untuk publikasi yang dicetak dan dikeluarkan hanya untuk lingkungan terbatas dan yang tidak tersedia atau dipromosikan secara luas, ISBN tidak relevan diadakan.
- Penerapan ISBN tunduk pada penghormatan terhadap standar kontrol kualitas penerbitan Council of Europe, dalam bahasa Inggris dan Prancis. Publikasi harus disetujui oleh Direktorat Komunikasi. Karena ISBN memberikan visibilitas, Council of Europe hanya mengeluarkan ISBN untuk publikasi yang memenuhi kriteria kontrol kualitas organisasi. Hal ini termasuk standar editorial, standar teknis, kepatuhan terhadap piagam grafis, kepatuhan dengan kriteria hak, dan tautan dengan pasar dan/atau rencana distribusi yang jelas.
Council of Europe membuat syarat mutu (memenuhi standar mereka) untuk buku-buku yang ber-ISBN. Tentu semestinya hal ini juga yang harus dipahami lembaga pemerintah atau lembaga pendidikan untuk tidak sembarang meng-ISBN-kan semua publikasi mereka, termasuk penerbit. Penerbit berbayar (vanity publisher) harus memiliki standar mutu, bukan malah menerima naskah buku tidak bermutu dengan prinsip "yang penting bayar". Jika hal terakhir ini yang dilakukan, tentu tidak harus buku seperti itu di-ISBN-kan.Â
PNRI sendiri telah memiliki juga beberapa solusi untuk mengendalikan ISBN. Pertama, lembaga pemerintah atau lembaga pendidikan seperti kampus hanya diberikan satu akun (single account) ISBN sehingga tidak perlu ada ISBN untuk beberapa direktorat atau fakultas/jurusan. Kedua, penerbit mayor beragih prefiks (share prefix) kepada penerbit mikro/penerbit mandiri. Penerbit mayor biasanya memperoleh jatah nomor ISBN yang lebih besar sehingga jatah itu dapat dibagikan kepada penerbit lain dengan satu akun.
Sebuah status di linimasa Facebook menghubungkan pembatasan ini sama dengan menghambat gairah literasi melalui penerbitan buku. Sekali lagi, tidak ada hubungan ISBN dengan gairah literasi, minat membaca, minat menulis, dan apalagi mutu buku. Kita mungkin boleh bertelingkah soal ini. Namun, demikianlah adanya bahwa jika buku pun tidak ber-ISBN, itu bukan berarti kiamat bagi dunia literasi.