Kesimpulannya publikasi yang tidak relevan diberi ISBN meskipun masuk kategori buku, yaitu
- publikasi yang diperbanyak dan dicetak secara terbatas, bahkan untuk penggunaan internal;
- publikasi yang tidak diperjualbelikan secara komersial;
- publikasi yang tidak dapat diakses publik secara mudah dan meluas; dan
- publikasi yang tidak disiapkan secara profesional sebagai sebuah buku untuk konsumsi publik.
Istilah 'terbatas' tersebut dapat mengacu pada angka tiras cetak tertentu. UNESCO ketika merilis definisi buku pada tahun 1968 pernah menambahkan ciri bahwa buku harus tersedia untuk publik sekurang-kurangnya 50 eksemplar. Namun, definisi ini dibuat akhir 1960-an. Artinya, angka 50 eksemplar itu tampaknya sudah tidak relevan untuk konteks masa kini.
LIPI Press pernah juga membuat persyaratan buku ilmiah dicetak minimal 300 eksemplar. Tiras cetak ini sudah dianggap berat bagi para penulis yang membiayai sendiri buku terbitannya di penerbit berbayar (vanity publisher).
Saya sendiri sebagai penerbit mikro kerap mencetak (print run) pada angka 200 hingga 500 eksemplar. Buku-buku karya saya di bidang ilmu penerbitan boleh dikatakan memiliki pasar ceruk (niche). Angka tersebut memang minim dalam memenuhi skala ekonomi penerbitan.Â
Berapa angka yang relevan? Paling tidak 1.000 eksemplar. Namun, tentu berbeda kemampuan antara penerbit mikro dan penerbit mayor. Tiras cetak 1.000 eksemplar sangat berat bagi penerbit mikro dan biasa bagi penerbit mayor. Tiras penerbit mayor umumnya minimal 2.000 eksemplar pada cetakan pertama dan maksimal 5.000 eksemplar.
Sejatinya ISBN tidak membuat dikotomi antara penerbit mikro dan penerbit mayor. Semua penerbit yang mengajukan buku secara relevan tentu layak mendapatkan ISBN.
Namun, perlu dipahami bahwa buku tidak ber-ISBN bukan berarti "tercela". Sekali lagi, buku tidak ber-ISBN dapat dimaklumi jika buku itu memang dicetak terbatas, disebarkan untuk kalangan sendiri (internal), dan tidak dkomersialkan. Buku tidak ber-ISBN juga bukan berarti tidak dapat dijual dalam lingkup terbatas.
Lalu, bagaimana dengan buku-buku terbitan pemerintah yang bersifat open access, tersedia untuk publik secara gratis dalam bentuk elektronik seperti buku-buku dari Penerbit BRIN dan buku bacaan literasi terbitan Badan Bahasa? Buku-buku itu masih relevan diberi ISBN buku elektronik karena diperlukan sebagai basis data perbukuan, terutama buku ilmiah (BRIN) dan buku anak/sastra anak (Badan Bahasa).
Jatah ISBN Semakin Minim
Indonesia mendapatkan nomor khas blok ISBN adalah 978-623 dengan jatah ISBN sebanyak 1 juta ISBN dalam periode tertentu. Diperkirakan nomor itu akan habis dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun. Beberapa negara menghabiskan angka 1 juta itu lebih dari 15 tahun, bahkan 20 tahun.
Alokasi 1 juta nomor itu diberikan kepada Indonesia terakhir pada tahun 2018, tetapi baru empat tahun berlangsung pada tahun 2022, pemberian ISBN sudah membengkak lebih dari 50% mencapai 623.000 judul. Dengan demikian, hanya tersisa  377.000 nomor lagi. Ini yang menyebabkan adanya peringatan dari International ISBN Agency karena ketidakwajaran pemberian ISBN.
Jika rata-rata Indonesia menerbitkan 67.340 judul buku per tahun (sebagaimana data Perpusnas RI, 2021), nomor itu akan tersisa sekira untuk enam tahun lagi. Karena itu, pemberian ISBN sempat ditunda oleh International ISBN Agency sampai PNRI membenahi kriteria pemberian ISBN kepada penerbit.