Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Inikah PUEBI "Yang Disempurnakan"

5 September 2021   08:37 Diperbarui: 10 Mei 2022   21:44 2208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Getty Images-Studiog2/Canva Pro/Bambang Trim

Setelah hampir enam tahun diberlakukan, EBI atau PUEBI mulai terasa akrab di telinga masyarakat. Ia menggantikan sebutan EYD yang sebelumnya telanjur fasih diucapkan lidah orang Indonesia. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) digantikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) oleh Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Terdapat beberapa perubahan signifikan pada PUEBI dibandingkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (PUEYD).

Ejaan sebagai tata tulis tidak dapat dipisahkan dari aktivitas menulis, terutama dalam penulisan ragam resmi. Aturan kebakuan atau standar ejaan diperlukan sebagai acuan meskipun masih banyak penulis yang mengabaikannya. 

Standar ejaan ini juga diajarkan dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi.

Pada awal September 2021, praktisi dan akademisi bahasa Indonesia merespons Permendikbudristek Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pembakuan dan Kodifikasi Bahasa Indonesia yang disahkan pada tanggal 26 Juli 2021. 

Pasalnya, Permendikbudristek tersebut mencabut Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 tentang PUEBI sehingga dinyatakan tidak berlaku. Lalu, apa yang menjadi tolok ukur penggunaan ejaan kini jika PUEBI dinyatakan tidak berlaku?

Hal itulah yang tidak terjawab pada Permendikbudristek yang baru sehingga dipertanyakan ke Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kemendikbudristek yang membawahkan Badan Bahasa pun merespons pertanyaan ini sebagai dinamika kebahasaan dengan mengeluarkan Siaran Pers Nomor: 457 /sipres/A6/IX/2021.

Bunyi utama siaran pers tersebut adalah mengukuhkan PUEBI sebagai pedoman penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nomor 0321/I/BS.00.00/2021.

Jadi, pengukuhan kembali PUEBI tidak dilakukan melalui peraturan menteri karena mungkin menimbang tata aturan perundang-undangan. Permendikbudristek Nomor 18 Tahun 2021 mencakup keseluruhan pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia, tidak hanya persoalan ejaan. 

Sebagaimana dijelaskan di dalam siaran pers, menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Azis bahwa pembakuan dan kodifikasi kaidah bahasa Indonesia mencakup tata bahasa, tata aksara, kamus, ensiklopedia, glosarium, rekaman tuturan, atau bentuk lain yang sejenis. 

Ada yang menarik dari peraturan baru ini yakni munculnya istilah 'tata aksara'. Sebelumnya kata 'ejaan' identik dengan istilah 'tata tulis'. Hal ini dapat dimaklumi sebagai kegaliban pemerintah yang "senang" mengganti nomenklatur.

PUEBI Yang Disempurnakan?

Pengukuhan PUEBI kembali dilakukan melalui Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nomor 0321/I/BS.00.00/2021 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. 

Jadi, agak unik memang perjalanan PUEBI ini karena peraturan menterinya dicabut, lalu dikukuhkan kembali oleh peraturan kepala badan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi "kekosongan hukum" dalam hal penggunaan PUEBI, baik di ranah pendidikan maupun di ranah pemerintahan.

Jadi, jelas bahwa PUEBI diberlakukan (kembali), lalu ada sedikit penyempurnaan. E. Aminudin Azis dalam sebuah acara taklimat mengatakan, "Perubahannya, misalnya, baru pada penyempurnaan contoh-contoh. Contoh-contoh dalam bahasa daerah yang dalam PUEBI sebelumnya masih dicetak miring, kemudian tidak lagi dicetak miring karena kata tersebut sudah masuk sebagai bahasa Indonesia. Pada PUEBI yang diterbitkan tahun 2015, kata 'sowan' masih dicetak miring karena kata itu masih menjadi bahasa Jawa dan belum masuk KBBI. Sekarang kata 'sowan' tidak dicetak miring karena kata tersebut sudah masuk ke dalam KBBI." 

Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan memang belum ada perubahan signifikan antara PUEBI versi lama dan versi baru hasil pengukuhan. 

Kabadan Bahasa sendiri mengungkapkan bahwa baru dalam setahun ke depan Badan Bahasa menargetkan penambahan yang signifikan terhadap PUEBI dengan melakukan mancadaya dari para pengguna bahasa, termasuk wartawan, agar dapat memberikan pemikiran atas hal-hal yang perlu diatur di dalam PUEBI. 

Ia juga menegaskan bahwa Badan Bahasa akan lebih responsif terhadap segala perubahan terkait dengan kebahasaan yang ada di masyarakat dengan menampung berbagai masukan dari banyak kalangan.

Memang terdapat beberapa kasus kebahasaan, terutama terkait ejaan yang belum diakomodasi di PUEBI. Contohnya, tentang penegasan bentuk terikat seperti pra- atau pasca-. Apakah penulisan yang berlaku penulisan pascamerdeka dan pascakemerdekaan atau pascamerdeka dan pasca kemerdekaan. Harus ada penegasan apakah bentuk terikat dengan penulisan digabung hanya berlaku untuk kata dasar atau berlaku juga untuk kata berimbuhan. Di PUEBI hanya dijelaskan terkait dengan penulisan sifat Tuhan: Maha Esa, Mahakuasa, dan Maha Penyayang.

Ketegasan lain terkait dengan penulisan judul, baik judul bab maupun judul subbab. Mana di antara penulisan berikut ini yang benar?

Apa itu UX Writing

Apa itu UX Writing

Apa itu UX Writing?

Apa itu UX Writing?

Jadi, apakah kata/frasa bahasa asing di dalam judul harus ditulis/dicetak miring? Apakah judul yang menggunakan kalimat tanya harus dibubuhi tanda baca (?)? Contoh kasus ini belum terdapat di dalam PUEBI.

Contoh lain adalah penegasan pembeda antara tanda hubung (-) dan tanda pisah. Tanda pisah di dalam PUEBI dilambangkan (---). Secara kasatmata merupakan tiga kali tanda hubung (-). 

Sementara itu, ada tanda lain yang merupakan dua kali tanda hubung (--). Jadi, harus ditegaskan apakah tanda pisah dalam bahasa Indonesia itu merupakan tiga kali atau dua kali tanda hubung. Jadi, yang benar apakah 10--11 September/10--September atau 10---11 September/10---11 September?

Harus ada kajian komprehensif untuk memutakhirkan PUEBI karena pemutakhiran ini sangat diperlukan, terutama dalam aktivitas penulisan. Sebagai penulis dan editor, saya sangat bertumpu memutuskan perbaikan atau penyuntingan pada pedoman kebahasaan dari Badan Bahasa. Selama ini jika tidak terjawab di PUEBI, saya akan mencari acuan lain dan pada akhirnya memutuskan sendiri.

Memutakhiran Pedoman Kebahasaan

Perlu disadari bahwa penyusunan pedoman kebahasaan merupakan pekerjaan besar yang harus melibatkan banyak orang. Tentu saja seperti menyusun PUEBI tidak dapat dilakukan sekonyong-konyong. 

Prinsip yang pragmatis dilakukan adalah memutakhirkan saja, bukan mengganti. Itu pula yang lazim terjadi pada pemutakhiran gaya selingkung (house style) di dalam konteks penulisan dan penerbitan dengan menyebut contoh seperti American Psychological Association Style dan Chicago Manual of Style.

Kita di Indonesia memang belum memiliki pedoman penulisan dan penerbitan yang komprehensif, tidak semata mengatur persoalan kebahasaan. Kalau mau membandingkan antara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia memiliki buku Gaya Dewan. Adapun Badan Bahasa belum memiliki buku semacam itu yang mengatur penulisan dan penerbitan, khususnya penerbitan buku. 

Buku Gaya Dewan secara khas dapat digunakan oleh penulis, editor, pengatak/juru atak, desainer, korektor/pembaca pruf, pencetak, dan semua orang yang terlibat dalam bidang penerbitan.

Sebagai contoh, PUEBI mengatur tentang penulisan angka Arab (1, 2, 3, ...) dan angka Romawi. Namun, penulisan angka Romawi sebatas penggunaan angka Romawi besar (I, V, X, L, M, C). 

Tidak disebutkan ada penggunaan angka Romawi kecil yang biasa terdapat di bagian awal/halaman pendahulu buku (preliminaries/front matter) atau media publikasi lainnya.

Di Badan Bahasa sendiri telah ada beberapa pedoman kebahasaan sebagai produk pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia yang dikenal saat ini, seperti PUEBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tesaurus Bahasa Indonesia, dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI). Pedoman ini dapat dijadikan acuan penulisan, tetapi belum sepenuhnya menjawab permasalahan dalam penulisan.

Contoh kecil saja, beberapa penulis masih bingung menggunakan kata adalah, ialah, dan merupakan yang tampak sama. Di KBBI, kata merupakan bersinonim dengan adalah. 

Di dalam ragam tulisan hukum seperti peraturan perundang-undangan, kata merupakan secara "beku" digunakan untuk menjelaskan/mendefinisikan.

Contoh:

Kata adalah bagian terkecil dari kalimat. (tepat)

Bagian terkecil dari kalimat adalah kata. (tepat)

Kata merupakan bagian terkecil dari kalimat. (tepat)

Bagian terkecil dari kalimat merupakan kata. (kurang tepat)

Kata ialah bagian terkecil dari kalimat. (kurang tepat)

Penggunaan kata yang efektif ialah penerapan diksi (pilihan) kata sesuai dengan konteks, nilai rasa, dan makna. (tepat)

Begitu pula tanda titik dua (:) dalam pemerincian di dalam ragam tulisan hukum tidak memperhatikan apakah itu pernyataan yang sudah lengkap atau pernyataan yang belum lengkap. 

Semua pemerincian ditandai dengan titik dua. Hal ini juga menjadi pertanyaan apakah pada kasus atau konteks tertentu bahasa hukum tidak mengacu pada PUEBI?

Pembakuan dan Kodifikasi Bahasa Indonesia

Tentu sebagai pengguna bahasa Indonesia yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia, kita menantikan langkah Badan Bahasa melakukan pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia hingga berwujud menjadi pedoman yang komprehensif meskipun ada banyak pedoman dan referensi yang harus dijadikan acuan.

PR Badan Bahasa di bawah naungan Kemendikbudristek sendiri masih banyak. Saya mengambil contoh kecil saja dalam soal pembakuan istilah masih ada yang tidak sinkron. Di dalam Pedoman Publikasi Ilmiah 2019 dari Direktorat Pendidikan Tinggi masih digunakan istilah monograf, padahal yang baku adalah monografi. 

Buku pedoman itu juga tidak menerapkan ejaan/tata aksara dan tata bahasa secara taat asas sebagaimana sudah disusun oleh Badan Bahasa. Artinya, masih di bawah naungan satu kementerian pun tidak terjadi sinkronisasi penerapan pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia. Bagaimana dengan lembaga dan kementerian lain?

Mari kita tunggu langkah-langkah strategis sekaligus taktis dari Badan Bahasa. Badan Bahasa sejatinya dapat bersinergi dengan lembaga lain untuk mengakselarasi pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun