Harus ada kajian komprehensif untuk memutakhirkan PUEBI karena pemutakhiran ini sangat diperlukan, terutama dalam aktivitas penulisan. Sebagai penulis dan editor, saya sangat bertumpu memutuskan perbaikan atau penyuntingan pada pedoman kebahasaan dari Badan Bahasa. Selama ini jika tidak terjawab di PUEBI, saya akan mencari acuan lain dan pada akhirnya memutuskan sendiri.
Memutakhiran Pedoman Kebahasaan
Perlu disadari bahwa penyusunan pedoman kebahasaan merupakan pekerjaan besar yang harus melibatkan banyak orang. Tentu saja seperti menyusun PUEBI tidak dapat dilakukan sekonyong-konyong.Â
Prinsip yang pragmatis dilakukan adalah memutakhirkan saja, bukan mengganti. Itu pula yang lazim terjadi pada pemutakhiran gaya selingkung (house style) di dalam konteks penulisan dan penerbitan dengan menyebut contoh seperti American Psychological Association Style dan Chicago Manual of Style.
Kita di Indonesia memang belum memiliki pedoman penulisan dan penerbitan yang komprehensif, tidak semata mengatur persoalan kebahasaan. Kalau mau membandingkan antara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia memiliki buku Gaya Dewan. Adapun Badan Bahasa belum memiliki buku semacam itu yang mengatur penulisan dan penerbitan, khususnya penerbitan buku.Â
Buku Gaya Dewan secara khas dapat digunakan oleh penulis, editor, pengatak/juru atak, desainer, korektor/pembaca pruf, pencetak, dan semua orang yang terlibat dalam bidang penerbitan.
Sebagai contoh, PUEBI mengatur tentang penulisan angka Arab (1, 2, 3, ...) dan angka Romawi. Namun, penulisan angka Romawi sebatas penggunaan angka Romawi besar (I, V, X, L, M, C).Â
Tidak disebutkan ada penggunaan angka Romawi kecil yang biasa terdapat di bagian awal/halaman pendahulu buku (preliminaries/front matter) atau media publikasi lainnya.
Di Badan Bahasa sendiri telah ada beberapa pedoman kebahasaan sebagai produk pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia yang dikenal saat ini, seperti PUEBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tesaurus Bahasa Indonesia, dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI). Pedoman ini dapat dijadikan acuan penulisan, tetapi belum sepenuhnya menjawab permasalahan dalam penulisan.
Contoh kecil saja, beberapa penulis masih bingung menggunakan kata adalah, ialah, dan merupakan yang tampak sama. Di KBBI, kata merupakan bersinonim dengan adalah.Â
Di dalam ragam tulisan hukum seperti peraturan perundang-undangan, kata merupakan secara "beku" digunakan untuk menjelaskan/mendefinisikan.
Contoh: