Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Insaf Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar

10 Oktober 2019   07:56 Diperbarui: 10 Oktober 2019   12:34 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bambang Trim/Istimewa

Di media sosial hari ini sedang ramai dibahas soal Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Mereka yang meramaikannya teman-teman saya yang berprofesi sebagai penulis, penyunting, dan dosen bahasa.

Dasar hukum terbitnya Perpres ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2OO9 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Namun, sebelum itu pemerintah juga sempat mengeluarkan PP Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.

Perpres 63/2019 lebih tegas lagi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, terutama dalam lingkup formal. Bahkan, ada 14 perkara yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Keempat belas perkara tersebut, yaitu

  1. peraturan perundang-undangan;
  2. dokumen resmi negara;
  3. pidato resmi pejabat negara (di dalam dan di luar negeri);
  4. bahasa pengantar dalam pendidikan nasional;
  5. pelayanan administrasi publik di instansi pemerintah;
  6. nota kesepahaman/perjanjian;
  7. forum di Indonesia (nasional dan internasional);
  8. komunikasi resmi di lingkungan kerja (pemerintah dan swasta);
  9. laporan kepada instansi pemerintah (lembaga dan perseorangan);
  10. penulisan karya ilmiah (karya ilmiah dan publikasi ilmiah);
  11. penamaan (geografis, bangunan/gedung, jalan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, nama organisasi);
  12. informasi tentang produk barang dan jasa;
  13. rambu dan alat informasi lain; dan
  14. informasi melalui media massa (cetak dan elektronik).

Sekadar pengingat, definisi bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana tercantum pada Ketentuan Umum Pasal 2 sebagai berikut. Bahasa yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat. 

Artinya, yang dilihat di sini adalah kesesuaian dengan situasi dan kondisi serta kepatutan. Bahasa yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

Cakupan kaidah bahasa Indonesia, yaitu kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan kaidah pembentukan istilah. Fokus dari empat belas perkara yang tercantum lebih condong pada penggunaan bahasa Indonesia secara benar. 

Pedoman kebahasaan yang digunakan, yaitu Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), KBBI, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

***

Bagi para pencinta bahasa Indonesia, Perpres tersebut tentu membahagiakan. Bagi para "polisi bahasa", Perpres tersebut menjadi alat gebuk paling ampuh untuk mereka yang masih bebal menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, di dalam empat belas perkara yang disebutkan. Bagi para penulis dan penyunting yang sangat peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia, hal ini tentu menjadi peluang meningkatkan karier mereka.

Tanggal 9 Oktober 2019 kemarin, saya sempat bertemu muka dengan para mahasiswa Prodi Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Penpro (Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia) merancang program Mamebu (Magang Menulis dan Menerbitkan Buku) untuk para mahasiswa agar mampu menulis dan menerbitkan buku. Salah satu penegas adalah karena para mahasiswa tersebut telah belajar menulis dan menyunting.

Mata kuliah penulisan dan penyuntingan tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Peran penulis dan penyunting menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan Perpres Nomor 63/2019 tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan menulis dan menyunting dalam bahasa Indonesia semakin menemukan momentumnya.

***

Mengapa baru sekarang? Jawaban taktisnya: Ya lebih baik sekarang, daripada tidak sama sekali. Para pendekar bahasa mungkin sudah muak melihat aneka pelanggaran berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh berbagai kalangan, termasuk pemerintah sendiri dalam forum resmi. 

Kalau mau jujur, mari lihat situs-situs web pemerintah. Apa yang namanya kekacauan berbahasa Indonesia rutin terjadi.

Hal ini juga dapat membuktikan kegagalan pendidikan bahasa Indonesia sehingga orang berbahasa memang terkesan seenak perutnya, padahal mungkin hanya itu yang dia ketahui. 

Bayangkan sekelas doktor juga masih ada yang tidak dapat membedakan penggunaan di sebagai kata depan atau di- sebagai awalan. Mana yang disatukan penulisannya dan mana yang dipisah menjadi salah kaprah.

***

Tugas badan yang baru resmi berganti nama alhasil semakin penting yaitu Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Muruah bahasa Indonesia harus dijaga. Lembaga pemerintah, termasuk para pejabatnya, yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dalam forum resmi, haruslah disemprit. 

Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sebagai perangkat tes berbahasa Indonesia mungkin sudah layak diwajibkan bagi ASN. Dengan demikian, akan diketahui kemampuan berbahasa Indonesia kita yang boleh jadi sebagian besar sangat rendah.

Saya ingat betul dulu dalam sebuah buku, Pak Jus Badudu menyangkal bahwa penggunaan bahasa baku menyebabkan tulisan menjadi kaku. Memang asumsi demikian itu keliru. 

Bahasa yang benar atau bahasa baku juga dapat disajikan secara populer atau kreatif dengan penguasaan diksi dan penguasaan tata kalimat. Adapun perkara kata-kata baku atau bentuk baku sama sekali tidak menyebabkan kekakuan berbahasa. 

Berbeda halnya dengan penggunaan bahasa yang baik, terutama dalam ragam cakapan. Tentulah kita tidak dapat menggunakan bahasa yang benar (baku) dalam konteks berbelanja di pasar atau mengobrol dengan keluarga.

Bahasa yang baik  juga digunakan dalam surat-surat pribadi atau percakapan (rumpi) di media sosial untuk menimbulkan kesan akrab---bukan bahasa yang (selalu) benar.

***

Saya mengenang dulu di kelas 1 SMA (sekarang disebut kelas X) pernah mendapat nilai 5 untuk pelajaran bahasa Indonesia. Itu kali pertama seumur hidup saya mendapatkan nilai 5 dan itu pula satu-satunya nilai buruk yang menghiasi rapor saya seumur hidup. Namun, saya justru bernasib mengenyam pendidikan di bidang penyuntingan, tepatnya di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. 

Alhamdulillah, saya pun mulai insaf berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sekali-sekali saya menjadi "satpam bahasa", kali lain menjadi pengamat saat kumat.

Mengadaptasi kutipan ala seorang Joker: "Orang yang berbahasa Indonesia buruk dan salah adalah orang yang berbahasa Indonesia baik dan benar, tetapi berubah menjadi bego dalam pelajaran bahasa Indonesia." Sorry, just kidding. Ealah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun