Di media sosial hari ini sedang ramai dibahas soal Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Mereka yang meramaikannya teman-teman saya yang berprofesi sebagai penulis, penyunting, dan dosen bahasa.
Dasar hukum terbitnya Perpres ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2OO9 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Namun, sebelum itu pemerintah juga sempat mengeluarkan PP Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Perpres 63/2019 lebih tegas lagi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, terutama dalam lingkup formal. Bahkan, ada 14 perkara yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Keempat belas perkara tersebut, yaitu
- peraturan perundang-undangan;
- dokumen resmi negara;
- pidato resmi pejabat negara (di dalam dan di luar negeri);
- bahasa pengantar dalam pendidikan nasional;
- pelayanan administrasi publik di instansi pemerintah;
- nota kesepahaman/perjanjian;
- forum di Indonesia (nasional dan internasional);
- komunikasi resmi di lingkungan kerja (pemerintah dan swasta);
- laporan kepada instansi pemerintah (lembaga dan perseorangan);
- penulisan karya ilmiah (karya ilmiah dan publikasi ilmiah);
- penamaan (geografis, bangunan/gedung, jalan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, nama organisasi);
- informasi tentang produk barang dan jasa;
- rambu dan alat informasi lain; dan
- informasi melalui media massa (cetak dan elektronik).
Sekadar pengingat, definisi bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana tercantum pada Ketentuan Umum Pasal 2 sebagai berikut. Bahasa yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat.Â
Artinya, yang dilihat di sini adalah kesesuaian dengan situasi dan kondisi serta kepatutan. Bahasa yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Cakupan kaidah bahasa Indonesia, yaitu kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan kaidah pembentukan istilah. Fokus dari empat belas perkara yang tercantum lebih condong pada penggunaan bahasa Indonesia secara benar.Â
Pedoman kebahasaan yang digunakan, yaitu Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), KBBI, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
***
Bagi para pencinta bahasa Indonesia, Perpres tersebut tentu membahagiakan. Bagi para "polisi bahasa", Perpres tersebut menjadi alat gebuk paling ampuh untuk mereka yang masih bebal menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, di dalam empat belas perkara yang disebutkan. Bagi para penulis dan penyunting yang sangat peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia, hal ini tentu menjadi peluang meningkatkan karier mereka.
Tanggal 9 Oktober 2019 kemarin, saya sempat bertemu muka dengan para mahasiswa Prodi Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Penpro (Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia) merancang program Mamebu (Magang Menulis dan Menerbitkan Buku) untuk para mahasiswa agar mampu menulis dan menerbitkan buku. Salah satu penegas adalah karena para mahasiswa tersebut telah belajar menulis dan menyunting.
Mata kuliah penulisan dan penyuntingan tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Peran penulis dan penyunting menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan Perpres Nomor 63/2019 tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan menulis dan menyunting dalam bahasa Indonesia semakin menemukan momentumnya.