Sudah hampir 3 Tahun tinggal di Depok, tapi saya baru tahu kalau di sini ada tempat pemeliharan KRL termaasuk terbesar se Asia Tenggara. selain itu ada Tegalluar. Termasuk saya juga baru tahu soal sejarah Depok. Wih, ke mana saja saya Ini.
Hari senin 28 Oktober 2024, bertepatan dengan hari sumpah pemuda dan memperingati  Hari Blogger Nasional, saya mendapat kesempatan ikut Walking Tour Depo KRL & Heritage  Depok. Acara ini diadakan hasil kerja bareng Kretoria, KAI Commuter, dan Click Kompasiana. seru sekali.
Kumpul-kumpul Dulu... di Stasiun Depok
Sesuai arahan, pukul 9, sebelum acara walking tour, saya harus kumpul dulu di stasiun Depok. Karena tempat saya terbilang dekat, maka saya berangkat pukul 8 lewat. Dan sesuai. Prediksi saya sampai di stasiun Depok sekitar pukul setengah 9. Setelah parkir motor, saya langsung menuju titik kumpul di musala stasiun.
Ini pertama kalinya saya masuk stasiun Depok Lama. Biasanya saya lebih sering di stasiun Pondok Cina atau stasiun Depok Baru. Makanya saya sempat bingung juga musalanya ada di mana? Saya malah sempat nyasar ke belakang stasiun hehehe.
Akhirnya saya bertemu dengan teman-teman peserta Walking Tour Lainnya. Â Setelah peserta komplit, kami foto-foto dulu, sebelum menuju tujuan pertama kami.
Depo KRL Depok
Untuk mempersingkat waktu, dari stasiun Depok di jalan Kartini, kami naik angkot mikrolet menuju Depo KRL Depok yang berjarak sekitar 1 kilometer dari stasiun Depok. Perjalanan hanya sekitar 10 menit dengan tarif 4 ribu rupiah per orang.
Setelah laporan dan berfoto bersama di pintu gerbang, kami pun berjalan kaki menuju gedung pertemuan. Depo KRL Depok ini sangat luas sekitar 26 hektar.
Kami disambut oleh Mas Ibnu. kebetulan kepala Depo KRL Depok Pak Asep sedang menghadiri acara sumpah pemuda. Sambil menunggu Pak Aswp, saya dan teman-teman bisa melihat-lihat di sekitar dulu. Termasuk ada gerbong KRL dari Jepang.
Tidak lama, Pak Asep pun tiba. Beliau langsung memberikan informasi seputar Depo KRL Depok ini yang memang merupakan tempat perawatan KRL. Mulai dari perawata harian, perawatan bulanan, sampai perawatan tahunan.
Melihat langsung proses Perawatan KRL
Melengkapi penjelasan Pak Asep tadi, kami pun diajak melihat proses pemeliharan KRL. Sebelumnya kami mengambil dan memakai APD dulu.
Pertama Pak Asep mengajak kami... di sini ada 2 rangkaian kereta yang sedang 'dimandikan' biar bersih dan wangi. Tidak ketinggalan AC juga dibersihkan.
Pada proses perawatan ini, semua dicek, terutama roda KRL juga. Secara bekala harus diganti. Saat saya tanya berapa harga rodanya, itu harganya 50 juta lho, per biji.
Kemudian Pak Asep mengajak kami ke gedung sebelah. Di sini seperti hanggar pesawat. Tampak para pekerja sedang emngerjakan ugas masin-masing. Terus di sini juga sangat bersih, karena semua air bekas cucian KRL, termasuk oli, sudah mengalir ke saluran yang telah tersedia.
Pesan Pak Asep kita harus bersama-sama menjaga KRL agar tetap nyaman. Termasuk rel bukan tempat bermain. Terus tolong juga jangan melempari kaca rangkaian karena harga per lembar kaca itu 2 juta.
Cornelis Koffie
Setelah makan siang, kami bersiap-siap menuju tujuan kedua yaitu rumah Cornelis Chastelein di jalan Pemuda No.16 Depok . Kami diantar oleh mobil Depo KRL Depok. Saya dan 7 orang mendapat giliran pertama diantar.Â
Tidak terlalu lama, mobil yang kami tumpang memasuki halaman Cornelis Koffie. Wah... Saya langsung terkesima dengan bangunan model belanda ini. Dengan tidak sabar, saya segera masuk dan menyusuri.
Kami langsung disambut oleh Pak Boy Loen pakar sejarah Depok. Dan setelah ditelusuri, garis keturunan Pak Boy ini berasal dari budak bernama Loen yang berasal dari timur Indonesia.Â
Sambil menikmati minuman segar pesanan masing-masing dan camilan kentang dan singkong goreng, saya dan teman-teman antusias mendengarkan cerita Pak Boy tentang sejarah Depok.
Kawasan Depok saat ini adalah dulu tanah yang dibeli oleh Cornelis Chastelein. Saat itu, tanah dimanfaatkan sebagai perkebunan lada yang nilai ekonomisnya sangat tinggi.Â
Untuk menggarap lahannya, Cornelis membeli budak dari Bali dan Makassar yang dulu memang legal diperjualbelikan. Dan walau termasuk pejabat VOC Belanda, Cornelis mempunyai pemahaman yang berbeda. Semua budaknya dibebaskan dari perbudakan, bahkan diwariskan tanah.
Tugu Cornelis Chastelein
Untuk melengkapi cerita Cornelis Chastelein yang erat kaitannya dengan berdirinya Depok, maka dari Cornelis Koffie, kami diajak oleh Pak Boy berjalan kaki menuju tugu Cornelis. Jaraknya hanya sekitar 100 meter dan masih berada di jalan pemuda.
Tugu ini dibangun untuk memperingati 200 tahun meninggalnya Cornelis Chastelein. Letaknya di depan gedung Rumah sakit Harapan yang sekarang sudah terbengkalai. Rumah sakit ini berhenti beroperasi karena berakhirnya kontrak antara pengelola dan pemilik lahan. Sebelumnya pernah digunakan sebagai markas kepolisian.
Rumah Presiden ke 5 Depok
Setelah dari tugu cornelis, Pak Boy mengajak kami menyerang jalan menuju ke arah warung padang. Apa kami akan makan nasi rendang dengan lalapan daun singkong? Oh, ternyata bukan. Ternyata di belakang warung padang, ada rumah presiden Depok ke 5, sekaligus presiden terakhir depok, yaitu J.M Jonathans. Jadi walau hanya merupakan sebuah wilayah tapi Depok mempunyai presiden.
Saya terpesona dengan bangunan arsitektur belanda. Kami disambut oleh seorang ibu yang merupakan cucu dari Jonathans, Presiden Depok ke 5. Kami berkesempatan memasuki ruang kerja presiden depok k 5. Ada juga foto-fotonya. Saya jadi bisa membayangkan suasananya zaman lampau.
Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC)
Hari semakin sore, dan mendung hitam bergelayut di langit. Sepertinya sebentar lagi akan hujan. Kami pun bergegas menuju tujuan beirkutnya yaitu Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein atau YLCC.
Sebenarnya Pak Boy ingin mengajak kami ke gereja Immanuel, tapi sayangnya, setiap hari senin tutup. Gereja ini dulunya digunakan para budak untuk belajar baca tulis.
Sambil berjalan menyusuri jalan Pemuda, saya memperhatikan rumah-rumah. Teryata masih ada rumah-rumah bergaya belanda. Salah satunya yang diggunakan oleh Yakult.
Karena keasyikan menikmati jalan, saya agak terlambat tiba di YLCC akhirnya saya disapa hujan sebentar, walau tidak sampai basah kuyup. Begitu sampai, kami langsung dipersilakan masuk. Dengan duduk mengelilingi meja panjang, Pak Boy kembali menjelaskan berbagai tempat-tempat Heritagi di depok.
Misalnya Lagere School yang sekarang sekolah dasar depok, jembatan Panus, taman utan raya, Taman pemakaman kristen di jalan kamboja, termasuk rumah keluarga Sardimoen di jalan pemuda no 52 yang saya lewati tadi. Rumah ini sering jadi lokasi syuting sinetron da film. Keren ya...
Akhirnya menjelang magrib, walking tour Heritage Depo  Depok  selesai. Saya senang sekali untuk jalan-jalan hari itu. Terima kasih Click, Kretoria, Pak Asep, Mas Ibnu, Pak Boy Loen, Bu Muthia, Mas Iksan, dan semua teman-teman lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H