Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lola Sama Lola, Why Not?

13 April 2021   11:09 Diperbarui: 13 April 2021   12:00 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bahasa gaul, lola adalah akronim dari loading lama. Jika dikenakan pada seseorang, maka maksudnya adalah seseorang yang lambat ngeh atau lambat paham. Mirip dengan lemot, yang berarti  lemah otak.

Aku pun pemuda yang lola. Namun dengan pengertian yang lain. Dalam bahasa Jawa, lola berarti sudah tidak punya ayah dan ibu. Ya, dari kecil aku memang sudah ditinggal oleh kedua orang tua kandungku. Dari umur 5 tahun aku sudah yatim piatu.

"Meski lola, hidupmu itu beruntung banget, Nug." Kata Matius.

"Oh iya?"

"Begitu ditinggal oleh kedua ortumu saat masih kecil, kamu lalu berada di tempat yang tepat dan baik. Yaitu hidup di Panti Asuhan milik gereja. Setelah masuk SMP, kamu diasuh oleh Pak AKBP Drs. Andreas Sumargo. Kamu disekolahkan di sekolah favorit. Bahkan sampai kamu menjadi sarjana, semuanya dibiayai oleh keluarga yang sangat baik hati itu."

"Keberuntungan yang kualami itu adalah jawaban konkret Tuhan Yesus atas doa-doaku. Dia yang berjanji memberi apa yang kita minta, Dia juga yang menepati janji-Nya. Bahkan jawaban-Nya, kerap kali melebihi ekspektasiku."

"Memang kamu rajin berdoa kepada-Nya?"

"Lho, iya dong! Kedisiplinanku dalam doa itu sudah terbentuk sejak usia lima tahun. Sejak aku mulai tinggal di panti asuhan."

"Memang di panti asuhan diajarin seperti itu?"

"Pasti dong, namanya saja panti asuhan Kristen. Bukan hanya berdoa, tapi kami semua diajar untuk selalu bersyukur. Setia beribadah dan setia kawan. Siap berbagi dan bergotong royong. Mau terus belajar dan mau kerja keras. Dan nilai-nilai Kristiani yang lainnya."

"Kalau gitu, sebenernya anak-anak panti itu bukan anak-anak yang malang. Tapi anak-anak yang tangguh, terpuji dan prospektif."

***

Selepas menghadiri resepsi perkawinannya Dwiki dan Desi, Matius mengajakku ke sebuah kedai kopi. Ia mengajakku ngopi sambil ngobrol-ngobrol santai di hari libur ini. Seperti mobil, hidup tak harus 'tancap gas' terus, katanya. Relaksasi batin seperti ini harus dilakukan juga. Tak perlu yang mahal-mahal. Yang penting ada kenyamanan dan gairah yang ditimbulkannya.

"Teman-teman kita, satu persatu sudah menikah. Kamu sendiri kapan?" tanyaku.

"Nunggu kelarnya kuliah Rasti?"

"Kudengar dia sudah mau kauajak ke gereja ya?"

"Bener! Malah ia sudah ikut Kelas Persiapan Baptisan. Dua bulan lagi, Rasti akan dibaptis." Jawabnya bangga.

"Wah bagus banget itu! Tapi ngomong-ngomong  apa sudah diijinin oleh kedua ortunya?"

"Babenya kan sudah meninggal setahun yang lalu? Setelah itu, aku baru jadian sama Rasti.  Dan ketika minta ijin untuk mengajaknya ke gereja, emaknya mengijininya."

"Lebih bagus lagi, kalau Emaknya mau juga ke gereja. Sebenernya, sekarang ini sedang terjadi kehausan spiritual global. Dunia sudah capek terhadap hipokritisme, kepalsuan, kejahatan, kebencian dan pertikaian. Dunia damba banget akan kasih sejati dari Tuhan sejati."

"Rencanaku pas pembaptisannya Rasti, Emaknya akan kumohon untuk mendampinginya ke gereja. Doain ya Bro!"  pinta Matius.

"Really, that's a great idea! Pasti akan kudukung dalam doa!" janjiku bergairah.

"Sekarang, gantian aku yang nanyain kamu. Kapan ente married?"

"Aku sih belum jelas?" jawabku.

"Belum jelas apanya? Bukankah ente sudah punya calon?"

"Aku masih sibuk menata karirku dulu. Selain itu, meski aku dekat dengan dua orang cewek, tapi belum bisa disebut sebagai kekasih. Dengan si Lusi, aku memang belum sreg. Yang satunya, si Ambar, aku malah bingung terhadapnya."

"Kalau Lusi aku sudah tahu. Tapi kalau Ambar,  dia itu siapa?" kejar Matius.

"Ambar itu ya adiknya Ibu Andreas yang paling bontot."

"Ngapain bingung? Kan dia dari keluarga yang sudah terbukti mapan dan terpandang? Siapa tahu mereka justru bisa mendukungmu penuh....."

"Justru karena Ambar adalah adik iparnya bosku, itu yang bikin aku canggung. Selain itu, umur dia itu sebayaku. Padahal aku ingin umur calon istriku nanti, minimal lima tahun di bawahku. Lebih muda lagi, lebih afdal."

"Yang kira-kira lebih cinta padamu siapa? Lusi atau Ambar?"

"Aku nggak tahu persis. Lusi memang lebih tenang dan pasif. Sebaliknya kalau Ambar kelewatan agresifnya. Mana yang lebih cinta, dan mana yang lebih baik, sekali lagi aku gak tahu. Yang jelas aku belum sreg terhadap keduanya."

***

Di senja kala hari ini, saat matahari sudah mulai merebahkan dirinya, aku sedang bersiap-siap untuk mandi. Sebelum masuk ke kamar mandi, di ponselku terdengar bunyi tanda ada pesan WA masuk. Ternyata dari Ambar. Isi pesannya, ia memintaku untuk menjemputnya di sebuah kafe yang berada di dekat kantornya.

Biasanya, kalau pergi dan pulang kantor, Ambar pakai taksi atau ojek online. Tapi mengapa sore ini ia meminta dijemput? Ada apa?

Sesampaiku di kafe, ia tidak langsung minta pulang. Melainkan mengajakku ngopi dulu dan makan siomay kesenangannya. Dan yang terpenting, ada sesuatu yang pengin ia bicarakan denganku.

"Nugraha, selama ini, kau anggap aku ini sebagai apa?"

"Maaf, aku belum paham maksudmu..."

"Begini lho, Pak Andreas dan Kakakku, kan sudah kau anggap sebagai orang tuamu sendiri. Kalau aku, sebagai apa bagimu?"

"Sebagai temanku yang baik banget. Bisa juga sebagai tanteku yang baik banget."

"Hanya sebatas itu saja?"

"Sebagai apa lagi ya?"

"Ya....sebagai pacar mungkin?" jawabnya dengan suara yang lirih, tapi mengejutkanku.

"Ambar, kalau kamu bukan adiknya Ibu Andreas, mungkin saja aku sudah jatuh cinta padamu."

"Memang kenapa?" kejarnya tampak penasaran.

"Aku ini lola atau yatim piatu, dan sudah banyak ditolong. Bahkan sudah dianggap sebagai anaknya sendiri oleh keluarga Pak Andreas. Lalu kalau kemudian aku memacarimu, itu namanya nggak tahu diri. Lancang dan ngelunjak...."

"Kalau yang memacarimu itu aku. Inisiatifnya dari aku. Aku yang suka padamu. Jadi, yang disalahkan biar aku, bukan kamu. Maukah kamu menerimaku?" tanyanya mendesakku.

"........................"

"Lho, kok diam....?"

"Begini saja, kalau Bapak dan Ibu Andreas merestuinya, aku siap menerimamu."

"Bener begitu, Nug?"

"Ya, bener...!" 

Mendengar itu, sontak ia menghambur ke arahku. Dan mencipika-cipikiku.

Selama ini, sejak ia tinggal serumah denganku di rumah kakaknya, gelagat ketertarikanya itu memang  sudah nampak. Dia begitu perhatian padaku. Kalau namanya mentraktirku makan, itu dilakukannya hampir seminggu sekali. Dalam dua kali ultahku pun, ia selalu memberiku hadiah yang bagus-bagus. Pertama, ia menghadiahiku arloji keren. Kedua, ia mengkado aku sebuah laptop mahal.

Sekarang, persoalannya terletak pada Ambar dengan kakaknya, dan kakak iparnya. Beranikah dia menjelaskan pada Ibu dan Pak Andreas, sekaligus meminta restunya? Aku sama sekali tak yakin akan hasilnya.

***

Seminggu setelah peristiwa itu, Ambar lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Bahkan saat makan malam yang biasanya pasti bersama-sama, sudah enammalam ini ia tak  bergabung. Menelpon atau kirim pesan WA pun, tak pernah ia lakukan lagi. Ini tak seperti biasanya. Ini sangat aneh. Ada apa dengannya? Apa dia dimarahi oleh kakaknya, gara-gara menyukaiku?

"Tante Ambar ke mana Bu, kok nggak pernah kelihatan?" tanyaku di suatu sore.

"Dia sibuk sekali dengan pekerjaannya di kantor. Karena letih, begitu pulang ia langsung istirahat di kamarnya." Jawab Ibu Andreas.

"Letih tubuhnya, atau letih hatinya?" gumamku.

***

Siang ini, ketika aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke kolam renang, tiba-tiba masuk panggilan telepon dari Matius. Ia menceritakan perihal pembaptisan Rasti bersama beberapa orang lainnya yang berlangsung sangat khidmat dan lancar.

Baginya, momen itu sangat membahagiakan hatinya. Dan kebahagiaan Matius itu kian paripurna karena Emaknya Rasti mau hadir juga untuk menyaksikan pembaptisan anak gadisnya di gereja.

"Kelihatannya, calon ibu mertuaku itu terkesan banget akan ibadah Kristen dan upacara pembaptisan kemarin itu. Aku mulai berdoa serius, semoga hati beliau mulai terbuka untuk Kristus. Dan pada waktunya siap juga menjadi pengikut-Nya."

"Bagus itu! Teruskan doamu sampai Tuhan Yesus menjawabnya. Aku pun siap membawa namanya dalam doa-doa pribadiku. Tapi kita gak cukup cuma berdoa saja. Kamu perlu mendorong ibumu sendiri, agar makin mengakrabkan diri dengan emaknya Rasti. Calon besan kan kudu begitu?"

"Rencananya memang begitu! Bahkan akan melibatkan juga para emak-emak dari organisasi wanita gereja." Jelas Matius bersemangat.

"Sip banget itu! Karena biar bagaimana pun, camermu itu butuh teman. Beliau sudah ditinggal sedo oleh teman setianya, yaitu suaminya. Sekarang ini, beliau butuh teman-teman yang lain. Teristimewa, Teman di atas segala teman, yang akan menyertainya selama-lamanya."

"Siapa itu?"

"Ya Yesus Kristus dong! Dia menyertai setiap orang yang beriman kepada-Nya (Matius 28:20). Yesus mampu menyertai selamanya karena Dia adalah Pribadi yang Omnipotent, Omni Scient dan Omnipresent. Dia Mahakuasa, Mahatahu dan Mahahadir karena Yesus adalah Tuhan Allah itu sendiri!"

***

Aku sungguh tidak paham, kenapa malam ini Pak Andreas Sumargo tiba-tiba mengajakku keluar rumah berdua saja. Ini sama sekali tak lazim. Pasti ada hal yang sangat krusial, pikirku.

"Maaf, Bapak...Bapak mau diantar ke mana?" tanyaku agak gemetaran juga.

"Kita cari anginlah.....!"

Aku turuti saja semua komandonya. Lurus, belok kanan atau kiri. Cepat atau lambat. Minggir atau berhenti. Semuanya terserah penuh komandanku itu.

Akhirnya aku diminta masuk dan memarkir mobil di halaman sebuah rumah makan. Selanjutnya, kami pun menikmati makanan dan minuman yang dipesan, berduaan saja dengan beliau. Soal makan semeja dengan beliau, itu hampir saban malam terjadi di rumah. Tapi itu bersama-sama sekeluarga. Kalau sekarang, ini benar-benar pengalamanku yang pertama.

"Nugraha," ucapnya seusai makan.

"Ya, Bapak..."

"Apa kamu sudah punya pacar?"

"Teman dekat saya punya, namun belum bisa disebut sebagai pacar."

"Apa ada gadis yang tertarik padamu?" Dugaan kuatku, beliau sedang mau bicara soal Ambar.

"Memang ada Bapak, tapi perkembangannya tidak jelas..."

"Jadi kamu belum jadian sama dia? Artinya statusmu masih bebas. Atau belum terikat janji mau menikahinya. Begitu?"

"Ya, Bapak!"

"Kalau Ester, apa pendapatmu tentang dia?"

"Maksud Bapak, Dik Ester putri Bapak?"

"Lha iya dong.....ngapain aku urus yang lain..."

"Dik Ester itu cantik dan baik hati. Dia memang agak pendiam, tapi hatinya baik. Dia tidak pernah merugikan, menghina atau menjahati siapa pun. Dalam lima belas tahun, saya tinggal di rumah Bapak, satu kali pun dia tak pernah nakal atau memarahi saya. Jadi intinya, Dik Ester itu gadis yang baik."

"Kukira, kamulah cowok yang paling sering bersama Ester. Ke mana pun dia pergi, kan selalu memintamu untuk mengantar dan mendampinginya? Apa kamu tidak malu atau risi bersamanya di muka umum?"

"Kenapa saya harus malu, Bapak?"

"Kan Ester punya keterbatasan intelektual? Anak-anak muda sekarang menyebutnya -- lola atau lemot. Makanya selepas SD, dia belajar di rumah saja atau homeschooling. Bener kamu nggak malu jalan bersamanya?"

"Bapak, selama ini saya yang banyak membantu belajarnya di rumah. Kalau di luar, saya juga yang menemani dan mengayominya. Saya sama sekali tidak malu bersamanya. Mungkin memang ada yang menyebutnya begitu. Atau bahkan ada yang meremehkannya. Tapi saya berani menjamin, hati Dik Ester jauh lebih bersih dan lebih baik dibanding para pengoloknya. Dik Ester bukan hanya cantik parasnya, tetapi elok juga hatinya. Tak ada keculasan apa pun di dalamnya....."

"Nugraha, apakah kamu mau menolongku?" tanyanya dengan tatapan mata penuh.

"Lebih lima belas tahun, Bapak sekeluarga sudah banyak sekali menolong saya. Dan jika sekarang Bapak minta tolong pada saya, selama saya bisa, dengan senang hati saya akan melakukannya."

Mendengar janjiku itu, Pak Andreas mengangguk-anggukkan kepala sambil menatapku lekat-lekat.

"Nugraha, dengan sangat aku minta tolong padamu........" suaranya seperti tercekat.

"Maaf......, Bapak mau minta tolong apa pada saya?"

"Aku minta tolong, agar kamu mendampingi Ester selamanya....aku ingin kamu mau menjadi suaminya Ester."

Ester memang punya keterbatasan, tapi elok hatinya. Bagiku, ia lebih menenteramkan hati ketimbang cewek-cewek yang kolokan, sok-sokan dan matre.

"Bukankah Thomas Edison dan Albert Einstein pun masa kecilnya pernah dicap orang sebagai idiot?" gumamku meneguhkan hatiku sendiri.

Apakah ini adalah kado Paskah spesial bagiku? Atau mandat kemanusiaan yang spesial? Aku belum tahu. Mungkin dua-duanya!

==000==

Bambang Suwarno -Palangkaraya, April 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun