"Memang kenapa?" kejarnya tampak penasaran.
"Aku ini lola atau yatim piatu, dan sudah banyak ditolong. Bahkan sudah dianggap sebagai anaknya sendiri oleh keluarga Pak Andreas. Lalu kalau kemudian aku memacarimu, itu namanya nggak tahu diri. Lancang dan ngelunjak...."
"Kalau yang memacarimu itu aku. Inisiatifnya dari aku. Aku yang suka padamu. Jadi, yang disalahkan biar aku, bukan kamu. Maukah kamu menerimaku?" tanyanya mendesakku.
"........................"
"Lho, kok diam....?"
"Begini saja, kalau Bapak dan Ibu Andreas merestuinya, aku siap menerimamu."
"Bener begitu, Nug?"
"Ya, bener...!"Â
Mendengar itu, sontak ia menghambur ke arahku. Dan mencipika-cipikiku.
Selama ini, sejak ia tinggal serumah denganku di rumah kakaknya, gelagat ketertarikanya itu memang  sudah nampak. Dia begitu perhatian padaku. Kalau namanya mentraktirku makan, itu dilakukannya hampir seminggu sekali. Dalam dua kali ultahku pun, ia selalu memberiku hadiah yang bagus-bagus. Pertama, ia menghadiahiku arloji keren. Kedua, ia mengkado aku sebuah laptop mahal.
Sekarang, persoalannya terletak pada Ambar dengan kakaknya, dan kakak iparnya. Beranikah dia menjelaskan pada Ibu dan Pak Andreas, sekaligus meminta restunya? Aku sama sekali tak yakin akan hasilnya.