"Kenapa saya harus malu, Bapak?"
"Kan Ester punya keterbatasan intelektual? Anak-anak muda sekarang menyebutnya -- lola atau lemot. Makanya selepas SD, dia belajar di rumah saja atau homeschooling. Bener kamu nggak malu jalan bersamanya?"
"Bapak, selama ini saya yang banyak membantu belajarnya di rumah. Kalau di luar, saya juga yang menemani dan mengayominya. Saya sama sekali tidak malu bersamanya. Mungkin memang ada yang menyebutnya begitu. Atau bahkan ada yang meremehkannya. Tapi saya berani menjamin, hati Dik Ester jauh lebih bersih dan lebih baik dibanding para pengoloknya. Dik Ester bukan hanya cantik parasnya, tetapi elok juga hatinya. Tak ada keculasan apa pun di dalamnya....."
"Nugraha, apakah kamu mau menolongku?" tanyanya dengan tatapan mata penuh.
"Lebih lima belas tahun, Bapak sekeluarga sudah banyak sekali menolong saya. Dan jika sekarang Bapak minta tolong pada saya, selama saya bisa, dengan senang hati saya akan melakukannya."
Mendengar janjiku itu, Pak Andreas mengangguk-anggukkan kepala sambil menatapku lekat-lekat.
"Nugraha, dengan sangat aku minta tolong padamu........" suaranya seperti tercekat.
"Maaf......, Bapak mau minta tolong apa pada saya?"
"Aku minta tolong, agar kamu mendampingi Ester selamanya....aku ingin kamu mau menjadi suaminya Ester."
Ester memang punya keterbatasan, tapi elok hatinya. Bagiku, ia lebih menenteramkan hati ketimbang cewek-cewek yang kolokan, sok-sokan dan matre.
"Bukankah Thomas Edison dan Albert Einstein pun masa kecilnya pernah dicap orang sebagai idiot?" gumamku meneguhkan hatiku sendiri.