"Maksudnya, diajak ngobrol dengan topik apa pun, dia itu selalu bisa nyambung. Pandangan-pandangannya cukup rasional dan kritis. Bahkan dalam banyak hal, kami punya banyak kesamaan, Yah...."
"Itu bagus! Artinya kita punya karyawan yang pinter. Lagian Puguh kan memang telah buktikan, bahwa dirinya adalah seorang sarjana," ujar ibunya.Â
"Tapi dia kan juga seorang pria dewasa. Pasti dia pengin juga mencintai dan dicintai. Sebab itu, kedekatanmu dengannya itu, lama kelamaan bisa timbulkan ketertarikannya padamu. Bahkan bisa jadi, ia sudah menduga kalau kamu pun tertarik padanya...... "
"Sebelumnya, aku kan tak pernah begitu, Bun!" jawab Maria. "Perlakuanku itu, kan khusus dalam rangka memberi ucapan selamat padanya di acara wisudanya saja..."
"Ya, tapi kalau Puguh bener-bener ke-geer-an padamu, akhirnya dia kan bisa patah hati..."
Maria Ayudia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanda bahwa ia memahami arah semua perkataan ibunya. Namun sejurus kemudian, anggukan kepalanya makin tegas. Bahkan dibarengi dengan merekahkan bibirnya. Menghasilkan sebuah senyuman yang manis sekali.
"Sekarang, aku yang ganti tanya pada Ayah dan Bunda," ujar Maria sambil menyempurnakan posisi duduknya. "Barangkali saja, atau katakanlah Mas Puguh memang tertarik padaku. Kalau begitu halnya, apa Panjenengan berdua kerso menyetujuinya?"
"Terus terang, aku sangat sulit merestuinya." Jawab ayahnya tegas.
"Sulit........? Alasannya apa, Yah...?"
"Tak ada alasan yang mendasar. Hanya perasaan tidak nyaman dan tidak sreg saja....."
"Kalau aku, sama sekali malah tak setuju....!" Sahut bundanya, tak kalah tegasnya.