"Kenapa harus kecewa?" kejarku waktu itu.
"Ya kecewa karena kebutuhanmu akan kehangatan dan kejantanannya, sudah mulai tak bisa ia penuhi lagi."
Waktu itu, aku tak berpikir sejauh itu. Maka ajakan Nahason untuk menikah kuterima saja dengan antusias. Kami pun segera menikah. Yang ada di otakku, yang penting dia keren dan mapan finansial, meski duda dan agak es-te-we.Â
Terus terang waktu itu, aku sudah jenuh hidup selalu pas-pasan. Mumpung ada pria yang agak tajir mendekatiku, ya kusambut saja niat tulusnya. Sampai ada teman cewek yang menyindirku sebagai cewek matrek. Aku tak peduli.
Apalagi Nahason dan semua keluarga besarnya, adalah warga jemaat yang sangat setia beribadah ke gereja. Kesetiaannya menyembah Tuhan Yesus, bagiku akan memberi rasa aman. Pria yang setia kepada Tuhannya, pasti akan setia juga pada istrinya. Jadi nggak mungkinlah ia akan macam-macam. Apalagi Pak Pendetaku sendiri merestuinya, karena dudanya bukan duda cerai, tapi duda karena istrinya sudah meninggal dunia.
Dan sekarang ini, apa yang diingatkan oleh abangku tentang resiko menikah dengan pasangan yang jauh lebih tua, baru kurasakan kebenarannya. Impotensi Nahason bagaikan momok yang setiap waktu menyeringai, siap menerkamku.
                                    ***
Ketika aku lagi baca koran  lokal hari ini, tiba-tiba mataku menangkap sebuah iklan tentang Klinik Pria Werkudara. Yang disebutkan bisa menangani semua keluhan vitalitas pria. Misalnya: disfungsi ereksi, impotensi, merosotnya libido, ejakulasi dini, infertilitas dan yang lainnya. Ini dia yang kucari. Lalu kusimpan nomor teleponnya. Dan segera saja kuhubungi nomor itu untuk konfirmasi.
Pucuk dicinta ulam tiba. Apa yang kuharapkan dan kubutuhkan sebentar lagi akan terpenuhi di klinik itu. Kami pun janjian, bahwa besok aku akan ke sana untuk konsultasi awal.
"Selamat siang Ibu!" sapa seorang pria muda ganteng (berkostum seperti dokter).
"Selamat siang, Dok!" balasku. Dokter itu menatapku lekat-lekat seperti lagi berpikir.