Jakarta, Kamis, 5 Januari 2023. Tahun 2045 menjadi momen yang sangat penting; satu abad Indonesia merdeka. Kejayaan dan kemajuan di tahun itu merupakan agregat segala upaya pembangunan dan kerja keras bangsa ini tentunya.Â
Potret hari ini dapat diproyeksikan ke depan yang tinggal 22 tahun lagi, dan itu tidaklah terlalu lama. Hanya membutuhkan waktu 4 periode pemerintahan baru setelah 2024. Pastinya semua berharap akan berjalan mulus seperti yang dimimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Banyak indikator positif yang mendukung optimisme itu, seperti proses pembangunan infrastruktur yang terus berjalan, laju pertumbuhan ekonomi yang terus bertumbuh, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang terus naik, dan seterusnya.Â
Namun ada persoalan-persoalan krusial bangsa yang juga dikhawatirkan serta telah menjadi pengetahuan dan rahasia umum bangsa ini. Baik secara persepsi dan opini publik masyarakat kita, maupun pandangan dan penilaian bangsa lain terhadap negeri kita tercinta.
Kekhawatiran-kekhawatiran di balik kesuksesan dan kejayaan bangsa kita yang dimaksud merupakan rapot merah yang harus segera dievaluasi, dan dicarikan solusi jalan keluarnya, agar dapat diperbaiki secepatnya. Rapot merah dimaksud yang dirasakan dalam tulisan ini di antaranya adalah; 1) sistem kehidupan berpolitik, 2) penegakan hukum, 3) mental koruptif dan kecerdasan bangsa. Tiga hal sensitif untuk dibahas, namun faktanya terus terjadi. Ketiga aspek tersebut sangat erat dan saling berkaitan. Mari kita coba uraikan bersama satu per satu, dengan berpikiran jernih (clear mind).
Seperti diketahui bersama, menurut pemberitaan-pemberitaan media masa terdapat 76 parpol (partai politik) yang akan berpartisipasi pada pemilu tahun 2024. Jumlahnya yang terus bertumbuh.Â
Pertumbuhan itu tidak selalu disikapi secara positif. Logika masyarakat awam pun akan berpikir ulang; dengan semakin banyaknya jumlah parpol yang mendaftar, artinya semakin besar total jumlah dana yang dibutuhkan untuk pembiayaan partai-partai tersebut.Â
Ada keterbatasan APBN yang disediakan untuk itu, sehingga masing-masing partai pun akan memperoleh jumlah dana yang semakin kecil karena bilangan pembaginya semakin besar, yang bisa dipastikan tak akan mampu lagi membiayai kegiatan-kegiatannya secara optimal.Â
Oleh karena itu parpol bisa diprediksikan akan menambah jumlah dana tersebut dari sumber-sumber yang sangat mungkin disediakan oleh pihak-pihak swasta lokal dan asing (capital inflow), dan para pengusaha besar yang mampu (alternative capital resources).
Meminjam terminologi asing, pembiaran multi partai ini bisa jadi merupakan 'stupidity in politics'. Jika jumlah partainya banyak, sebenarnya yang paling diuntungkan adalah para kapitalis. Hubungan antara oligarki dengan kapitalis (kaum pemodal) semakin lengket dan mesra.Â
Jumlah partai yang semakin banyak itu membutuhkan dana yang sangat besar yang tidak mungkin semuanya dapat diakomodir oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Akhirnya para kapitalis lah yang menjadi capital resources-nya. Oligarki politik sesungguhnya hanya merupakan proxy saja, sedangkan oligopoli media, dan oligopoli lainnya bisa dikatakan merupakan dampak turunannya (dy/dx).
Jeffrey A. Winters menyatakan bahwa praktik oligarki akan membuat demokrasi semakin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Salah satu pandangan Prof. Winters dari Northwestern University ini yang disampaikan di beberapa media, bahwa sikap gotong royong dan musyawarah mufakat yang dibanggakan bangsa Indonesia menurutnya hanya seperti satire kata indah dari kartelisasi, yang pada intinya tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan.Â
Walaupun demikian, tetap kita harus berhati-hati dalam menyikapi pernyataan tersebut, namun ada baiknya untuk direnungkan kembali selama demi kebaikan dan kemajuan bangsa ini (constructive feedback).
Kebodohoan (stupidity) menembus persepsi dan praktik politik kita sehari-hari (kehidupan berpolitik). Faktanya kita sering menuduh politisi, birokrat, jurnalis, pemilih, 'elit', dan 'massa' atas kebodohan mereka (Otobe, 2021). Bukan hanya 'politisi populis', 'jurnalisme sensasional', dan 'pemilih yang berpendidikan' yang dituduh melakukan kebodohan.Â
Tuduhan serupa dapat, dan pada kenyataannya, dibuat terhadap mereka mengkritik mereka juga. Tampaknya kebodohan ditemukan di mana-mana, tidak dapat dihindari atau dikaitkan dengan satu posisi politik tertentu, sifat pribadi, atau bahkan ketidaktahuan dan penalaran yang salah.
Menurut teori stupidity ini, melakukan penyelidikan teoretis tentang kebodohan artinya menantang asumsi bahwa kebodohan dapat dihindari.Â
Kebodohan yang ada di mana-mana menyiratkan ketidakterhindarannya, bahwa kita tidak dapat memasukkannya ke dalam domain seperti kesalahan, ketidaktahuan, atau 'pasca-kebenaran' (post-truth). Apa yang kita saksikan adalah penalaran seseorang bisa masuk akal, berdasarkan bukti, dan kebodohan.
Dalam mengungkapkan keniscayaan ini, kebodohan merupakan masalah yang tak terhindarkan tidak hanya dalam berpolitik, tetapi juga dalam berpikir. Kita menjadi bodoh karena kita berpikir; tidak mungkin membedakan pikiran bodoh yang apriori dari pikiran lurus.Â
Selain itu, kegagalan untuk mengatasi kebodohan yang tak terhindarkan membawa teori politik pada kegagalan untuk mengakui momen-momen produktif yang terkandung dalam pengalaman kebodohan. Saat-saat produktif seperti itu merupakan potensi kebodohan, bahwa ide-ide baru yang radikal dapat muncul dari pemikiran kita yang tampaknya dangkal dan bodoh dalam aktivitas politik kita sehari-hari.
Kemudian, dalam konteks ini, salah satu politisi senior kita yang terkenal mengingatkan; dalam 'kebodohan' pun harus tetap ada rasa demokrasinya. Berterimakasih dan sangat setuju dengan pandangan tersebut.Â
Namun, bagi para pembaca yang semakin pintar dengan diversity yang semakin kompleks, memiliki latar belakang pendidikan serta literasi baca yang berbeda, masih sering kali keliru memaknai suatu kata atau terminologi adopsi.Â
Demokrasi dimaksud bisa demokrasi terpimpin atau bisa juga demokrasi Pancasila. Selanjutnya masing-masing pemahaman yang membedakannya seperti apa.
Demikian pula kata 'rasa', pemaknaan untuk sebagian orang seakan-akan bersifat 'sementara', atau hanya bila diperlukan saja, tidak memiliki, atau hanya seperti meminjam saja.Â
Pertanyaannya; benarkah seluruh masyarakat kita ini telah memiliki demokrasi yang dimaksud tersebut. Melalui olfactory receptor cells persepsi itu dibentuk oleh otak limbik kita, pengecapan merupakan fungsi sensoris CNS kita (central nervous system). Sensasi pengecapan mencakup rasa manis, asin, masam, pahit, gurih (umami) dan asam lemak.
Kembali kepada konteks capital, kita memang perlu sekali modal, lokal atau dari luar negeri. Terutama diperlukan untuk pembangunan prasarana dan industri maju, bukan hanya sekedar pembiayaan partai.Â
Hanya saja, kita yang seharusnya mengelola para kapitalis oligarki dengan segerobak dolarnya. Bukan mereka yang akhirnya berpotensi menjadi dalangnya. Mirip ucapan Bung Karno yang sebenarnya tidak anti modal asing, tapi hendaknya modal asing tidak menjadi tuan di negeri kita.
Sementara bagaimana kata 'kita' dimaknai benar-benar mewakili seluruh manusia Indonesia. Bukan sekelompok atau sebagian orang dengan segelintiran kepentingan tamaknya.Â
Agar supaya benar-benar pancasilais, yang senantiasa mendahului kepentingan umum di atas kepentingan kelompok maupun perorangan pribadi. Tanpa disadari hal tersebut terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari (stupidity in politics).Â
Menurut pendekatan neuroleadership, kepemimpinan sekarang yang diperlukan tidak saja yang memfasilitasi perubahan (Rock & Ringleb, 2013), namun juga memimpin secara inklusif di atas keberagaman yang telah hadir di Indonesia jauh-jauh hari sebelum adanya kemajuan teknologi informasi digital yang terdisrupsi (transformational and inclusive leadership). Â
Stupidity in politics yang kedua di dalam kehidupan berpolitik bangsa kita adalah sistem perekrutan kader parpol, atau cara partai merekrut para kadernya.Â
Idem, telah menjadi pengetahuan dan rahasia umum juga, bahwa semua kader akan dijanjikan untuk menduduki kursi jabatan tertentu di eksekutif, legislatif, dan bahkan di yudikatif yang seharusnya (secara logika) jelas-jelas diharamkan atau dihindarkan.Â
Selain itu para calon kader tersebut juga harus bersiap-siap mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Sehingga saat mereka diposisikan secara otomatis mengeruk uang haram sebagai keuntungan pribadi maupun kelompoknya untuk setidaknya balik modal.
Politik diperlakukan sebagai hitungan bisnis. Karenanya dikenal dengan 'politik dagang sapi'. Anehnya walaupun telah sering muncul anekdotnya di mana-mana; di media masa dan media sosial, namun hal ini terus berlangsung. Stupidiy terjadi di depan mata kita sehari-hari, namun marah bila itu disebut sebagai salah satu sumber 'budaya korupsi' bangsa kita. Dua ratus tujuh puluh juta jiwa lebih tidak ada yang mampu kah memutus mata rantai ini?
Melalui penjabaran fakta-fakta di atas tersebut, semakin terang benderang mengapa persepsi 'kehidupan berpolitik' di negeri kita ini sangat negatif, menjijikkan, bahkan haram dibahas di mana-mana.Â
Contohnya saja; hampir di setiap whatsapp group dilarang membicarakan topik berkaitan politik. Mereka secara membabi buta membungkam antara politik praktis maupun pendidikan politik tanpa bisa membedakannya lagi. Seakan-akan 'politik yang sehat' hanya isapan jempol belaka di negeri ini.
Sementara di negara-negara maju pengetahuan kehidupan berpolitik terus berkembang. Bila kita searching dan browsing, ditemukan suatu artikel jurnal penelitian yang mengulas perkembangan neuropolitics selama 20 tahun terakhir.Â
Penelitian tersebut mengidentifikasi beberapa tema menyeluruh, reaksi terhadap pertanyaan sikap politik dan wajah kandidat, identifikasi ideologi politik berdasarkan struktur otak atau reaktivitas terhadap rangsangan nonpolitik, dan sikap rasial, serta hambatan terhadap kemajuannya (Schreiber, 2017).Â
Peneliti ini kemudian mengeksplorasi kemajuan metodologis dan analitis yang menunjukkan jalan ke depan untuk masa depan neuropolitik.
Sementara aplikasi neuropolitik di Indonesia telah diperkenalkan kepada pemilu-pemilu sebelumnya, walau masih sangat minim dan hanya memunculkan fenomena dan istilah yang sangat popular (saat itu), salah satunya; 'croc brain' kependekan dari crocodile brain (nama lainnya; batang otak, brainstem, survival brain, lower brain, reptilian brain, primitive brain, lizard brain, old brain, dan masih banyak lagi) yang menunjukkan bahwa pembahasan dan perdebatannya hanya sebatas memanfaatkan low road, lower order tihinking atau system 1; fast thinking (Kahneman, 2011).
Schreiber pada artikel tersebut menjelaskan begitu pesat kemajuan neuropolitik hari ini maupun peluang ke depannya, baik secara keilmuan maupun praktiknya.Â
Salah satu faktor pendorongnya adalah kemajuan ilmu neurosains terutama cara manusia memahami otaknya bekerja, dampak kemajuan perkembangan teknologi elektro pemindai, pencitraan, atau pengukuran otak manusia. Mulai dari fMRI (functional magnetic resonance imaging), EEG (electroencephalogram), fNIRS (functional near infrared spectroscopy), EROS (event-related optical signal).Â
Sehingga para neurosaintis terutama pengamat dan peneliti neuropolitik dapat menyelidiki tidak hanya gangguan aktivitas di otak, seperti borderline personality disorder (BPD).Â
Teknik dan metodologinya juga berkembang, seperti penggunaan transcranial magnetic stimulation (TMS), dan transcranial direct current stimulation (tDCS). Eksperimen-eksperimen konseptualisasi melalui ROI (region of interest) dan analisis keseluruhan otak (whole brain analysis), serta melalui pendekatan-pendekatan machine learning dan neuroforecasting.
Berkaitan dengan rapot merah yang kedua, yaitu; penegakan hukum di Indonesia ini juga perlu digenjot atau didongkrak, sehingga kepercayaan publik, baik dalam dan luar negeri, akan segera pulih kembali.Â
Penegakan hukum harusnya masih bisa lebih mudah diwujudkan dibanding dengan rapot merah pertama, yaitu melalui kekuasaan yang sedang berkuasa. Namun notabenenya; kekuasaan harus segera ditransformasikan kepada pelayanan publik yang tulus serta ikhlas, tanpa pamrih.
Di era sistem pemerintahan yang modern, government is public service provider. Jadi, pemerintahan adalah pusat penyediaan layanan publik yang baik. Bukan lagi pemegang kekuasaan semata.Â
Mandataris rakyat ini sangat urgent untuk diperjelas dan diperkuat kembali, apalagi saat pemerintah suatu negara telah mengandalkan pajak rakyat sebagai salah satu pendapatan utamanya untuk menjalankan pemerintahan. Sehingga sangat logis, rakyat sebagai pembayar pajak menuntut pelayanan publik yang berkualitas.
Pemaknaan kata pemerintah atau pemerintahan (yang memberi perintah) sudah layak diganti dengan kata pelayan atau pelayanan (yang memberikan pelayanan). Di negara-negara maju, para calon pejabat tinggi (termasuk presiden) wajib mengikuti program pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga training associate yang memang diperuntukkan (mungkin seperti Lemhanas di negeri kita).
Salah satu program pelatihannya, mereka harus bekerja di industri perhotelan di bagian F & B (food and beverage). Bahkan mereka mengalami bagaimana bekerja menjadi seorang waitress. Sehingga memunculkan dan menanamkan jiwa pelayanan (serving people). Mental dan mindset mereka terukir di program pelatihan ini.
Namun, yang disayangkan pekerjaan rumah (pr) atas rapot kedua yang merah ini (penegakan hukum), akan sulit diperbaiki atau dijalankan apabila pr yang pertama (kehidupan berpolitik) tidak disehatkan. Salah satu perkaranya yang masih jadi dugaan bagi orang awam seperti penulis; bahwasannya para elit politik kita tidak berani meyuarakan, karena tentunya akan takut dipecat oleh ketua partainya.Â
Wajar, karena mereka sendiri masih megutamakan kekuasaan, bukan pelayanan. Setidaknya kehidupan berpolitik jangan jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Menurut pengamatan Schreiber selama 20 tahun tersebut, di dalam artikelnya, menjelaskan bahwa kemajuan neurolaw dan neuroeconomics jauh lebih pesat dibanding dengan neuropolitics.Â
Artinya, secara teoritis penegakan hukum seharusnya memang lebih mudah dijalankan. Judulnya saja penegakan hukum, seharusnya memerangi kejahatan (tentunya termasuk korupsi) dan menumpas habis segala hal ketidakadilan.Â
Bukan sebaliknya, memberikan contoh yang menjijikkan. Perang kebathilan dan kezholiman adalah tantangan utama di Abad Otak dan zaman Era Digital ini di seluruh dunia.Â
Bukan lagi penjajahan fisik dan penjajahan ekonomi yang perlu diwaspadai, namun juga 'penjajahan pikiran' adalah bentuk baru yang perlu diantisipasi. Penjajahan pikiran basisnya adalah informasi dan pengetahuan yang mensyaratkan literasi baca dan literasi digital yang tinggi.
Perbaikan rapot merah yang kedua juga sangat erat hubungannya dengan rapot merah ketiga. Bukan hanya korupsi yang telah diuraikan di atas. Indonesia diakui dunia merupakan salah satu negara yang sangat kaya raya dengan kekayaan alamnya (natural resources).Â
Minyak, tambang, mineral, flora, fauna, di luar potensi energi terbarukan yang belum banyak dieskplor serta digali, serta keindahan alamnya, yang didukung hanya dua musim (panas dan hujan).Â
Salah satu sumber energi matahari terbanyak karena letak geografisnya di khatulistiwa. Lalu, human resources menjadi pr-nya. Kecerdasan bangsa telah dinyatakan terang-terangan secara tertulis di Pembukaan UUD 1945 sebagai salah satu tujuan berbangsa dan bernegara yang bebas dari penjajahan.
Pembangunan manusia Indonesia yang bermental tangguh, bugar, kokoh, cerdas, berkarakter dan berahlak mulia perlu diprioritaskan. Kecerdasan yang menyeluruh (the whole brain strategy), bukan hanya kecerdasan rasional (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan kolaboratif (CQ), dan kecerdasan Q-Q lainnya.Â
Agar tidak hanya gemar menjual dan mengekspor bahan baku sebagai komoditas (raw material), tapi juga barang setengah jadi (work in process) dan barang jadi (finished goods).Â
Efisien, efektif, dan etis (3E). Kalau pun berlebih akan memenuhi neraca (balance sheet) sebelah kiri (assets), sebagai persediaan devisa negara yang baik di bawah current assets dan di atas fixed assets. Dengan likuiditas yang masih tinggi, sehingga bangsa ini memiliki posisi tawar yang bagus (bargaining position).Â
Salah satu upaya mencerdaskan dan meningkatkan mutu SDM Indonesia melalui revolusi mental yang harus didukung dan dibantu melalui program-program riilnya. Beberapa komponen yang faktanya masih jauh dari harapan, seperti; guru dan dosen kenyataannya merupakan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif termiskin dibandingkan dengan profesi-profesi lain.Â
Sampai hari ini belum adanya fakultas neurosains di seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia menjadi salah satu pertanyaan mendasar. Sementara di negara-negara tetangga para guru elementry school, junior high school dan senior high school disyaratkan mengantongi sertifikat dalam mempelajari setidaknya pengantar ilmu neurosains dan aplikasinya.
Selain sistem pendidikan yang perlu diperhatikan, perilaku para pemimpin bangsa dan tokoh yang seyogyanya memberikan contoh-contoh keteladanan. Seharusnya malu para praktisi oportunis yang berebut ingin menjadi menteri dan pejabat, sementara beberapa pejabat baik secara diam-diam maupun terang-terangan terbuka berambisi membesarkan usahanya ingin menjadi pengusaha kaya raya.
Penguasa ingin menjadi pengusaha, pengusaha ingin menjadi penguasa. Stupidities dan ketidakteladanan ini terus dipertontonkan serta dijejalkan secara masif dan intens kepada masyarakat kita, secara sadar maupun tidak, melalui informasi dan pengetahuan sehari-hari yang dibagikan lewat media masa dan media sosial.Â
Itu termasuk membanjiri berita ketakutan (fear), kecemasan (worries), kegelisahan dan keresahan (anxiety), serta berita atau informasi stres-stres lainnya, merupakan cara yang paling ampuh membodohi suatu bangsa.
Agar mampu berpikir optimal, memang otak kepala kita butuh sedikit stress (kortisol) untuk menjaga keseimbangan proporsional homeostasis di kepala. Stres yang dimaksud tidak berlebih, yang sesuai batas ambangnya, sehingga stres yang baik ini (eustress)Â mampu menaikkan daya resiliensi atau daya juang.Â
Akan tetapi tidak yang berlebih (distress) karena kortisol yang berlebih dapat memutuskan sinap-sinap antar neuron di kepala dan mematikan sel-sel badan neuron (soma). Bahkan bila berkelanjutan terjadi (chronicle stress) membanjiri kortisol di kepala, tidak hanya membodohi bangsa ini, akan tetapi juga melemahkan bahkan merusak sistem imun tubuh manusia yang memperpendek usia. (BIS)
Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H