Jumlah partai yang semakin banyak itu membutuhkan dana yang sangat besar yang tidak mungkin semuanya dapat diakomodir oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Akhirnya para kapitalis lah yang menjadi capital resources-nya. Oligarki politik sesungguhnya hanya merupakan proxy saja, sedangkan oligopoli media, dan oligopoli lainnya bisa dikatakan merupakan dampak turunannya (dy/dx).
Jeffrey A. Winters menyatakan bahwa praktik oligarki akan membuat demokrasi semakin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Salah satu pandangan Prof. Winters dari Northwestern University ini yang disampaikan di beberapa media, bahwa sikap gotong royong dan musyawarah mufakat yang dibanggakan bangsa Indonesia menurutnya hanya seperti satire kata indah dari kartelisasi, yang pada intinya tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan.Â
Walaupun demikian, tetap kita harus berhati-hati dalam menyikapi pernyataan tersebut, namun ada baiknya untuk direnungkan kembali selama demi kebaikan dan kemajuan bangsa ini (constructive feedback).
Kebodohoan (stupidity) menembus persepsi dan praktik politik kita sehari-hari (kehidupan berpolitik). Faktanya kita sering menuduh politisi, birokrat, jurnalis, pemilih, 'elit', dan 'massa' atas kebodohan mereka (Otobe, 2021). Bukan hanya 'politisi populis', 'jurnalisme sensasional', dan 'pemilih yang berpendidikan' yang dituduh melakukan kebodohan.Â
Tuduhan serupa dapat, dan pada kenyataannya, dibuat terhadap mereka mengkritik mereka juga. Tampaknya kebodohan ditemukan di mana-mana, tidak dapat dihindari atau dikaitkan dengan satu posisi politik tertentu, sifat pribadi, atau bahkan ketidaktahuan dan penalaran yang salah.
Menurut teori stupidity ini, melakukan penyelidikan teoretis tentang kebodohan artinya menantang asumsi bahwa kebodohan dapat dihindari.Â
Kebodohan yang ada di mana-mana menyiratkan ketidakterhindarannya, bahwa kita tidak dapat memasukkannya ke dalam domain seperti kesalahan, ketidaktahuan, atau 'pasca-kebenaran' (post-truth). Apa yang kita saksikan adalah penalaran seseorang bisa masuk akal, berdasarkan bukti, dan kebodohan.
Dalam mengungkapkan keniscayaan ini, kebodohan merupakan masalah yang tak terhindarkan tidak hanya dalam berpolitik, tetapi juga dalam berpikir. Kita menjadi bodoh karena kita berpikir; tidak mungkin membedakan pikiran bodoh yang apriori dari pikiran lurus.Â
Selain itu, kegagalan untuk mengatasi kebodohan yang tak terhindarkan membawa teori politik pada kegagalan untuk mengakui momen-momen produktif yang terkandung dalam pengalaman kebodohan. Saat-saat produktif seperti itu merupakan potensi kebodohan, bahwa ide-ide baru yang radikal dapat muncul dari pemikiran kita yang tampaknya dangkal dan bodoh dalam aktivitas politik kita sehari-hari.
Kemudian, dalam konteks ini, salah satu politisi senior kita yang terkenal mengingatkan; dalam 'kebodohan' pun harus tetap ada rasa demokrasinya. Berterimakasih dan sangat setuju dengan pandangan tersebut.Â
Namun, bagi para pembaca yang semakin pintar dengan diversity yang semakin kompleks, memiliki latar belakang pendidikan serta literasi baca yang berbeda, masih sering kali keliru memaknai suatu kata atau terminologi adopsi.Â