Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 4 April 2020. Lebih baik terlambat daripada tidak memulainya sama sekali. Di pertengahan tahun 2017 telah kami tuliskan dengan judul yang mirip. Namun mungkin kita perlu mengulanginya kembali, mengingat di negeri kita masih dianggap sesuatu yang asing.Â
Pada awalnya neuromarketing adalah pendekatan khas untuk riset pasar karena didasarkan pada pengetahuan dan temuan baru dari ilmu otak, khususnya pendekatan neurosains.Â
Kemudian berkembang menerapkan neurosains tidak hanya pada riset pemasaran saja. Namun juga cara kita memandang dan menganailisis menjadi lebih tajam.Â
Hari ini, bila kita berselancar di internet, kita akan menemukan banyak judul buku terkait neuromarketing. Konsep neuromarketing telah banyak berkembang, tidak sekedar dari pemahaman teori-teorinyanya saja. Khususnya di negara-negara maju mereka yang telah sering mengimplementasikanya di lapangan.
Selain istilah neuromarketing research, kita akan jumpa consumer neuroscience, the brain sell atau the buying brain, brainfluence, the persuasion code, digital neuromarketing, internet neuromarketing, neuromarketing in action, neurodesign, the consumer mind, dan masih banyak lagi.Â
Menjadikan lebih kaya akan pengetahuan yang berkembang pesat, dan memberikan banyak perspektif baru untuk memahami perilaku konsumen. Kita menyebutnya dengan sudut pandang yang baru.Â
Tidak sekedar berbeda, harapannya lebih efektif dan efisien. Sebagai model konsumen intuitif yang bertentangan dengan model konsumen rasional yang didasari oleh penelitian pasar yang tradisional.
Ilmu otak memberitahukan kita bahwa konsumen sangat tipikal, bukanlah pertimbangan yang lambat dan berhati-hati dalam hal membeli preferensi, serta membuat keputusan atau menentukan pilihan.Â
Tepatnya dalam mengambil keputusan membeli. Tapi sebaliknya, konsumen juga sangat 'kikir kognitif' yang dilengkapi dengan otak, disesuaikan dengan evolusi untuk menggabungkan energi serta menghasilkan keputusan juga tindakan konsumen yang paling efisien.Â