Mungkin budaya barat memandang  Buddhisme  telah menjadi jenis terapi pragmatis dan non-metafisik yang mengurangi penderitaan. Tetapi seberapa yakinkah kita tentang pandangan ini, mengingat seberapa baik pandangan itu mencerminkan pemahaman diri pragmatis, anti-metafisika, terapeutik Barat postmodern sendiri?
Jika manusia tidak dapat melompati bayangan kita sendiri, haruskah manusia menyerah pada "salah tafsir" terhadap agama Buddha yang selalu mencerminkan prasangka kita sendiri? Atau apakah "Buddhisme" lebih baik dipahami sebagai sejarah interpretasi yang masih berlanjut? Interpretasi yang harus mencerminkan prasangka kita karena mencerminkan kebutuhan kita sendiri.
Citasi: Roger-Pol Droit,. 2003.,The Cult of Nothingness: The Philosophers and the Buddha., Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H