Riset Filsafat Ilmu: Kerangka Pemikiran, Premis, dan Hipotesis  {1}
Untuk menguji Riset Filsafat Ilmu: Kerangka Pemikiran, Premis, dan Hipotesis  ini secara deduksi (secara logik) dan melakukan pengujian secara induksi (empirik) fenomena mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dengan proxy variabel kecerdasan emosional, kepuasan kerja. Penelitian Pengaruh tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dengan proxy variabel kecerdasan emosional, kepuasan kerja adalah penelitian Apollo Daito, dan Pia Oliang  (2013) pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
Kerangka Pemikiran., Menurut Apollo Daito (2007: 20) kerangka pemikiran adalah menjawab secara rasional masalah yang telah disusun dan diidentifikasikan (mengapa fenomena tersebut terjadi) itu dengan mengalirkan jalan pemikiran dari pangkal pikir (premis) berdasarkan patokan (postulat/asumsi/aksioma) sampai pada pemikiran (hasil berpikir/ deduksi/hipotesis) menurut kerangka logis (logical construct). Kerangka berpikir itu adalah kerangka logika sebagaimana digunakan  dalam berpikir deduktif, yang menggunakan silogisme (sylogism).
Berikut ini akan dijelaskan secara berturut-turut kerangka pemikiran, permis, dan hipotesis sesuai dengan judul penelitian "pengaruh kecerdasan emosional dan kepuasan kerja, terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) baik secara parsial maupun secara simultan".
Pada penjelasan awal akan dikemukan pendekatan perilaku manusia ekonomi (humanistic economics), dan krisis global oleh Lutz dan Lux (1979) dalam 'the challenge of humanistic economics', bapak ilmu ekonomi oleh Adam Smith menjelaskan perjalanan kebangkitan manusia di mulai dari self interest, dicek oleh competition namun tetap di bawah pengayoman Tuhan (providence) sebagai invisible hand. Landasan ekonomi pertama adalah tenaga kerja dikembangkan oleh Ricardo, dan pada abad 19 muncul ekonomi modern ditangan Jevons bersifat serakahisasi yang dilucuti oleh positivisme, Edgeworth (matematisasi), dan Marshall (terkikisnya moral dari ilmu ekonomi). Jevons yang meletakan dasar-dasar keserakahan utilitarianisme (hedonisme), pernyataan invisible hand bukan (Providence) tetapi hukum alam semata, lalu muncul homo economicus yang dikatakan manusia normal dan rasional adalah manusia serakah (homo homini lupus), dan memaksimalkan keuntungan ekonomi  (=puncak keserakahan manusia) apalagi kalau bukan melakukan di luar tanggung jawab moral. Demikian juga John Stuart Mill (=hukum ulitilitarian) menyatakan manusia itu memaksimalkan rasa enak dan meminimalkan rasa sakit (tidak enak).  Problem ekonomi adalah problem maksimalisasi, yang dituangkan dalam bentuk model ekonomi-matematik-statistik (ekonomterika) yang menjelaskan hubungan/ pengaruh sebab akibat. Akhirnya ditangan Marshall ekonomi modern mencapai puncaknya dalam hal ini (=100% hedonisme)...'the good ethic (moral) is resistence to pleasure', atau moral adalah penghalang maksimalisasi ekonomi, 'variety is the spice of life' menunjukkan kebutuhan orang tidak ada batasnya (pelampiasan hawa nafsu). Artinya rasionalitas tak lain adalah (1) 'to make hedoism morrally acceptable'; (2) you can either serve God or Mammon, but it can not be both; bandingkan dengan pernyataan 'lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum, daripada seorang kaya masuk dalam kerajaan Tuhan'. Seseorang dikatakan maju apabila berhasil menguasai faktor-faktor produksi barang atau jasa untuk penciptaan nilai uang (laba). Agar bisa adil dicek dengan kompetisi, akan muncul ekonomi pasar bebas, bersifat netral dan etis netral (Weber).
      Landasan ekonomi modern adalah wants (kebutuhan manusia tak terbatas), bukan needs (yang mengenal kecukupan), prinsip kelangkaan, pengejaran kesenangan pribadi, dan selalu meningkat motivasinya (=teori motivasi Maslow), pada kebutuhan material, keamanan, sosial, penghargaan, sampai aktualiasai diri. Sekali lagi ini menunjukkan maksimalisasi nilai, sehingga orang melakukan pelanggaran apa saja yang dilarang oleh agama. Eric Fromm (1941) pangkal keruwetannya adalah 'freedom'. Menurut saya hal ini terjadi sikap yang menyebelah tanpa menjaga keseimbangan (=tanpa adanya penyatuan manusia, alam, dan Tuhan), berdampak pada konflik lahir dan batin yaitu pertarungan antar manusia untuk memaksimalkan nilai ekonomi, tanpa submissiveness. Ungkapan batin menjadi perasaan "(self interest) vs God's interest" berakibat pada: tidak aman (insecurity), kesepian (aloneness), kecemasan (anxiety), terombang ambing (uprootedness), kecurigaan (doubt), takut rugi (losses), menjadi 'lust for power' (=keinginan untuk terus berkuasa dan menikmati keuntungan terus menerus), sampai menuju ke arah tirani Hitler, Mussilini, Stalin. Demikian pula perbuatan manusia menundukkan alam (untuk memaksimalkan kenikmatan) bahkan terjadi pemerkosaan alam. Alam yang tidak punya kemauan, juga membalas dengan kekuatannya dengan memberikan bencana dan malapetaka. Yang jelas di abad ini kita merasakan krisis global secara menyeluruh.
Kerangka pemikiran ini dikaitkan dengan melakukan refleksi moral atas perilaku atau tindakan manusia dalam bisnis (=etika bisnis), sebagai akibat memaksimalkan kenikmatan (=hedonisme). Etika (=budi) selalu menyangkut kebaikan manusia sebagai manusia. Setiap manusia selalu ingin berupaya untuk menjadi orang baik dalam segala dimensinya, termasuk dalam bisnis. Manusia memerlukan budi (= suara hati) agar hidupnya lestari (= luhur). Etika diperlukan manusia agar hidupnya teratur, bermutu, dan bermakna. Pada tatanan ini globalisasi menempatkan nilai aksiologi.
Demikianlah pergeseran pemadatan ruang dan waktu menjadi nol (ontologis= gejala globalisasi) tidak hanya menyentuh hal tersebut tetapi juga aspek epistimologis (pola pikir) artinya globalisasi bukan hanya merupakan keterikatan integral antara berbagai tindakan manusia, melainkan sebagai perlu kajian secara sangat teliti dalam memandang berbagai persoalan, terutama pada pusaran bisnis global. Dengan kata lain seluruh dunia menjadi unit tindakan dan pemikiran manusia. Akhirnya yang paling penting adalah aspek aksilogi yakni menyangkut kebaikan manusia sebagai manusia dalam penjewantahan kegunaan ilmu (= sains), sebagai penciri persatuan alam, manusia, dan Tuhan.
 Background Theory (teori latar belakang), sebagai ide awal pada penelitian ini menggunakan teori John Stuart Mill (1806-1873), Teori Utilitarian dengan prinsip memaksimalkan rasa enak (bernilai) dan meminimalkan rasa sakit (tidak enak). Dasar pemikiran ini merupakan pangkal penelitian dan kajian dalam bidang ilmu ekonomi. Selanjutnya pendapat ini dikritik Bentham sebagai etika Babi. Betham mengusulkan etika dengan proposisi baru "the greatest happiness for the great number" (= kebahagiaan yang besar mungkin bagi jumlah yang terbesar mungkin) yang dijelaskan dalam dua tahapan nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Manusia rasional selalu memiliki kecenderungan memaksimalkan rasa nikmat (laba) dan meminimalkan rasa sakit (= kerugiaan atau biaya).
Dalam bidang ilmu ekonomi, pemikiran positivisme menunjang kebahagian diri sendiri atau kebahagian semua yang bersangkutan, yang terukur secara kuantitatif.
Lebih lanjut Mill dalam Frans Magnis Suseno (1997:180) menyatakan tujuan tindakan moral manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalisasikan  perasaan sakit (menghindari perasaan tidak enak). Mill membuat prinsip kegunaan (utilitarisme) yaitu bertitik tolak pada situasi di mana kita berhadapan dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak dari alternatif mana yang kita pilih dan mempunyai nilai paling menguntungkan. Hal ini disebut hedoisme psikologis yaitu prinsip mencari kebahagiaan sebesar-besarnya. Apa yang dikemukakan Mill merupakan embrio agency theory, yang dipakai dalam penelitian ini.
Teori Utilitarian dapat dijelaskan dalam ilmu ekonomi-akuntansi dengan pendekatan deduktif dan induktif (apriori-aposterori) melalui nilai-nilai egositik, materialistik (uang), utililarian yang diekpresikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan perusahaan menunjukkan sifat egoistik (kepentingan) stakeholders untuk memperoleh bagian manfaat atau keuntungan yang menjadi haknya. Pada sisi ini akan muncul nilai Utilitarian, dengan sebuah gagasan nilai suatu tindakkan dinyatakan berguna apabila memenuhi syarat perbuatan "memaksimalkan kenikmatan (=laba/profit), dan meminimalkan sakit (=1rugi/biaya)", tanpa memandang prosesnya (tanpa nilai-nilai etika yang baik "good ethics, and good business").
Praktik akuntansi modern tidak mungkin bebas nilai kepentingan siapapun, sebab dalam penciptaan akuntansi melibatkan manusia yang mempunyai  kepentingan dan kepribadian ganda. Bila informasi dalam laporan keuangan yang dihasilkan atas dasar "egositik, materialistik (uang), utililarian" pada sisi lain para pengguna laporan keuangan akan mengambil keputusan berdasarkan "egositik, materialistik (uang), utililarian" pula. Pada definisi sebagai nilai-nilai "kapitalisme", yang akan berdampak pada dehumanisasi (= penurunan nilai martabat manusia), merusak alam jagat rasa, meresahkan manusia secara keseluruhan, dan melanggar kodrat manusia sebagai dalam rangka menuju akuntansi "manunggaling Kawula Gusti" (= penyatuan manusia, alam semesta dan Tuhan).
Dengan demikian dapat dikatakan meraih sukses diperlukan seperangkat sikap, kondisi mental, kemampuan psikologis-spiritual, dan perilaku yang prima. Orang berhati baik dan benar mampu mengelola kenyataan paradoks, memiliki visi, misi, dan sasaran yang jernih, teguh sekaligus fleksibel, inovatif-kretatif, imajinatif, berorientasi pada mutu dan kesempurnaan, terus menerus belajar dan berubah secara damai, menyajikan nilai-nilai pelanggan yang bermutu tinggi, hebat dalam berkompetisi dengan basis knowledge, pandai mengelola assets intelektual, mampu menjalankan proses adaptasi dan transformasi, berkeinginan besar, berkeyakinan kuat, percaya pada kekuatan doa, memiliki daya pikir yang tajam, bermental positif, mempunyai kompetensi khusus, perencanaan yang teliti, mampu membuat keputusan jitu, tahan menghadapi kesulitan, mengerahkan emosi positif, mampu mengubah energi seksual menjadi energi kerja, mampu mengelola rasa takut, antusias, proaktif, biasa memulai sesuatu dan mengakhiri, mengutamakan hal-hal utama dengan segera, berpikir win-win, mampu menampilkan pesona diri yang tepat, mampu mengelola energi diri yang baik, mempunyai sistem nilai pribadi, memiliki kontrak-kontrak batin yang jelas, terampil dalam hubungan antar manusia, dewasa secara emosional, bertanggungjawab, mempunyai pola kepribadian yang tepat sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
Selanjutnya perkembangan teori akuntansi sejak 1930-an sampai 1970-an bersifat normative accounting theory yaitu mengkaji bagaimana seharusnya akuntansi berjalan, dan tidak menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Sedangkan teori akuntansi positif berusaha menjelaskan, apa, dan bagaimana praktik akuntansi tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman yang dapat di uji dengan dunia empirik sehingga lebih berhasil menjelaskan praktik akuntansi. Positive theory oleh Milton Friedman tahun 1953, Johnson tahun 1967 digunakan dalam menguji hipotesis dengan observasi terhadap phenomena-phenomena ekonomi. Milton, menulis monograph dengan judul: "essay in positive economics", menerangkan secara lengkap tentang positive research dalam bidang ilmu ekonomi. Positive research ditulis Milton telah mampu menjadi landasan sistematik tentang penjelasan phenomena-phenomena ekonomi yang digunakan dalam penelitian hingga abad sekarang. Teori akuntansi positif membahas tiga hal yakni menjelaskan, mengendalikan dan memprediksi. Watts dan Zimmerman (1986:2), menyatakan teori akuntansi menyediakan seperangkat prinsip atau konsep-konsep yang luas  untuk menjelaskan (to explain) berarti memberikan jawaban terhadap praktik akuntansi yang berlaku dan memprediksikan (to predict) berarti meramalkan fenomena-fenomena yang berlaku. Sejalan dengan perubahan lingkungan tempat akuntansi beroperasi, konsep dalam teori selalu dikembangkan  agar tetap terpelihara sebagai pengetahuan dan relevan sebagai standar praktik akuntansi (Standar Akuntansi Keuangan). Terdapat dua dimensi dalam pengembangan teori akuntansi yaitu  penyusunan konstruksi dan verifikasi teori.
Dengan demikian Grand theory dalam penelitian ini adalah teori Milton Friedman (1953), yaitu (1) the methodology of positive economics; (2) Stockholder to Stakeholder Theory. Milton menyatakan tujuan perusahaan memaksimalkan kemakmuran pemegang saham atau pemilik modal. Pemegang saham (principles) memiliki dana yang diserahkan kepada pengelola (agent). Pemegang saham mengharapkan return yang lebih besar atau sama dengan yang diharapkan dari investasi tersebut, sedangkan agent sebagai pengelola perusahaan mempunyai manfaat berupa gaji, upah, atau bonus. Hubungan ini disebut sebagai agency relationship. Self interest adalah justifikasi moralitas saat ini yang lebih dominan adalah etika egoisme yaitu melakukan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan orang lain kecuali hal tersebut berkaitan dengan dirinya. Kepentingan tersebut dapat dibedakan dalam (1) memaksimalkan kesenangan/ kebahagiaan diri sendiri (etika hedonisme-Epicurus) dan (2) utilitarianisme hedonistik yakni memaksimalkan kesenangan/ kebahagiaan umum, orang ber moral adalah orang yang bahagia  sebagai gabungan pengetahuan, kesenangan, dan kebahagian-kebahagian yang lain (Betham-Mill-Plato).
Stakeholders theory (a stakeholders view of company responsibility) menurut Pearce II, Robinson Jr, (1997:47) menyatakan tanggung jawab perusahaan meliputi tanggung jawab kepada pemegang saham (stockholders), kreditor (creditor), karyawan (employees), pelanggan (customers), penyedia (suppliers), pemerintah (governments), serikat kerja (unions), pesaing (competitors), pemerintah daerah (local communities), dan masayarakat keseluruhan (the general public).
Milton Friedman (1953), menulis detail tentang positive research dalam ilmu ekonomi. Ilmu pendekatan positif yang ditulis Milton telah mampu menjadi landasan sistematik tentang penjelasan teori atas  phenomena-phenomena. Bila dihubungkan dengan standar akuntansi positive theory, menurut Zimmerman (1980:108) akan mampu menjawab atas pertanyaan: (a) mengapa beberapa perusahaan memilih metode penyusutan garis lurus dan perusahaan lain memilih penyusutan dipercepat, (b) mengapa perusahaan minyak  memilih metode  "full-cost accounting" dan perusahaan lain memilih "successful-efforts" untuk biaya eksplorasi, (c) mengapa SEC (securities exchange commission) menggunakan "veto power" untuk kebijakan pemilihan metode akuntansi tertentu. Teori akuntansi berguna menjelaskan, meramalkan fenomena, dan menjelaskan keterikatan ini pada gejala-gejala yang dianalisis, kemudian akan menghasilkan penyimpulan yang dapat dipakai peramalan (prediction) dan penjelasan (explain) fenomena interelasi dalam membentuk perilaku saham. Simpulan pada penelitian ini menjelaskan faktor-faktor diluar ilmu ekonomi yang dapat membentuk harga, misalnya: tingkat daya beli masyarakat, tingkat pendapatan, tabungan, pergerakan barang satu negara dengan negara lainnya (export-import), tarif pajak, jumlah uang beredar, investasi, perilaku konsumen, dan variabel-variabel lain yang mempengaruhi hukum permintaan dan penawaran barang atau jasa. Hubungan yang mempunyai keseimbangan antara kedua variabel disebut hubungan transaksional. Implikasi lebih luas hubungan dua variabel antara tranformasi nilai kegunaan, kepuasan, dan akhirnya kontrak nilai dalam kontrak sosial masyarakat.
Milton Friedman  mengkaitkan pemikirannya dalam bidang riset ilmu ekonomi. Pemikirannya didasari terdapat hubungan antara proposisi (deduksi) dan induksi (empirik) dikaitkan dengan terikatan ilmu ekonomi dengan ilmu lainnya.
Middle Range Theory dalam penelitian ini "Positive Accounting Theory" Watts dan Zimmarman (1986) dan "Agency Theory" oleh Jensen Meckling (1976). Penjabarannya kedua middle range theory tersebut sebagai berikut: pada bidang akuntansi (=sisi mikroekonomi) munculnya situasi konflik dan pertentangan kepentingan, bahkan puncaknya terjadi pada skandal Enron, WorldCom, Xerox, dan Merck sebagai representasi pertentangan kepentingan dalam perusahaan antara manajemen, pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan perusahaan, pemasok, konsumen, dan masyarakat umum secara sempit pertentangan kepentingan disebut antara agent dan principal. Mekanismenya dilakukan manajemen (agent) sebagai pihak yang menyusun laporan keuangan karena mereka berada di dalam perusahaan sebagai pengelola aktiva perusahaan secara langsung. Di lain pihak pemegang saham, kreditor, dan pemerintah sebagai pihak yang menanamkan modalnya dalam perusahaan, memberikan pinjaman kepada perusahaan serta memiliki kepentingan dalam memperoleh dana pembangunan dalam bentuk pajak merupakan pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen, tetapi tidak menyusun laporan keuangan. Pertentangan kepentingan dalam perusahaan tersebut antara lain: "(a) manajemen berkeinginan meningkatkan kesejahteraannya melalui gaji, upah, bonus, sedangkan pemegang saham berkeinginan meningkatkan kekayaannya melalui dividen dan capital gain; (b) manajemen berkeinginan memperoleh pinjaman kredit sebesar mungkin dengan bunga rendah, sedangkan kreditor hanya ingin memberikan kredit sesuai kemampuan perusahaan, (c) manajemen berkeinginan membayar pajak sekecil mungkin, sedangkan pemerintah ingin memungut pajak setinggi mungkin".
      Pada tatanan penelitian akuntansi yang merupakan bagian ilmu ekonomi mengalami perkembangan pesat.
Menurut Wolk et al (2001:41-48) kajian penelitian akuntansi dilakukan dengan menggunakan: (a) model pengambilan keputusan (the decision-model approach), (b) penelitian pasar modal (capital markets research), (c) penelitian perilaku (behavioral research), (d) teori perantara (agency theory), (e) informasi ekonomi (information economics). Middle range theory pada penelitian ini adalah agency theory oleh Jensen dan Meckling (1976), dan Behavioral research.
Â
Scott (2003:39), mengemukakan ada dua tipe hubungan principal-agent yang muncul dalam sistem pengendalian manajemen yaitu : (1) pemegang saham atau pemilik perusahaan bertindak sebagai principal menyewa manajer untuk menjalankan perusahaannya, (2) pimpinan perusahaan sekaligus menyewa principal menyewa agent devisi untuk menjalankan devisi secara desentralisasi. Karena itu baik principal maupun agent diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional yang berusaha memaksimumkan utilitasnya. Lebih lanjut dijelaskan pemilik menginginkan keuntungan investasi yang besar, sementara agent mempunyai keinginan untuk meningkatkan kekayaan dan  kesenangannya.
      Hubungan agent muncul bilamana suatu kumpulan pemilik (sebagai principal) menyewa orang atau sekumpulan orang (sebagai agent) untuk melaksanakan beberapa pekerjaan. Dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pemilik (principal) perlu mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agent.
      Kepemimpinan perusahaan memiliki dua jenis. Kedua jenis tersebut adalah manajer berasal dari luar perusahaan (outside manager) dan manajer yang berasal dari pemilik perusahaan (owners manager). Penelitian yang mengkaji hubungan antara manajer dan pemilik disebut agency theory. Asumsi agency theory menurut Bamber, et al. (1998:70), mengakibatkan munculnya konflik kepentingan antara manajer dan pemilik; manajer memaksimumkan utilitinya sendiri, sementara  pemilik berkeinginan memaksimumkan keuntungannya. Konflik tersebut muncul bila  manajer berusaha memaksimumkan kesejahteraannya sendiri dan tidak memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham. Tindakan tersebut dilakukan  melalui financial numbers game dengan cara real (melalui transaksi) atau melalui artificial (pemilihan metode akuntansi).
      Menurut Watts dan Zimmerman (1986;181) kontrak antara owners manager dan shareholders disebut agency relationship. Lebih lanjut dikatakan : "a contract  under which one or more (principals) engage another person (the agent) to perform some service on their  behalf which involves delegating  some decision making authority to the agent".
Kemudian Jensen dan Meckling (1976:308), menyatakan hubungan agent dan principal  akan menimbulkan biaya bagi principal (shareholders). Lebih lanjut Jensen dan Meckling menyatakan sebagai berikut : "agency relationships involve costs to the principals. The costs of agency relationship have been defined as the sum of  (1) monitoring expenditures by the principal, (2) bonding expenditures by the agent, and (3) the residual loss".
      Sebagai orang pertama yang membahas teori agensi, Jensen dan Meckling, menyatakan hubungan agensi akan menimbulkan biaya bagi pemilik. Biaya tersebut adalah biaya pengawasan, biaya bonding, dan kerugian residual. Lebih lanjut dijelaskan biaya pengawasan adalah pengeluaran oleh pemilik untuk mengawasi tingkah laku manajer, biaya bonding merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh manajer untuk menjaga agar dapat memaksimumkan kepentingan pemilik. Biasanya tindakan yang di ambil manajer akan berbeda jika pemilik sendiri yang melakukan tindakan tersebut, efek ini disebut kerugian residual (residual loss).
      Biaya agensi memiliki hubungan dengan biaya kepailitan dalam struktur modal (leverage). Manajemen merupakan agent pemegang saham di dalam perusahaan. Pemegang saham berharap agent dapat bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan  wewenang pada agent. Agar dapat melakukan fungsinya dengan baik manajemen  harus diberikan insentif  dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui pengikatan agent, pemeriksaan laporan keuangan dan pembatasan terhadap keputusan yang diambil manajemen bahkan harus melalui perjanjian. Kegiatan pengawasan tersebut memerlukan biaya yang merupakan tanggungan pemegang saham.
Dengan menghubungkan teori utilitarian ini bermula pada konflik kepentingan antara agent (pengelola/manajemen) dengan pemilik (principal/pemegang saham). Rasionalitasnya menyatakan manajemen ingin memperoleh kesejahteraan dari perusahaan melalui gaji, upah, bonus atau dikenal dengan bonus plans hypothesis, sedangkan pada sisi pemilik menginginkan tingkat pengembalian modal dan dividen yang tinggi. Konflik ini mengakibatkan masing-masing pihak ingin memaksimalkan utility-nya. Pada sisi kreditur juga berlaku hal yang sama, kepentingan ingin mendapatkan bunga tinggi, sementara manajemen ingin bunga rendah dan angsuran yang kecil. Kondisi ini dalam teori akuntansi disebut debt to equity hypothesis. Sisi stakeholder lain dalam hal ini pemerintah menginginkan adanya penerapan peraturan atau regulasi lainnya seperti penerapan undang-undang ketenagakerjaan, upah minimum regional, dan tarif pajak yang harus dibayarkan ke kas negara. Pada sisi ini disebut sebagai political cost hypothesis. Demikianlah terdapat 3 hypothesis positive accounting theory yang merupakan penelitian dalam bidang teori keagenan, dan akuntansi perilaku. Menurut Watts dan Zimmarman (1986:2) pengujian teori akuntansi berguna pada dua hal: (1) menjelaskan (explain) dan (2) memprediksi (prediction). Menjelaskan (explain) adalah menerangkan sebab dan akibat, pengaruh atau hubungan antar variabel-variabel dalam bidang penelitian akuntansi dalam bidang agency theory dan behavioral research. Pernyataan ini memiliki proposisi konflik kepentingan dari dalam maupun dari luar perusahaan sehingga membentuk perilaku organisasi yang melibatkan unsur-unsur individu, kelompok, budaya, kepuasan kerja, sesuai dengan kepentingan (utility) masing-masing. Dengan menggunakan pendekatan riset tersebut dapat dijelaskan bentuk hubungan, pengaruh, interaksi antar variabel terhadap upaya pencapaian tujuan organisasi. Kemampuan model paradigma penelitian tersebut dalam konteks teori akuntansi di anggap dapat menjelaskan (explain) fenomena tersebut dalam praktik yang kongkrit.
Kegunaan teori akuntansi mampu memprediksikan (prediction)Â fenomena penelitian metode tersebut. Pada pengertian ini dimaksudkan untuk memperkirakan praktik manajemen-akuntansi pada masa yang akan datang. Nilai angka laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah hasil kebijakan pemilihan metode akuntansi dikaitkan dengan orientasi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam tata kelola perusahaan seperti kepentingan manajemen, investor, kreditor, pemerintah, dan tanggung jawab sosial. Konflik ini akan mencapai titik temu pada situasi balancing theory, di mana semua pihak harus rela mengorbankan kepentingannya demi kesinambungan perusahaan (going concern). Keseimbangan seluruh kepentingan ini di namakan tata kelola yang baik, yaitu baik kepada semua stakeholders, sesuai dengan asas keadilan. Jika perusahaan menginginkan tata kelola yang baik, perusahaan diharapkan memiliki pimpinan yang kuat, keperdulian tanggung jawab sosial, dan melalui etos kerja profesional.
Application theory penelitian ini adalah corporate social responsibility) oleh  Greenberg, Baron (2008:73), Carroll, Buchholtz (2003:36, 454), Luthans et al (1990:496), I Putu Ary Suta (2005:39), Steiner, Steiner (1998:173,175), Amin Widjaja Tunggal (2008:56-57), Sony Keraf (1998:114).
Penelitian ini diharapkan menguatkan keberadaan teori akuntansi mempunyai fungsi menjelaskan fenomena interaksi pencapaian tujuan perusahaan dengan variabel-variabel independen agar dapat diketahui signifikan, bentuk pengaruh secara matematis apakah mempunyai tanda positif atau tanda negatif. Model penelitian akan mampu menjawab apa yang dilakukan jika ingin perusahaan lebih baik, atau harus memperbaiki elemen yang mana, memberikan skala prioritas penting dan segera misalkan dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Wearness, Oportunities, Treatment) agar tujuan bersama dapat tercapai. Pimpinan perusahaan (CEO) yang baik harus memiliki visi dan misi yang diharapkan dapat menjawab 15 tahun kedepan posisi perusahaan dan target yang inginkan. Kondisi-kondisi demikian yang diharapkan terlaksana pada semua jenis usaha. Pemikiran tentang pentingnya tata kelola perusahaan dirasakan mendesak pada saat terjadi krisis moneter di kawasan Asia pada tahun 1997. Penyebab utama krisis di kawasan tersebut akibat lemahnya tanggung jawab perusahaan, melemahkan nilai tukar, dan terjadinya usaha yang diselubungi dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sedangkan kecerdasan emosional atau emotional intelligence oleh Goleman (2002:76) dan Robbins, Judge (2007:230-231) Kepuasan Kerja oleh Osborn (2005:11,143) Robbins, Judge (2007:79), merupakan variabel independen atau penjelas keberhasilan dalam pencapaian corporate social responsibility.
Berdasarkan pokok-pokok teori tersebut dapat disimpulkan kerangka berpikir dan jalinan logika dalam menyusun model penelitian, sehingga hasil penelitian ini akan pembuktian proses tangga-tangga ilmiah dalam peneliatian dalam bidang akuntansi. Gambar kerangka pemikiran dapat disusun pada halaman berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H