Â
Scott (2003:39), mengemukakan ada dua tipe hubungan principal-agent yang muncul dalam sistem pengendalian manajemen yaitu : (1) pemegang saham atau pemilik perusahaan bertindak sebagai principal menyewa manajer untuk menjalankan perusahaannya, (2) pimpinan perusahaan sekaligus menyewa principal menyewa agent devisi untuk menjalankan devisi secara desentralisasi. Karena itu baik principal maupun agent diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional yang berusaha memaksimumkan utilitasnya. Lebih lanjut dijelaskan pemilik menginginkan keuntungan investasi yang besar, sementara agent mempunyai keinginan untuk meningkatkan kekayaan dan  kesenangannya.
      Hubungan agent muncul bilamana suatu kumpulan pemilik (sebagai principal) menyewa orang atau sekumpulan orang (sebagai agent) untuk melaksanakan beberapa pekerjaan. Dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pemilik (principal) perlu mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agent.
      Kepemimpinan perusahaan memiliki dua jenis. Kedua jenis tersebut adalah manajer berasal dari luar perusahaan (outside manager) dan manajer yang berasal dari pemilik perusahaan (owners manager). Penelitian yang mengkaji hubungan antara manajer dan pemilik disebut agency theory. Asumsi agency theory menurut Bamber, et al. (1998:70), mengakibatkan munculnya konflik kepentingan antara manajer dan pemilik; manajer memaksimumkan utilitinya sendiri, sementara  pemilik berkeinginan memaksimumkan keuntungannya. Konflik tersebut muncul bila  manajer berusaha memaksimumkan kesejahteraannya sendiri dan tidak memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham. Tindakan tersebut dilakukan  melalui financial numbers game dengan cara real (melalui transaksi) atau melalui artificial (pemilihan metode akuntansi).
      Menurut Watts dan Zimmerman (1986;181) kontrak antara owners manager dan shareholders disebut agency relationship. Lebih lanjut dikatakan : "a contract  under which one or more (principals) engage another person (the agent) to perform some service on their  behalf which involves delegating  some decision making authority to the agent".
Kemudian Jensen dan Meckling (1976:308), menyatakan hubungan agent dan principal  akan menimbulkan biaya bagi principal (shareholders). Lebih lanjut Jensen dan Meckling menyatakan sebagai berikut : "agency relationships involve costs to the principals. The costs of agency relationship have been defined as the sum of  (1) monitoring expenditures by the principal, (2) bonding expenditures by the agent, and (3) the residual loss".
      Sebagai orang pertama yang membahas teori agensi, Jensen dan Meckling, menyatakan hubungan agensi akan menimbulkan biaya bagi pemilik. Biaya tersebut adalah biaya pengawasan, biaya bonding, dan kerugian residual. Lebih lanjut dijelaskan biaya pengawasan adalah pengeluaran oleh pemilik untuk mengawasi tingkah laku manajer, biaya bonding merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh manajer untuk menjaga agar dapat memaksimumkan kepentingan pemilik. Biasanya tindakan yang di ambil manajer akan berbeda jika pemilik sendiri yang melakukan tindakan tersebut, efek ini disebut kerugian residual (residual loss).
      Biaya agensi memiliki hubungan dengan biaya kepailitan dalam struktur modal (leverage). Manajemen merupakan agent pemegang saham di dalam perusahaan. Pemegang saham berharap agent dapat bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan  wewenang pada agent. Agar dapat melakukan fungsinya dengan baik manajemen  harus diberikan insentif  dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui pengikatan agent, pemeriksaan laporan keuangan dan pembatasan terhadap keputusan yang diambil manajemen bahkan harus melalui perjanjian. Kegiatan pengawasan tersebut memerlukan biaya yang merupakan tanggungan pemegang saham.
Dengan menghubungkan teori utilitarian ini bermula pada konflik kepentingan antara agent (pengelola/manajemen) dengan pemilik (principal/pemegang saham). Rasionalitasnya menyatakan manajemen ingin memperoleh kesejahteraan dari perusahaan melalui gaji, upah, bonus atau dikenal dengan bonus plans hypothesis, sedangkan pada sisi pemilik menginginkan tingkat pengembalian modal dan dividen yang tinggi. Konflik ini mengakibatkan masing-masing pihak ingin memaksimalkan utility-nya. Pada sisi kreditur juga berlaku hal yang sama, kepentingan ingin mendapatkan bunga tinggi, sementara manajemen ingin bunga rendah dan angsuran yang kecil. Kondisi ini dalam teori akuntansi disebut debt to equity hypothesis. Sisi stakeholder lain dalam hal ini pemerintah menginginkan adanya penerapan peraturan atau regulasi lainnya seperti penerapan undang-undang ketenagakerjaan, upah minimum regional, dan tarif pajak yang harus dibayarkan ke kas negara. Pada sisi ini disebut sebagai political cost hypothesis. Demikianlah terdapat 3 hypothesis positive accounting theory yang merupakan penelitian dalam bidang teori keagenan, dan akuntansi perilaku. Menurut Watts dan Zimmarman (1986:2) pengujian teori akuntansi berguna pada dua hal: (1) menjelaskan (explain) dan (2) memprediksi (prediction). Menjelaskan (explain) adalah menerangkan sebab dan akibat, pengaruh atau hubungan antar variabel-variabel dalam bidang penelitian akuntansi dalam bidang agency theory dan behavioral research. Pernyataan ini memiliki proposisi konflik kepentingan dari dalam maupun dari luar perusahaan sehingga membentuk perilaku organisasi yang melibatkan unsur-unsur individu, kelompok, budaya, kepuasan kerja, sesuai dengan kepentingan (utility) masing-masing. Dengan menggunakan pendekatan riset tersebut dapat dijelaskan bentuk hubungan, pengaruh, interaksi antar variabel terhadap upaya pencapaian tujuan organisasi. Kemampuan model paradigma penelitian tersebut dalam konteks teori akuntansi di anggap dapat menjelaskan (explain) fenomena tersebut dalam praktik yang kongkrit.
Kegunaan teori akuntansi mampu memprediksikan (prediction)Â fenomena penelitian metode tersebut. Pada pengertian ini dimaksudkan untuk memperkirakan praktik manajemen-akuntansi pada masa yang akan datang. Nilai angka laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah hasil kebijakan pemilihan metode akuntansi dikaitkan dengan orientasi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam tata kelola perusahaan seperti kepentingan manajemen, investor, kreditor, pemerintah, dan tanggung jawab sosial. Konflik ini akan mencapai titik temu pada situasi balancing theory, di mana semua pihak harus rela mengorbankan kepentingannya demi kesinambungan perusahaan (going concern). Keseimbangan seluruh kepentingan ini di namakan tata kelola yang baik, yaitu baik kepada semua stakeholders, sesuai dengan asas keadilan. Jika perusahaan menginginkan tata kelola yang baik, perusahaan diharapkan memiliki pimpinan yang kuat, keperdulian tanggung jawab sosial, dan melalui etos kerja profesional.
Application theory penelitian ini adalah corporate social responsibility) oleh  Greenberg, Baron (2008:73), Carroll, Buchholtz (2003:36, 454), Luthans et al (1990:496), I Putu Ary Suta (2005:39), Steiner, Steiner (1998:173,175), Amin Widjaja Tunggal (2008:56-57), Sony Keraf (1998:114).