Mohon tunggu...
Baladewa Arjuna
Baladewa Arjuna Mohon Tunggu... -

Think....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

‘Atheists for Jesus’ (1)

30 Desember 2015   15:32 Diperbarui: 31 Desember 2015   09:35 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

By: Arjuna Baladewa.

Catatan: Tulisan ini mencoba membandingkan argumentasi Richard Dawkins dan argumentasi Yesus Kristus. Mungkin membosankan karena sangat panjang – walau saya berusaha memberikan kejutan-kejutan theologis disana-sini – tapi mungkin juga dapat memberikan sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Dan karena panjangnya tulisan ini, maka saya membaginya dalam 4 bagian (yang tetap saja panjang). Ini adalah bagian yang pertama. Untuk bisa mendapatkan pengertian menyeluruh, saya menyarankan untuk membaca ke-empatnya secara berurutan. Terimakasih.
----------------------------

 

“Let us try to teach generosity and altruism, because we are born selfish. Let us understand what our own selfish genes are up to, because we may then at least have the chance to upset their designs, something that no other species has ever aspired to do.”
Richard Dawkins, The Selfish Gene.

 

Siapa Bilang Atheist Tidak Berdakwah?

Tak dapat disangkal bahwa Richard Dawkins adalah seorang yang mengerti betul pentingnya pemasaran melalui promosi yang agresif. Mungkin dialah dari sekian banyak atheist yang giat memasarkan paham atheismenya seperti halnya suatu perusahaan memasarkan produk-produknya. Pada tahun 2009 misalnya, Dawkins ikut dalam kampanye pemasaran Britisih Humanist bus advertising campaign yang digagas oleh komedian Ariane Sherine. Thema kampanyenya: "There’s probably no God dengan tagline Now stop worrying and enjoy your life.” Ini adalah kampanye pemasaran yang disebut oleh Sherine sebagai: "…the best atheist bus campaign ever.”

John Lennox professor matematika dari Universitas Oxford yang juga seorang apologist Kristen menyindir kata-kata yang dipilih dalam kampanye itu:

“Apart from the advertisement for a well-known beer, there are probably very few advertisements containing the word ‘probably’. After all, can one imagine being caught by advertisements like: ‘This medicine has probably no serious side effects…; this Bank will probably not collapse…; this plane will probably get you to your destination’?” (Lennox – ‘Gunning for God’)

Tetapi mungkin sebetulnya Dawkins tahu bahwa mengatakan “There’s probably no God” adalah sama saja dengan menyatakan “There’s probably a God” sehingga thema kampanyenya juga bisa dibaca sebagai “There’s probably a God – Now stop worrying and enjoy your life” Dan memang itulah yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang berbeda pendapat dengan kampanye itu. Misalnya the United Church of Canada berusaha memberikan opsi lain kepada masyarakat dengan berkampanye “There’s probably a God - Now stop worrying and enjoy your life.” Kampanye dibalas dengan kampanye.

Lennox melanjutkan sindiran-nya:

“Now, I imagine that the word ‘probably’ may well have been included for legal reasons, to avoid prosecution under trade-description legislation. The atheists realize, of course, that they could not amass enough evidence to convince a court that the probability of God’s existence was zero; and if it is not zero, then God’s existence is possible.” (Lennox – ‘Gunning for God’)

Di Jerman lain lagi. Disana mereka menyewa satu buah bus dan betul-betul membuang kata “probably” sehingga kalimatnya menjadi There is no God – A fulfilled life needs no faith.” Sebuah pernyataan seolah-olah mereka telah menjelajahi segala semesta dan berkesimpulan dengan begitu pasti. – walau juga tanpa bukti. Namun bus itu terus dibayang-bayangi oleh sebuah bus lain, yang kali ini disewa oleh orang Kristen dan selalu diparkir di sebelahnya.

Bus itu bertuliskan satu pertanyaan singkat: But what if He does exist? Untuk pertanyaan ini, panitia kampanye atheist tidak memberikan jawabannya. Mungkin karena mereka sudah pasti dan yakin Dia tidak ada. Tetapi kembali, kampanye kreatif dibalas dengan kampanye kreatif. Budaya Judeo-Christian saya pikir memberikan ruang yang cukup untuk berbeda pendapat dan menyuarakan pendapatnya itu dengan bebas.

Dawkins yang terlihat sinis dengan kekristenan, sekali-kali mesti mencoba melakukan kampanyenya di jalan-jalan di Iran atau di Arab Saudi, misalnya. Atau bahkan di Negara dengan atheistic regime, seperti Korea Utara, dan dengan thema yang mirip, yaitu mengajak untuk tidak mempercayai ‘Lord’ mereka Mr. Kim, supaya dia dapat melihat perbedaannya – yaitu sesuatu yang tidak pernah disyukurinya.


.
Kampenye Simpatik Dawkins: Yesus Sebagai ‘Role Model’

Tiga tahun sebelumnya, Dawkins juga pernah mempromosikan pemikirannya, dan dengan cara yang kreatif pula, namun sayangnya skalanya jauh lebih kecil sehingga kurang diketahui orang banyak – walau sebetulnya lebih ‘simpatik’ dan menarik.

Lebih simpatik dan menarik? Ya, betul, karena dia menggunakan Yesus sebagai ‘role model’ dan ‘icon’ dari kampanyenya. Di dalam kampanye itu, Dawkins membalikkan thema yang seringkali digunakan oleh orang-orang Kristen: ‘Jesus for atheists’ menjadi ‘Atheists for Jesus’ – yaitu sebagai kata yang dia cetak di atas T-shirt dalam upayanya untuk menyebarkan karakter moral “human super niceness” kepada sebanyak mungkin orang. Bukankah ini sangat kreatif dan mulia?

Mengapa dia perlu menyebarkan karakter moral human super niceness seperti yang dimiliki oleh Yesus? Karena di dalam dunia yang hanya dilihat dari balik kacamata teori evolusi Darwin yang dipelajarinya, Dawkins tidak bisa menemukan apa yang disebut sebagai super niceness itu, melainkan yang ada hanyalah suatu dunia penuh dengan kekerasan, kekejaman, ketidak-pedulian dan keserakahan:

“My second ingredient is another paradox, which begins in my own field of Darwinism. Natural selection is a deeply nasty process. Darwin himself remarked:
What a book a devil's chaplain might write on the clumsy, wasteful, blundering low and horridly cruel works of nature.

It was not just the facts of nature, among which he singled out the larvae of Ichneumon wasps and their habit of feeding within the bodies of live caterpillars.
The theory of natural selection itself seems calculated TO FOSTER SELFISHNESS at the expense of public good, violence, callous indifference to suffering, short term greed at the expense of long term foresight.” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).

Dan Dawkins melihat paradox disini:

My paradox comes from the un-Darwinian fact, which any of us can observe in our own circle of acquaintances, that so many individual people are kind, generous, helpful, compassionate, nice: the sort of people of whom we say, "She's a REAL SAINT." Or, "He's a true GOOD SAMARITAN." (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).

Betul, bahwa dalam teori evolusi ada sejumlah upaya untuk menjelasan mengapa seseorang mampu berbuat baik terhadap orang lain di dalam kelompoknya sendiri, tetapi apa yang dia dapati dalam kasus orang-orang seperti Yesus adalah jauh dari sekedar baik yang dapat diberikan oleh teori itu. Ini adalah suatu kebaikan yang tak terjelaskan dari sudut pandang teori yang dipelajari Dawkins. Dan anehnya (bagi saya), sifat altruistic seperti itu cuma diberikan oleh proses evolusi hanya kepada satu species: namanya manusia.

“Darwinians can come up with explanations for human niceness: generalisations of the well-established models of kin selection and reciprocal altruism, the stocks-in-trade of the 'selfish gene' theory, which sets out to explain how altruism and cooperation among individual animals can stem from self-interest at the genetic level. BUT the sort of super niceness I am talking about in humans GOES TOO FAR. It is a misfiring, even a PERVERSION of the Darwinian take on niceness.” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).

Perhatikan, Dawkins menyebutkan bahwa super niceness yang seperti itu adalah bentuk penyimpangan tak lazim atau sebuah anomali dari konsep Darwinian ini. Bahkan dia menyebutkan itu sebagai sebuah ketololan yang benar-benar tolol:

“Let's put it even more bluntly. From a rational choice point of view, or from a Darwinian point of view, human super niceness is just PLAIN DUMB. And yes, it is the kind of dumb that should be encouraged - which is the purpose of my article. How can we do it?” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).

Tetapi – tahan dulu senyum anda – sebab dia juga mengatakan ini:

“Well, if that's a perversion, it's the kind of perversion we need to ENCOURAGE and SPREAD.”

Ini mungkin satu-satunya saran paling cemerlang dari seorang cerdas bernama Richard Dawkins yang mengusulkan dengan haqul-yakin bahwa: ada suatu hal yang dianggap benar-benar tolol, tetapi ketololan itu perlu disemangati dan disebar-luaskan? Nah lho…? Sekarang anda boleh tersenyum. Tapi jangan lebar-lebar, sebab walau Dawkins sangat humoris, kita masih punya banyak urusan lain dengan pemikiran dia.

Lalu, mengapa Dawkins memilih Yesus sebagai “role model” bagi tipe manusia yang dia impi-impikan, dan bukannya yang lain? Menurutnya tidak ada alasan khusus dan bisa saja dia menggunakan nama lain seperti Mahatma Gandhi misalnya. Namun dia memilih Yesus karena Yesus – yang disebut oleh Dawkins sebagai ‘a charismatic young preacher who advocated generous forgiveness’ – adalah seorang manusia dengan karakter sangat baik, yang pantas untuk menyandang peran sebagai model manusia ideal dengan karakter moral super niceness yang Dawkins impi-impikan.

Selain hal itu – menurut Dawkins – karena kita juga berhutang pada Yesus, sebab Dia telah berhasil memisahkan pengajaranNya yang original dan radikal tentang etika dari omong-kosong soal supernatural, yang pada saat itu – tidak bisa Dia elakkan – dianut oleh semua orang. Menurut pendapat Dawkins, Yesus adalah seorang theist hanya karena pada masa itu semua orang adalah theist; sehingga atheisme bukanlah sebuah opsi – bahkan bagi seorang pemikir radikal macam Yesus sekalipun.

Bagi Dawkins, yang menarik dan menakjubkan dari seorang Yesus bukanlah bahwa dia adalah seorang Yahudi yang percaya kepada Tuhan-nya orang-orang Yahudi, melainkan justru bentuk perlawananNya atas apa yang Dawkins sebut sebagai perlawanan terhadap many aspects of Yahweh’s vengeful nastiness (YHWH adalah sebutan personal untuk TUHAN bagi orang Yahudi). Dan itu adalah sebuah tindakan yang dapat dilihat oleh orang-orang Yahudi sebagai gerakan pemberontakan, makanya tidak heran kalau kemudian Yesus disalibkan.


.
Farisisme Fanatik (Self-Moralizing Religion) – Kesombongan Agamawi Yang Menyebalkan

Menurut Dawkins, Yesus melawan ‘many aspects of Yahweh’s vengeful nastiness.’ Tetapi maaf, apakah anda yakin Mr. Dawkins? Sebab kalau begitu mengapa di bagian lain dari Injil Matius yang dikutip oleh Dawkins sendiri, Yesus menyebut YHWH (Elohim) sebagai BapaNya? Dan justru sesiapa yang melakukan kehendak BapaNya itulah yang dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga?

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 7.21)

Jadi sebetulnya siapa yang Yesus lawan? YHWH? Pasti bukan, sebab seluruh argumentasi Yesus akan runtuh bila Dia melakukan itu. Tetapi pendapat Dawkins ada benarnya, dan mungkin pula membuat kaum agamis terkejut, bahwa Yesus memang betul-betul melawan pemikiran dan praktek keagamaan yang salah-kaprah tak bermakna (self righteous religion), yang dilakukan pada saat itu (bahkan masih ada sekarangpun).

YESUS melakukan PERLAWANAN terhadap AGAMA seperti itu hampir sepanjang syiar-Nya. Misalnya, dalam Matius pasal 5, 6 dan 7, Yesus bukannya mengkritik orang-orang yang tidak beragama – tetapi justru orang-orang yang sangat taat dalam beragama (tentu saja ini adalah suatu hal yang menyenangkan bagi Dawkins).

Bedanya, tidak seperti Dawkins yang menggebyah-uyah semua agama sebagai sama dan menyedihkan, sehingga Dawkins gagal mendiskriminasi konsep dan DNA pengajarannya, maka Yesus menempatkannya kembali pada tempat yang seharusnya sambil mengkritik dengan sangat berani soal ‘self-righteous religion’ yang seperti itu.

Mari kita lihat. Dalam perumpamaan tentang ‘orang Samaria yang baik hati,’ Yesus dengan jelas menempatkan seorang imam dan orang Lewi yang notabene adalah orang-orang yang sangat taat dalam kehidupan beragamanya bukan sebagai acuan kebaikan moral dan dengan demikian tidak patut diteladani.

Di bagian lain, dalam Matius 23, Yesus mengkritisi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi akan sikap keagamaan mereka yang sangat legalistik dan munafik sehingga menyebabkan kesombongan rohani yang sangat berbahaya. Tubuh mereka beragama, tetapi hati mereka tidak; mereka terlihat bersih di luar tetapi di dalam busuk.

Dalam Lukas 18.9-14, Yesus kembali mengkontraskan orang Farisi si ahli agama itu dengan seorang pemungut cukai yang pekerjaannya dianggap hina. Allah membenarkan si pemungut cukai dan menolak orang Farisi yang menyombongkan segala kesalehan ritual agamanya, seolah-olah Allah – dengan demikian – seperti memiliki hutang kebaikan, yang sewaktu-waktu dapat dia tagihkan, sehingga Allah – mau tidak mau – harus ‘membayar’ ritual keagamaannya itu dengan pahala dan berkat.

Sedangkan si pemungut cukai yang hina ini tahu betul bahwa tidak ada satupun yang baik di dalam dirinya yang bisa membuat Tuhan menerimanya. Oleh karena itu, di dalam pertobatannya, dia memohon belas-kasihan dan ampunan dengan sungguh-sungguh, sebab tidak ada satupun yang bisa dia banggakan di hadapan Tuhan yang Mahakudus dan Mahabenar itu selain pengakuan dirinya sebagai seorang berdosa dan menyesalinya serta membutuhkan pertolongan.

Tetapi si Farisi ini, ia telah berhasil membuat Allah berhutang kepadanya dan Allah harus siap-siap membayar hutangNya kapanpun si Farisi ini menagihNya. Jadi, siapa sebetulnya ‘pemungut cukai’ disini? Orang Farisi itulah si pemungut cukai yang sebenarnya, dan yang luar biasanya adalah: si Farisi itu memungut cukainya kepada Allah.

Dalam Markus 11.12-14 (lihat juga Lukas 13.6-9) Yesus memberikan contoh dari sebuah pohon Ara. Di daerah Palestina pohon Ara memiliki 2 jenis buah. Yang pertama adalah buah-buah kecil yang disebut ‘boccore’ yang timbul seperti bintil yang banyak di sepanjang cabang. Buah ini telah ada menjelang daun-daun tumbuh. Buah yang berikutnya adalah buah Ara yang sesungguhnya, yang seharusnya ada bila daun-daun pohon itu sudah mulai rimbun. Kedua jenis buah ini enak untuk dimakan. Tetapi Yesus tidak mendapati salah satunya ada pada pohon itu.

Bila anda mendapati sebuah pohon Ara yang mulai rimbun tetapi tidak menemukan salah satu buahpun di pohon itu, maka dapat dipastikan ada sesuatu yang salah dengan pohon itu. Dari kejauhan pohon terlihat bagus karena daun-daunnya mulai tumbuh dan terlihat hijau, tetapi bila tidak ada buah maka pohon itu mungkin sakit atau bahkan sekarat di dalamnya. Itu tampak seperti memberikan pengharapan, tapi …palsu (false advertising). Yesus menyamakan keadaan ini dengan ritual keagamaan mekanis dan legalistic yang kosong tanpa hati. Suatu hal yang dikutukNya akan menjadi kering dan layu atau akan ditebangNya.

Perhatikan keagamaan seperti itu. Anda akan mendapati begitu banyak kerimbunan daun hijau di luar-nya: begitu banyak aturan yang harus ditaati, kerumitan (penting-tidak penting menjadi sumir), keriuhan, kebisingan, ritual mekanis tanpa hati, transaksi dan bisnis. Rimbun. Saling sikut, saling injak, berlomba untuk menggapai pintu gerbang sorga – tapi tanpa peduli pada sang Empu-nya Sorga. Upaya yang keras, tetapi tanpa perubahan apapun di dalam-nya: tanpa perubahan hati, tanpa perubahan karakter, tanpa kasih, tanpa peduli bagaimana hubungannya dengan si Pemilik Rumah – dan dengan demikian tanpa … buah. Terlihat bagus di luar tetapi di dalam busuk.

Peraturan dan ritual ini hanya untuk Tuhan, masabodoh dengan sesama manusia. Kalaupun saya beramal atau berbuat baik, itu tetap untuk Tuhan – supaya Dia mengembalikannya dalam bentuk rezeki yang semakin melimpah pada diri saya lagi. Self-centerednessberpusat pada diri-sendiri, yang lain harus berputar untuk mengelilinginya - melayaninya. Serakah. Terlihat bagus dengan dedauanan rimbun ritual agama, tetapi sekarat di dalamnya, karena itu tidak mampu berbuah untuk menjadi berkah bagi orang lain, apalagi bagi segenap alam. Pohon keagamaan yang hijau tapi tanpa buah itu pada akhirnya akan layu, kering dan mati. Ditebang. Karena kerimbunan itu hanyalah pemberi harapan palsu.

Orang-orang beragama penganut self-righteous religion ini percaya bahwa penerimaan Tuhan akan diri mereka adalah berdasarkan segala usaha ritual keagamaan mereka sendiri, itu adalah ‘promissory note’ dari Tuhan yang bisa mereka sombongkan. Makanya banyak diantara mereka menunjukkan kesombongannya itu dengan berdoa di perempatan-perempatan jalan ataupun menonjolkan ciri-ciri atribut keagamaan mereka sebagai lambang betapa sholehnya mereka itu, atau menjadi polisi moral yang tidak segan menghajar siapapun yang dipandangnya sedang merusak akidah diri dan kelompoknya.

Tim Keller mengatakan bahwa orang-orang Farisi seperti itu menggunakan segala macam ritual keagamaan dan moral performance mereka untuk mendapatkan kekuasaan atas orang lain (dan tuduhan post modernism mendapatkan alasan pembenarannya). Bahkan juga atas Allah. Mereka sangat percaya bahwa mereka berhasil menyenangkan Allah dengan ketaatan mekanis-legalisitik (walau tanpa hati) seperti itu, yaitu menjalankan segala macam ritual yang bisa untuk dijalankan. Sampai-sampai merasa berhak untuk mendapat perlakuan khusus dari Allah dengan memiliki kuasa atas kelompok lain yang tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan mereka atau tidak memiliki kualitas keagamaan yang sama dengan mereka.

Tetapi Yesus membalik semuanya itu. Oleh karena itu Dia menjungkir-balikkan kursi dan meja yang dipakai orang-orang untuk berdagang di Bait Allah (lihat Markus 11.15-19). Dia sedang membersihkan Bait Allah dari aktivitas yang tidak memberi buah. Dia sedang membersihkan hubungan dengan Allah dari ritual ajaran dan kumpulan orang yang berpusat pada diri sendiri. Sebab segala macam ritual dan perbuatan baik manusia adalah sia-sia dan tidak bisa dibanggakan di hadapan Allah, bila upaya itu hanya dianggap sebagai tiket manusia untuk mendapatkan sorga (Bdk. Mat 12.7; Mat 9.13; Yes 58.6-8; Hos 6.6; Yer 6.19-20).

Sebab ritual agama yang mekanis dan legalistic ataupun amal perbuatan baik itu telah menjadi scorecard di hati para penganut farisisme. Dan karena itu adalah scorecard, maka perbuatan baik dan penyembahan kepada Allah hanyalah upaya mekanis yang dingin tanpa hati untuk mendapatkan score pahala lebih banyak bagi diri mereka sendiri, sambil menunjukkan betapa hebatnya upaya moral mereka itu. MENYEBALKAN sekaligus BERBAHAYA.

Mereka percaya bisa menjadi selamat karena diri mereka sendiri. Bukan karena anugerah (rakhmat) dari Tuhan. Itu menciptakan KESOMBONGAN. Mendongakkan dagu mereka pada orang lain yang dianggapnya tidak se-akidah dan sekualitas dirinya. Seolah-olah mereka telah menjadi makhluk paling suci dan bersih sehingga layak untuk menghakimi dan berdiri di hadapanNya yang Kudus. Menyebalkan. Mereka tidak lagi memerlukan anugerah dan pertolongan dari Tuhan. Sebab mereka sudah bisa menjadi penolong bagi diri mereka sendiri. Bila mereka tidak memerlukan anugerah (rakhmat) dan pertolongan dari Tuhan, maka mereka sebetulnya tidak memerlukan Tuhan sama sekali. Dan, dengan demikian, penebusanYesus harus dianggap tidak ada artinya apa-apa. Jebakan Batman.

Sampai disini, apa yang disampaikan oleh Dawkins – ketika melihat agama yang seperti itu – adalah sama dengan perlawanan yang dilakukan oleh Yesus. Dan itu susah untuk disangkal. Bahkan di dalam kekristenan-pun masih ada yang mencoba ‘meng-agama-kan’ apa yang diajarkan Yesus itu menjadi sebentuk perbuatan baik belaka atas upayanya sendiri untuk mencapai sorga. Menyebalkan.


.
Dawkins: ‘Yesus Guru Moral yang Agung’

Dalam sebuah wawancara dengan ‘The Guardian’, Dawkins mengatakan hal ini:

“Well, the point was that Jesus was a great moral teacher and I was suggesting that somebody as intelligent as Jesus would have been an atheist if he had known what we know today.” (Dawkins – The Guardian)

Sebetulnya bukan hanya Dawkins, tetapi banyak orang yang terpesona oleh karakter dan ajaran Yesus namun kesulitan untuk mengakuiNya sebagai Yang Ilahi (Saya termasuk dalam list ini pada awalnya – sebab claim itu adalah claim yang luar biasa, bukan? – sampai kemudian saya menemukan konsekuensi logis claim ke-Ilahi-an Nya). Oleh karena itulah mereka menyebutkan Yesus seperti ini: ‘Yesus adalah seorang yang bijaksana’ ataupun ‘Yesus adalah guru moral yang baik’ atau bahkan ada yang mengatakan ‘Yesus adalah seorang nabi yang mulia.’

Kata-kata seperti itu bisa juga diartikan bahwa secara moral: Yesus memang tidak bercacat. Dia pantas menjadi model dan teladan dari seluruh manusia di segala zaman dan tempat (walaupun kedatanganNya bukanlah sekedar menjadi teladan). Jadi, sampai di titik ini apa yang diungkapkan oleh Dawkins tidak menjadi masalah.

Yang menjadi masalah adalah pendapatnya (ataupun pendapat orang-orang yang lain itu) yang berhenti sampai disitu saja, yaitu HANYA menganggap Yesus sebagai seorang bijaksana, guru moral yang baik ataupun nabi yang mulia, dan pada saat yang sama membuang kata-kata Yesus yang lain.

Sebab, jangan lupa, Yesus juga mengucapkan kata-kata yang mencengangkan kita semua: yaitu mengucapkan serta melakukan perbuatan seolah-olah DIA ADALAH ALLAH ataupun SETARA DENGAN ALLAH. Coba saja kita simak perkataanNya yang diringkaskan oleh John Stott berikut ini:

• Mengenal Dia sama dengan mengenal Allah.
• Melihat Dia sama dengan melihat Allah.
• Percaya kepadaNya sama dengan percaya kepada Allah.
• Menerima Dia sama dengan menerima Allah.
• Membenci Dia sama dengan membenci Allah.
• Menghormati Dia sama dengan menghormati Allah.
(Yohanes 8.19; 14.7; 12.45; 14.9; 12.44; 14.1; Markus 9.37; Yohanes 15.23; 5.23).

Ataupun perbuatan-perbuatanNya yang menegaskan seolah-olah Dia adalah Yang Ilahi itu sendiri, seperti mengampuni dosa yang hanya bisa dilakukan oleh Allah – seolah-olah semua manusia yang berdosa, adalah berdosa kepadaNya, seolah-olah Dia-lah yang paling terluka atas dosa itu; atau Dia mengatakan telah mengutus nabi-nabi; atau Yesus seolah-olah memiliki otoritas sebagai sang Absolut itu sendiri ketika Ia berkata: ‘AKU-lah….’ Dan bukannya: ‘ALLAH-lah…’

Misalnya, Yesus tidak berkata ‘Allah-lah jalan yang lurus’ melainkan ‘Aku-lah jalan itu, ikutlah Aku;’ Dia tidak cuma berkata ‘Allah-lah hidup itu’ tetapi ‘Akulah hidup itu, datanglah padaKu;’ Yesus bukan berkata ‘Allah-lah kebenaran’ tetapi ‘Akulah kebenaran itu.’ Atau ‘Aku-lah Yang Awal dan Yang Akhir’ atau ‘Akulah Terang.’ Dan masih banyak lagi. Sebutan-sebutan yang hanya layak sebagai NAMA-NAMA Allah dan hanya Allah semata yang berhak menyandangnya.

Bukankah claim-claim di atas adalah claim super-gila? Hal itu semua masih bisa dimaklumi apabila Yesus adalah seorang India dan bukan orang Yahudi. Sebab di dalam agama-agama timur (pantheism), claim bahwa seseorang adalah bagian dari yang Ilahi ataupun menyatu dengan yang Ilahi dapatlah dimengerti. Tetapi si gondrong ini adalah seorang Yahudi, Dia tidak mungkin sedang berbicara tentang Allah yang seperti itu. Allah, dalam bahasa mereka adalah Pribadi Esa di luar dunia, transenden, kudus, yang menciptakan seluruh alam-semesta dan secara tidak terbatas berbeda dari ciptaan apapun juga. Bila anda memahami latar belakang ini, maka anda baru bisa merasakan kedahsyatan (atau ke-kurang ajar-an) claim-claim gila dari Yesus ini. Makanya Dia disalibkan.

JADI? … Ya, jadi mana bisa seorang manusia biasa yang meng-claim dirinya sebagai Yang Ilahi ataupun setara dengan Yang Ilahi seperti itu, bisa-bisanya disebut sebagai ‘guru moral yang baik’ atau terlebih lagi ‘nabi yang mulia’? C.S. Lewis melihat keanehan ini dan berkata:

“Di sini saya sedang berusaha untuk mencegah siapapun mengatakan hal yang benar-benar bodoh yang seringkali dikatakan orang tentang diri-Nya: ‘Saya siap menerima Yesus sebagai seorang guru moral yang agung, tetapi saya tidak menerima klaim-Nya bahwa Dia adalah Allah.’ Itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak kita katakan.

Jika ada seorang manusia biasa yang mengatakan hal-hal seperti yang Yesus katakan, orang itu tidak akan bisa menjadi seorang guru moral yang agung. Ia entah akan menjadi seorang yang sinting – yang setara dengan seorang yang mengatakan bahwa dirinya adalah telur yang dikukus – atau sebaliknya, ia akan menjadi sang iblis dari Neraka. Anda harus menentukan pilihan anda. Entah orang ini dulu dan sekarang adalah Putra Allah; atau orang gila atau lebih buruk lagi.

Anda bisa membungkamNya sebagai seorang yang bodoh, anda bisa meludahiNya dan membunuhNya sebagai roh jahat; atau anda bisa tersungkur di kakiNya dan menyebutNya Tuhan dan Allah. Tetapi hendaklah kita tidak menciptakan omong kosong apapun yang merendahkan tentang keberadaanNya, bahwa Ia adalah seorang guru manusia yang agung. Ia tidak memberikan kemungkinan itu kepada kita. IA TIDAK BERMAKSUD DEMIKIAN.” (C.S. Lewis – ‘Mere Christianity’)

Oleh karenanya, Yesus hanya memberi anda 2 PILIHAN atas DiriNya: yaitu pilihan ‘penting’ atau ‘sampah’. Pilihan ‘panas’ atau ‘dingin’. Pilihan YES or NO. Semua pilihan anda yang suam-suam kuku karena mencari aman (seperti guru moral atau nabi) walau terdengar mulia, akan dimuntahkanNya, karena tidak mungkin diterima tanpa adanya kontradiksi di dalamnya.

Bila Dia adalah bukan seperti apa yang dikatakanNya, maka Dia itu pastilah seorang gila, penipu, pembohong, megalomania, karena menyebarkan ajaran penuh kebohongan dan kegilaan dengan menyatakan DiriNya sampai setinggi itu. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dinyatakan bahkan oleh seorang Yahudi yang paling sombong sekalipun. Dan karena itu, bila Dia berbohong seperti itu atau Dia bukan seperti apa yang dikatakannya, maka Dia tidak layak untuk disebut sebagai orang bijaksana, guru moral yang baik, apalagi nabi yang mulia.

ATAU sebaliknya, apabila anda membaca dari seluruh sumber sejarah dan kitab suci yang ada tentang Yesus dan tidak mendapati DiriNya dari sudut kajian apapun sebagai seorang yang gila, pembohong ataupun penipu, maka kesimpulannya tinggal satu: bahwa Dia memang seperti apa yang dikatakanNya. Dan bila Dia benar seperti apa yang dikatakanNya, maka itu berarti anda dapat tersungkur di kakiNya dan mempercayaiNya dengan sepenuh hati.

Artinya, bila Yesus bukan sekedar manusia, maka segala apa yang dikatakan dan diajarkanNya itu memang layak untuk dipercayai, ditaati dan dijalani, karena yang berkata-kata itu adalah Yang Ilahi itu sendiri dan memiliki otoritas absolut untuk mengatakannya. Bahkan Dia mengatakan pula bahwa Dia-lah yang akan menjadi Hakim dari apa yang dikatakanNya itu atas seluruh umat manusia – dan bukan ‘Suatu Kuasa’ yang lain selain Dia.

Jadi, hanya ada 2 pilihan rasional atas Yesus. Dan pilihan itu telah dilakukan oleh 2 kelompok berbeda yang telah memikirkannya. Meludahinya atau bahkan membunuhNya – seperti yang dilakukan oleh para imam dan orang-orang Yahudi atas penghujatan yang tiada taranya (syirik) tersebut. ATAU tersungkur di kakiNya – seperti yang saya lakukan dan orang-orang Kristen lainnya. Tidak ada pilihan lain diantaranya. Sebab Dia tidak memberikannya. Dia tidak bermaksud memberikannya.

Apakah Dawkins sudah memikirkan hal ini ketika dia menempatkan Yesus sebagai role model-nya? Seorang guru moral? Padahal Dia mengaku sebagai Yang Ilahi? Bermoralkah Dia, bila Dia sedang menipu dan berbohong? Layakkah Yesus ini untuk menjadi role model-nya Dawkins?

 

(BERSAMBUNG – ke Bagian ke-2 dari 4 tulisan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun