“Darwinians can come up with explanations for human niceness: generalisations of the well-established models of kin selection and reciprocal altruism, the stocks-in-trade of the 'selfish gene' theory, which sets out to explain how altruism and cooperation among individual animals can stem from self-interest at the genetic level. BUT the sort of super niceness I am talking about in humans GOES TOO FAR. It is a misfiring, even a PERVERSION of the Darwinian take on niceness.” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).
Perhatikan, Dawkins menyebutkan bahwa super niceness yang seperti itu adalah bentuk penyimpangan tak lazim atau sebuah anomali dari konsep Darwinian ini. Bahkan dia menyebutkan itu sebagai sebuah ketololan yang benar-benar tolol:
“Let's put it even more bluntly. From a rational choice point of view, or from a Darwinian point of view, human super niceness is just PLAIN DUMB. And yes, it is the kind of dumb that should be encouraged - which is the purpose of my article. How can we do it?” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).
Tetapi – tahan dulu senyum anda – sebab dia juga mengatakan ini:
“Well, if that's a perversion, it's the kind of perversion we need to ENCOURAGE and SPREAD.”
Ini mungkin satu-satunya saran paling cemerlang dari seorang cerdas bernama Richard Dawkins yang mengusulkan dengan haqul-yakin bahwa: ada suatu hal yang dianggap benar-benar tolol, tetapi ketololan itu perlu disemangati dan disebar-luaskan? Nah lho…? Sekarang anda boleh tersenyum. Tapi jangan lebar-lebar, sebab walau Dawkins sangat humoris, kita masih punya banyak urusan lain dengan pemikiran dia.
Lalu, mengapa Dawkins memilih Yesus sebagai “role model” bagi tipe manusia yang dia impi-impikan, dan bukannya yang lain? Menurutnya tidak ada alasan khusus dan bisa saja dia menggunakan nama lain seperti Mahatma Gandhi misalnya. Namun dia memilih Yesus karena Yesus – yang disebut oleh Dawkins sebagai ‘a charismatic young preacher who advocated generous forgiveness’ – adalah seorang manusia dengan karakter sangat baik, yang pantas untuk menyandang peran sebagai model manusia ideal dengan karakter moral super niceness yang Dawkins impi-impikan.
Selain hal itu – menurut Dawkins – karena kita juga berhutang pada Yesus, sebab Dia telah berhasil memisahkan pengajaranNya yang original dan radikal tentang etika dari omong-kosong soal supernatural, yang pada saat itu – tidak bisa Dia elakkan – dianut oleh semua orang. Menurut pendapat Dawkins, Yesus adalah seorang theist hanya karena pada masa itu semua orang adalah theist; sehingga atheisme bukanlah sebuah opsi – bahkan bagi seorang pemikir radikal macam Yesus sekalipun.
Bagi Dawkins, yang menarik dan menakjubkan dari seorang Yesus bukanlah bahwa dia adalah seorang Yahudi yang percaya kepada Tuhan-nya orang-orang Yahudi, melainkan justru bentuk perlawananNya atas apa yang Dawkins sebut sebagai perlawanan terhadap ‘many aspects of Yahweh’s vengeful nastiness’ (YHWH adalah sebutan personal untuk TUHAN bagi orang Yahudi). Dan itu adalah sebuah tindakan yang dapat dilihat oleh orang-orang Yahudi sebagai gerakan pemberontakan, makanya tidak heran kalau kemudian Yesus disalibkan.
.
Farisisme Fanatik (Self-Moralizing Religion) – Kesombongan Agamawi Yang Menyebalkan
Menurut Dawkins, Yesus melawan ‘many aspects of Yahweh’s vengeful nastiness.’ Tetapi maaf, apakah anda yakin Mr. Dawkins? Sebab kalau begitu mengapa di bagian lain dari Injil Matius yang dikutip oleh Dawkins sendiri, Yesus menyebut YHWH (Elohim) sebagai BapaNya? Dan justru sesiapa yang melakukan kehendak BapaNya itulah yang dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga?
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 7.21)