Di Jerman lain lagi. Disana mereka menyewa satu buah bus dan betul-betul membuang kata “probably” sehingga kalimatnya menjadi “There is no God – A fulfilled life needs no faith.” Sebuah pernyataan seolah-olah mereka telah menjelajahi segala semesta dan berkesimpulan dengan begitu pasti. – walau juga tanpa bukti. Namun bus itu terus dibayang-bayangi oleh sebuah bus lain, yang kali ini disewa oleh orang Kristen dan selalu diparkir di sebelahnya.
Bus itu bertuliskan satu pertanyaan singkat: “But what if He does exist?” Untuk pertanyaan ini, panitia kampanye atheist tidak memberikan jawabannya. Mungkin karena mereka sudah pasti dan yakin Dia tidak ada. Tetapi kembali, kampanye kreatif dibalas dengan kampanye kreatif. Budaya Judeo-Christian saya pikir memberikan ruang yang cukup untuk berbeda pendapat dan menyuarakan pendapatnya itu dengan bebas.
Dawkins yang terlihat sinis dengan kekristenan, sekali-kali mesti mencoba melakukan kampanyenya di jalan-jalan di Iran atau di Arab Saudi, misalnya. Atau bahkan di Negara dengan atheistic regime, seperti Korea Utara, dan dengan thema yang mirip, yaitu mengajak untuk tidak mempercayai ‘Lord’ mereka Mr. Kim, supaya dia dapat melihat perbedaannya – yaitu sesuatu yang tidak pernah disyukurinya.
.
Kampenye Simpatik Dawkins: Yesus Sebagai ‘Role Model’
Tiga tahun sebelumnya, Dawkins juga pernah mempromosikan pemikirannya, dan dengan cara yang kreatif pula, namun sayangnya skalanya jauh lebih kecil sehingga kurang diketahui orang banyak – walau sebetulnya lebih ‘simpatik’ dan menarik.
Lebih simpatik dan menarik? Ya, betul, karena dia menggunakan Yesus sebagai ‘role model’ dan ‘icon’ dari kampanyenya. Di dalam kampanye itu, Dawkins membalikkan thema yang seringkali digunakan oleh orang-orang Kristen: ‘Jesus for atheists’ menjadi ‘Atheists for Jesus’ – yaitu sebagai kata yang dia cetak di atas T-shirt dalam upayanya untuk menyebarkan karakter moral “human super niceness” kepada sebanyak mungkin orang. Bukankah ini sangat kreatif dan mulia?
Mengapa dia perlu menyebarkan karakter moral human super niceness seperti yang dimiliki oleh Yesus? Karena di dalam dunia yang hanya dilihat dari balik kacamata teori evolusi Darwin yang dipelajarinya, Dawkins tidak bisa menemukan apa yang disebut sebagai super niceness itu, melainkan yang ada hanyalah suatu dunia penuh dengan kekerasan, kekejaman, ketidak-pedulian dan keserakahan:
“My second ingredient is another paradox, which begins in my own field of Darwinism. Natural selection is a deeply nasty process. Darwin himself remarked:
‘What a book a devil's chaplain might write on the clumsy, wasteful, blundering low and horridly cruel works of nature.’
It was not just the facts of nature, among which he singled out the larvae of Ichneumon wasps and their habit of feeding within the bodies of live caterpillars.
The theory of natural selection itself seems calculated TO FOSTER SELFISHNESS at the expense of public good, violence, callous indifference to suffering, short term greed at the expense of long term foresight.” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).
Dan Dawkins melihat paradox disini:
“My paradox comes from the un-Darwinian fact, which any of us can observe in our own circle of acquaintances, that so many individual people are kind, generous, helpful, compassionate, nice: the sort of people of whom we say, "She's a REAL SAINT." Or, "He's a true GOOD SAMARITAN." (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’).
Betul, bahwa dalam teori evolusi ada sejumlah upaya untuk menjelasan mengapa seseorang mampu berbuat baik terhadap orang lain di dalam kelompoknya sendiri, tetapi apa yang dia dapati dalam kasus orang-orang seperti Yesus adalah jauh dari sekedar baik yang dapat diberikan oleh teori itu. Ini adalah suatu kebaikan yang tak terjelaskan dari sudut pandang teori yang dipelajari Dawkins. Dan anehnya (bagi saya), sifat altruistic seperti itu cuma diberikan oleh proses evolusi hanya kepada satu species: namanya manusia.