Jadi sebetulnya siapa yang Yesus lawan? YHWH? Pasti bukan, sebab seluruh argumentasi Yesus akan runtuh bila Dia melakukan itu. Tetapi pendapat Dawkins ada benarnya, dan mungkin pula membuat kaum agamis terkejut, bahwa Yesus memang betul-betul melawan pemikiran dan praktek keagamaan yang salah-kaprah tak bermakna (self righteous religion), yang dilakukan pada saat itu (bahkan masih ada sekarangpun).
YESUS melakukan PERLAWANAN terhadap AGAMA seperti itu hampir sepanjang syiar-Nya. Misalnya, dalam Matius pasal 5, 6 dan 7, Yesus bukannya mengkritik orang-orang yang tidak beragama – tetapi justru orang-orang yang sangat taat dalam beragama (tentu saja ini adalah suatu hal yang menyenangkan bagi Dawkins).
Bedanya, tidak seperti Dawkins yang menggebyah-uyah semua agama sebagai sama dan menyedihkan, sehingga Dawkins gagal mendiskriminasi konsep dan DNA pengajarannya, maka Yesus menempatkannya kembali pada tempat yang seharusnya sambil mengkritik dengan sangat berani soal ‘self-righteous religion’ yang seperti itu.
Mari kita lihat. Dalam perumpamaan tentang ‘orang Samaria yang baik hati,’ Yesus dengan jelas menempatkan seorang imam dan orang Lewi yang notabene adalah orang-orang yang sangat taat dalam kehidupan beragamanya bukan sebagai acuan kebaikan moral dan dengan demikian tidak patut diteladani.
Di bagian lain, dalam Matius 23, Yesus mengkritisi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi akan sikap keagamaan mereka yang sangat legalistik dan munafik sehingga menyebabkan kesombongan rohani yang sangat berbahaya. Tubuh mereka beragama, tetapi hati mereka tidak; mereka terlihat bersih di luar tetapi di dalam busuk.
Dalam Lukas 18.9-14, Yesus kembali mengkontraskan orang Farisi si ahli agama itu dengan seorang pemungut cukai yang pekerjaannya dianggap hina. Allah membenarkan si pemungut cukai dan menolak orang Farisi yang menyombongkan segala kesalehan ritual agamanya, seolah-olah Allah – dengan demikian – seperti memiliki hutang kebaikan, yang sewaktu-waktu dapat dia tagihkan, sehingga Allah – mau tidak mau – harus ‘membayar’ ritual keagamaannya itu dengan pahala dan berkat.
Sedangkan si pemungut cukai yang hina ini tahu betul bahwa tidak ada satupun yang baik di dalam dirinya yang bisa membuat Tuhan menerimanya. Oleh karena itu, di dalam pertobatannya, dia memohon belas-kasihan dan ampunan dengan sungguh-sungguh, sebab tidak ada satupun yang bisa dia banggakan di hadapan Tuhan yang Mahakudus dan Mahabenar itu selain pengakuan dirinya sebagai seorang berdosa dan menyesalinya serta membutuhkan pertolongan.
Tetapi si Farisi ini, ia telah berhasil membuat Allah berhutang kepadanya dan Allah harus siap-siap membayar hutangNya kapanpun si Farisi ini menagihNya. Jadi, siapa sebetulnya ‘pemungut cukai’ disini? Orang Farisi itulah si pemungut cukai yang sebenarnya, dan yang luar biasanya adalah: si Farisi itu memungut cukainya kepada Allah.
Dalam Markus 11.12-14 (lihat juga Lukas 13.6-9) Yesus memberikan contoh dari sebuah pohon Ara. Di daerah Palestina pohon Ara memiliki 2 jenis buah. Yang pertama adalah buah-buah kecil yang disebut ‘boccore’ yang timbul seperti bintil yang banyak di sepanjang cabang. Buah ini telah ada menjelang daun-daun tumbuh. Buah yang berikutnya adalah buah Ara yang sesungguhnya, yang seharusnya ada bila daun-daun pohon itu sudah mulai rimbun. Kedua jenis buah ini enak untuk dimakan. Tetapi Yesus tidak mendapati salah satunya ada pada pohon itu.
Bila anda mendapati sebuah pohon Ara yang mulai rimbun tetapi tidak menemukan salah satu buahpun di pohon itu, maka dapat dipastikan ada sesuatu yang salah dengan pohon itu. Dari kejauhan pohon terlihat bagus karena daun-daunnya mulai tumbuh dan terlihat hijau, tetapi bila tidak ada buah maka pohon itu mungkin sakit atau bahkan sekarat di dalamnya. Itu tampak seperti memberikan pengharapan, tapi …palsu (false advertising). Yesus menyamakan keadaan ini dengan ritual keagamaan mekanis dan legalistic yang kosong tanpa hati. Suatu hal yang dikutukNya akan menjadi kering dan layu atau akan ditebangNya.
Perhatikan keagamaan seperti itu. Anda akan mendapati begitu banyak kerimbunan daun hijau di luar-nya: begitu banyak aturan yang harus ditaati, kerumitan (penting-tidak penting menjadi sumir), keriuhan, kebisingan, ritual mekanis tanpa hati, transaksi dan bisnis. Rimbun. Saling sikut, saling injak, berlomba untuk menggapai pintu gerbang sorga – tapi tanpa peduli pada sang Empu-nya Sorga. Upaya yang keras, tetapi tanpa perubahan apapun di dalam-nya: tanpa perubahan hati, tanpa perubahan karakter, tanpa kasih, tanpa peduli bagaimana hubungannya dengan si Pemilik Rumah – dan dengan demikian tanpa … buah. Terlihat bagus di luar tetapi di dalam busuk.