Mohon tunggu...
Baiq Wahyu Diniyati
Baiq Wahyu Diniyati Mohon Tunggu... Guru - Program MPBA Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

kepribadian suka menulis hal hal tertentu yang ingin ditulis ketika moodbooster

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hakikat Kebenaran

29 November 2022   08:00 Diperbarui: 29 November 2022   08:10 2943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berbicara persoalan kebenaran seringkali dikatakan sebagai pembicaraan filosofis, padahal kebenaran merupakan suatu keniscayaan yang setiap orang menginginkannya. Pendidikan dan ilmu pengetahuan memiliki tugas untuk menemukan, menjelaskan, mengembangkan, dan menyampaikan nilai nilai kebenaran.

Kata kebenaran merupakan suatu kata yang sangat spesial apalagi untuk orang orang apatis terhadap suatu keadaan tertentu yang menekannya. Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Seandainya manusia mengerti dan memahami kebenaran, maka, sifat asasinya yang berada didalam lubuk hati terdalam akan terdorong untuk melaksanakan kebenaran itu.

Dalam perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu pendidikan hakikat-hakikat kebenaran sangat penting dan berperan sekali terhadap pencarian kebenaran tersebut. Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebenaran merupakan suatu obyek yang terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini manusia akan mengalami pertentangan batin yakin konflik pikologis.

Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Dari sini muncullah teori-teori kebenaran seperti teori korespondensi, koherensi, dan pragramatisme.

Selain itu, membahasa tentang kebenaran tidak akan ada habisnya. Karena kebenaran sendiri bersifat falsibilitas. Artinya akan mengalamai degradasi karena adanya teori yang baru. Sementara kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang dari Maha Yang Paling Benar. Oleh karena itu selain menggunakan rasio penemuan kebenaran yang terakhir adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu.

Kebenaran epistimologikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontoligikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat dasar ini ada dalam objek pengetahuan. Kebenaran semenatikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat didalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran seantikal disebut juga kebenaran moral. (Kajian Islam Santri Salaf, 2015) Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa apabila epistemological terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai, serasi, terpadu antara yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek (esse real rei), apakah itu konkret atau abstrak, makan implikasinya adalah bahwa didalam (esse real rei) tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam objek, didalam benda,  barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat didalam objek.

DAFTAR PUSTAKA

Afid, Burhanudin. Jenis Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran. Artikel

Afif, Muhammad. 1998. Islam Mazhab Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah

Ardi, Ridha. Ontologi logika dalam filsafat: https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/36801689/ONTOLOGI_LOGIKA)

Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu, edisi revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Dainori, 1983. Pengetahuan  dan Ukuran Kebenaran. Jurnal JPIK Vol. 1, 2018 kutipan dari Feyerabend,  Paul,  “How  to  Defend  Society  Againts  Science”  dalam Scientific  Revolutions ed:  Ian  Hacking,  Oxford  University  Press: New York.

Djamil, Fathurrohman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos

Hasan, Amin. 2018. Kajian Islam Santri Salaf. Artikel

Hasan, Amin. Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep Intuisi Dalam Tassawwuf Al-Ghazali,  At Ta’dib: Jurnal Studi Ilmu Akidah, Volume 7, No 2, Desember 2012

Sudarminta, J. 2002. Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius

Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bimi Aksara

Suriasumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Susanto, 2011. Filsafat ilmu. Jakarta: Bumi aksara

Tafsir, Ahmad. 1998. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung: Remaja Rosdakary

Utsman Najati, Muhammad. 1980. ‘Ilm al-Nafs Hayatina al-Yaumiyah. Kuwait: Dar Al Qalam

Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius

Dari latar belakang di atas, penulis akan menguraikan tentang hakekat kebenaran, teori kebenaran, jenis kebenaran dan ukuran kebenaran

Hakekat Kebenaran

Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan sesorang yang sesuai dengan (atau tidak ditolak oleh) orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.

Manusia berpikir untuk mendapatkan sebuah data atau simpulan yang benar atau manusia berpikir adalah untuk mendapat kebenaran. Menurut KBBI, kebenaran diartikan sebagai “keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya; sesuatu yang sungguh-sungguh ada”. Kebenaran adalah lawan kekeliruan yang merupakan sebuah keadaan ketika pengetahuan tidak sesuai dengan objek yang ada. Misalnya, kita mengatakan bahwa ada 5 buah apel di atas meja (pengetahuan) padahal sebenarnya ada 6 buah apel di atas meja (objek). Ini adalah sebuah kekeliruan atau sebuah pengetahuan yang tidak benar. Sementara Syafi’i yang dikutip menyatakan bahwa (kebenaran itu adalah kenyataan). Semua yang nyata adalah kebenaran. Kenyataan yang dimaksud tersebut tidak selalu yang seharusnya terjadi. Kenyataan yang terjadi mungkin saja berbentuk ketidak benaran. Dengan kata lain, ada kebenaran yang bermakna objektif dan ada kebenaran yang bermakna subjektif. (Mawardi, 2018)  

Kebenaran objektif adalah kenyataan yang benar-benar terjadi dan telah diyakini semua orang sebagai sesuatu yang benar. Kebenaran ini bersifat pasti dan tidak dapat dipungkiri lagi. Kebenaran objektif juga disebut kebenaran empiris yaitu kebenaran yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan panca indera, misalnya:

  • Bendera Indonesia berwarna merah putih
  • Air berwujud cair

Kebenaran subjektif adalah kebenaran yang hanya diakui sebagai kebenaran oleh sebagian manusia saja, misalnya:

  • Merokok itu nikmat
  • Tingal di perumahan lebih nyaman

Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir sehingga dengan menggunakan kemampuannya mereka dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran rasional. Sebagai contoh ketika komputer kita tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipikir dan dipastikan bahwa ada komponen di dalam komputer yang rusak atau perlu diganti. Pemikiran mengenai kebenaran sesuatu yang tidak beres ini merupakan suatu hal rasional yang timbul dari fenomena komputer dan dapat dipastikan pikiran rasional itu benar. Kebenaran tidak cukup diukur dengan keingintahuan atau rasio individu, akan tetapi dapat menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Oleh karena itu, kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.

Adapun hakikat kebenaran dalam prespektif Al Qur’an berarti Al-Haq yaitu persesuaian antara konsep dan realita. Persesuaian itu menghasilkan kebenaran yang akal tidak bisa mengingkarinya. Al-Qur'an menganggap kebenaran sebagai suatu perkataan yang bedasarkan nash agama yang mutawatir. Untuk memperjelas makna benar, dikemukakan lawan katanya yaitu bathil. Dengan demikian dapat teralokasikan makna benar yang dimaksudkan (Al Qordlowi, 1996).

Secara keseluruhan kandungan makna kebenaran yang diambil dari al-Qur'an mempunyai makna spesifik sebagai berikut :

  • Makna kebenaran yang pertama yang dikemukakan al-Qur'an ialah sesuatu yang wajib dinyatakan dan ditetapkan, dan akal tidak akan bisa mengingkari eksistensinya. Kewajiban tersebut sudah barang tentu merupakan sikap pasrah tanpa menyanggah, bahkan secara ekstrim merupakan suatu paksaan. Apalagi kalau dilihat pula dalam mengartikan surah al-Baqarah ayat 26, di situ al-araghi mengartikan benar sebagai sesuatu yang rasional yang ditetapkan oleh Allah SWT. Akan tetapi kata rasional itu pun mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan lapangan yang dihadapi, sifatnya nisbi.
  • Makna kebenaran yang kedua adalah lawan dari kata bathil. Kebenaran dalam hal ini tampaknya masuk lagi pada pembahasan etimologis. Sehingga jika dikaitkan dengan beberapa makna di atas, maka kata haq ialah membenarkan. Jadi berita-berita itu bukanlah sesuatu yang bathil.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an, sebagaimana ciri khasnya dalam tafsir al-Qur'an, berusaha menafsirkan al-Qur'an dengan gaya bahasa yang sederhana yang mudah dimengerti maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian

Teori Kebenaran

Berkaitan dengan berbagai macam bentuk kebenaran, di dalam filsafat dikenal beberapa teori kebenaran. Secara ringkas disini dijelaskan 5 teori kebenaran dalam filsafat, yaitu: teori korespondensi, teori konsistensi, teori koheresi, teori pragmatisme, dan teori kebenaran religius (Syam, 1988)

Agama sebagai Teori Kebenaran

Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, asasi, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. (Bakhtiar, 2014)

Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada Kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentuk kebenaran mutlak.

Jenis Kebenaran

Sering kita menemukan ragam pernyataan yang mana antara setiap golongan mengklaim kebenaran menurut perspektifnya masing-masing, kelompok A mengatakan benar, kelompok B mengatakan benar dan kelompok lain juga mengklaim benar. Sehingga membuat kita berfikir tentang kebenaran mana yang sesungguhnya. Berdasarkan argumentasi apakah masing-masing kelompok mengklaim kebenaranya. Apabila seseorang merasa benar atau menyatakan suatu kebenaran tentunya dilihat sesuai sudut pandang orang tersebut berdasarkan pengalaman dan keilmuannya. Dengan kata lain, jika pengalaman dan keilmuannya sempit maka indikasi untuk menyatakan kebenaran juga akan menjadi sempit. Lalu kemudian akan menjadi faktor hasil yang tidak luwes dari keputusan menyatakan suatu kebenaran, dan cenderung mengarah pada banyak madarat dari pada maslahatnya.

Jenis Kebenaran dibagi menjadi tiga jenis:

  • Kebenaran epistemologis

Yaitu “Kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia”. Epistemologi, ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Terdapat dua macam perta nyaan berkaitan dengan epistemologi. Pertama, perangkat yang mengacu kepada sumber pengetahuan kita; pertanyaan-pertanyaan ini dapat dinamakan pertanyaan-pertanyaan epistemologi kefilsafatan, dan erat kaitannya dengan ilmu jiwa. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang lain merupakan masalah-masalah semantik, yakni menyangkut hubungan antara pengetahuan kita dengan objek pengetahuan tersebut. Secara singkat, epistemologi dapat diartikan dengan bagaimana cara kita untuk mengetahui sesuatu. (Susanto, 2011)

Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan diuji kebenarannya. (Sudarminta, 2002). Singkatnya, epistemologi adalah pengetahuan mengenai pengetahuan yang juga sering disebut “teori pengetahuan (theory of knowledge)”. (Surajiyo, 2008) secara lebih rinci menyatakan bahwa pokok bahasan epistemologi adalah meliputi hakikat dan sumber pengetahuan, metode memperoleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan pengetahuan.

Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan logis tentang objek yang abstrak logis, dalam arti rasional dan dapat juga dalam arti supra-rasional. Logis adalah yang masuk akal, terdiri dari logis rasional yakni suatu pemikiran yang masuk akal, tetapi menggunakan ukuran hukum alam, dan logis supra-rasional yaitu pemikiran akal yang kebenarannya berdasarkan logika yang ada di dalam susunan argumentasinya, benar-benar bersifat abstrak meskipun melawan hukum alam. (Tafsir, 1998).  

Perlu diingat, bahwa dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan, karena setiap ilmu memiliki obyek, metode, sistem, dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang maupun metode. (Suhartono)

  • Kebenaran Ontologis

Adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Istilah “ontology” berasal dari bahasa Yunani “onta” yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan “logos” yang berarti “studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” (Rahchman, 2003)

Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.

Jadi ontology dapat diartikan sebagai studi yang membahas sesuatu yang sungguhsungguh ada. Secara terminologis ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdalam, ontology membahas asas-asas rasional dari kenyataan Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat sesuatu itu, apakah dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami sebagai suatu kebulatan (holistik) 

  • Kebenaran Semantic

 Yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran  semantik  adalah  kebenaran  yang  melekat  pada  tutur  kata  dan  bahasa  manusia.  Tutur  bahasa  yang  digunakan  dikatakan  benar  jika  bersesuaian  dengan  kebenaran  epistemologis dan ontologis.(Watloly, 2001). Kebenaran ini mewujud dalam bahasa yang digunakan manusia untuk mengungkapkan segala sesuatu.

Ukuran Kebenaran

Kebenaran ilmiah muncul dari sebuah penelitian ilmiah, yang berarti suatu kebeneran tidak mungkin ada tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh suatu pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebeneran ilmu akan bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Kebeneran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta. Suatu pengetahuan secara epistemologis bertempu pada suatu asumsi metafisis tertentu dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metodde yang sesuai untuk mengetahui suatu objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan sebauh konsekuensi logis dari watak objek. Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian dan kecocokan antara apa yang diklaim sebagai kenyataan yang sebnarnya menjadi suaru objek pengetahuan. (Dainori, 2018)

Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan manusia. Disamping itu, proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahapan metode ilmiah. Karena kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia, sebagai nilai nilai fungsi rohani manusia. Artinya martabat kemanusiaan atau sifat manusia (human dignity) selalu berusaha “memeluk’ suatu kebenaran. (Burhanuddin, 2014)

Sifat dari kebenaran dibedakan menjadi tiga hal, yakni kebenaran peratama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya setiap penegtahuan yang dimiliki seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun dengan kata lain pengetahuan ini meliputi pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama. Kebenaran yang kedua, berkaitan dengan karakteristik atau sifat dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah membangunnya denga pengindraan atau akal pikirannya (rasio, intuisi atau keyakinan). Sedangkan kebenaran ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek. (Surajiyo, 2008)

Dewasa ini, sesuatu yang kita pegang sebagai suatu kebenaran mungkin suatu saat hanya akan menjadi sebuah pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih spesifik dan jati lagi begitu juga seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden artinya tidak berhenti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.  

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ditemukan beberapa arti dari sebuah kebenaran itu sendiri, Pertama, Keadaan yang benar (sesuai dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), kedua, sesuatu yang benar ( sungguh ada), Ketiga, Kejujuran atau kelurusan hati, Keempat selalu izin; perkenan. Sedangkan kebenaran pengetahuan diartikan sebagai persesuaian anatara pengetahuan dengan objeknya. Yang terpenting untuk diketahui adalah persesuai yang dimaksud sebagai sebuah kebenaran merupakan pengertian kebenaran yang immanen yakni kebenaran yang tetap tinggal di dalam jiwa dengan kata lain adalah keyakinan. (Andri Dkk, 2014)

Sedangkan dalam pendapat  Endang Saifuddin Anshori dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama menulis bahwa agama dapat diibaratkan sebagai suatu gedung besar perpustakaan kebenaran. Didalam pembicaraan mengenai kepercayaan, dapat disimpulkan bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan. Manusia tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan benar hanya dengan kebenaran kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa adanya kebenaran agama.

Agama dijadikan sebagai teori kebenaran, karena pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan sebuah kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan suatu kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. (Bakhtiar, 2012)  

Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan cara mencari jawaban berbagai masalah yang ditemukan kepada kitab suci. Dengan demikian, sesuatu hal uyang dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. (Bakhtiar, Ibid 121)

Proses pengetahuan dalam memeperoleh kebenaran diakui telah terhegemoni oleh epistemologi Barat modren. Standar rasio dan empiris yang bersifat postivistik, dalam artian harus dapat dirasionalkan dan dibuktikan secara empiris melalui panca indera menjadi ukuran ilmiah bagi mereka (kaum rasionalis). Mereka meragukan dan bahkan tidak mengakui kebenran yang diperoleh melalui intuisi (dzauq atau wijdan). Sebab proses pengetahuan melalui intuisi ini bagi mereka tidak rasional dan tidak dapat dibuktikan secara empiris, melalui panca indera. Sehingga sumber kebenaran melalui intuisi inipun dianggap tidak ilmiah. Tegasnya, Barat selama ini telah membatasi sumber kebenaran hanya pada rasio dan empiris saja. (Hasan, 2012)

Sementara dalam Islam, intuisi menjadi salah satu sumber kebenaran sebagaimana rasio dan empiris. Bahkan kebenaran melalui intuisi ini lebih tinggi kedudukannya. Dalam dunia tasawwuf, kebenaran yang dicapai melalui intuisi metodenya tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris. Akan tetapi hasil dari kebenaran intuisi ternyata dapat dibuktikan secara rasional sekaligus empiris. Artinya banyak orang yang memperoleh pengetahuan yang mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh karena itu, Bergon mengatakan bahwa intuisi sebanrnya bersifat intlektual dan sekaligus supra-intlektual dimana pengetahuan supra-intlektual tersebut akan mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal hal yang paling vital. (Syukur, Dkk)

Dari pembahasan materi tentang ukuran kebenaran, bahwa sesungguhnya ilmu dan pengetahuan yang didapat hanya untuk mencari sebuah kebenaran. Dan kebenaran yang mutlak itu hanya dari Tuhan yang harus diyakini. Meskipun demikian, dalam kehidupan perlu mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran yang lainnya yang bersesuaian dengan agama sebagai kebenaran yang mutlak.

  • Tasawwuf Sebagai Aktivitas Rasional

Secara esensial, tasawuf yang menjadi salah satu tradisi islam telah ada pada masa nabi Muhammad saw. Praktek tasawuf yang telah Rasulullah saw lakukan terpancar dari Al-Qur’an, yang beliau sempurnakan dan beliau tafsirkan dalam kehidupannya, dan menjadi sakral yang Baginda bentuk dalam ajaran, pemikiran, perkataan, dan contoh perbuatan (sunnah). Pada perkembangan selanjutnya adalah diformulasikannya ajaran-ajaran tasawuf yang Nabi Muhammad SAW praktekkan dalam sebuah teori dan ilmu keislaman, yaitu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana manusia mengadakan hubungan dan komunikasi dengan Tuhan. (Al Ayubi, 2018)

Para sufi mendapatkan pengetahuan dan kebijaksanaan dari limpahan pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan secara angsung, yang terpatri dalam kalbu sehingga tampak olehnya sebagian rahasia dan realitas. Oleh karena itu, pengetahuan dapat juga kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan, dalam hal ini adalah wahyu (Tuhan yang menyampaikan wahyu melalui orang pilihan-Nya). Maka wahyu dan intuisi, secara implisit kita mengakui bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan

Apabila intuisi diartikan sebagai sumber kebenaran dan ilmu, maka dalam tasawuf perolehan intuisi atau pengetahuan intuitif tersebut tidak terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang, yang disebut dengan mujahadah dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Semua proses tersebut merupakan upaya ke arah proses pencerahan batin (qalb) agar dapat menangkap cahaya pengetahuan dan kebenaran (mukasyafah).  (Al Ayubi, 2018)

  • Intuisi sebagai sumber dan kebenaran

Sebut saja dari sisi tasawuf, di tangan al-Ghazali inilah proses pengetahuan dalam mencapai kebenaran melalui jalan intuisi sebagai bagian dari kerja intelekual dalam dunia tasawuf dapat dijelaskan dengan baik oleh beliau. Al-Ghazali mampu membuka cakrawala dengan memadukan intuisi (tasawuf) dengan akal (intelektualisme) yang selama ini menjadi pertentangan oleh banyak kalangan. Melalui intuisi, al-Ghazali menunjukkan sumber ilmu dan kebenaran yang alternatif bagi kemanusiaan dan kehidupan

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengetahuan intuitif pada dasarnya bukan merupakan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan setelah melalui proses panjang, yaitu dimulai dengan niat, riyadlah, 'uzlah dan khalwat, mujahadah (menahan diri dari segala hal), dan lain sebagainya. Semua proses tersebut merupa kan upaya ke arah proses pencerahan batin agar dapat menangkap cahaya pengetahuan dan kebenaran. Bersamaan dengan terjadinya proses tersebut, sesungguhnya tanpa disadari, telah terjadi pula proses intelektualisasi secara terselubung. (Najati, 1980)

Al-Ghazali kemudian mendeskripsikan upaya manusia dalam mencari kebenaran pada masanya menjadi empat golongan dengan pola epistemologinya masing-masing. Pertama, al-mutakallimun (para teolog), yaitu mereka yang mengaku sebagai ahli ra'yi (pendapat) dan peneliti. Kedua, bathiniyah (kebatin an), yaitu mereka yang mengaku sebagai penganut ta'lim dan orang orang khusus yang hanya mengambil ilmu dari imam maksum. Ketiga, falasifah (para filosof), yaitu mereka yang mengaku sebagai ahli mantiq (logika) dan argumentasi. Dan yang keempat adalah shufiyyah (kaum sufi), yaitu mereka yang mengaku sebagai pemilik keistimewaan yang mampu manghadirkan jiwa, mencapai musyahadah (melihat langsung), dan mukasyafah (menyingkap sesuatu yang gaib). Dari keempat golongan yang di atas, al-Ghazali mengata kan bahwa kebenaran tidak melampaui empat golongan ini. (Najati, 1980)

Pengetahuan intuisi berangkat dari konsep dzahir dan bathin. Bathin menjadi dasar untuk menuju ke yang dzahir, atau dengan kata lain dari makna menuju lafadz. Bathin merupakan sumber pengetahuan, karena bathin adalah hakekat, sementara dzahir adalah teks (al-Qur'an dan al-Hadits) sebagai pelindung dan penyinar. Al Ghazali misalnya menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al Qur'an adalah bathin-nya, bukan dzahir-nya. Agar hakikat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikuti nya. Jadi, makrifat sebagai pengetahuan bathin, terutama tentang Tuhan (hakekat Tuhan). Oleh karena itu, ketersingkapan (kasyf) lewat pengalaman intuisi akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui, dianggap sebagai pengetahuan tertinggi (peak knowledge). (Hasan, 2012)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun