Mohon tunggu...
Baiq Wahyu Diniyati
Baiq Wahyu Diniyati Mohon Tunggu... Guru - Program MPBA Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

kepribadian suka menulis hal hal tertentu yang ingin ditulis ketika moodbooster

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hakikat Kebenaran

29 November 2022   08:00 Diperbarui: 29 November 2022   08:10 2943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan manusia. Disamping itu, proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahapan metode ilmiah. Karena kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia, sebagai nilai nilai fungsi rohani manusia. Artinya martabat kemanusiaan atau sifat manusia (human dignity) selalu berusaha “memeluk’ suatu kebenaran. (Burhanuddin, 2014)

Sifat dari kebenaran dibedakan menjadi tiga hal, yakni kebenaran peratama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya setiap penegtahuan yang dimiliki seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun dengan kata lain pengetahuan ini meliputi pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama. Kebenaran yang kedua, berkaitan dengan karakteristik atau sifat dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah membangunnya denga pengindraan atau akal pikirannya (rasio, intuisi atau keyakinan). Sedangkan kebenaran ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek. (Surajiyo, 2008)

Dewasa ini, sesuatu yang kita pegang sebagai suatu kebenaran mungkin suatu saat hanya akan menjadi sebuah pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih spesifik dan jati lagi begitu juga seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden artinya tidak berhenti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.  

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ditemukan beberapa arti dari sebuah kebenaran itu sendiri, Pertama, Keadaan yang benar (sesuai dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), kedua, sesuatu yang benar ( sungguh ada), Ketiga, Kejujuran atau kelurusan hati, Keempat selalu izin; perkenan. Sedangkan kebenaran pengetahuan diartikan sebagai persesuaian anatara pengetahuan dengan objeknya. Yang terpenting untuk diketahui adalah persesuai yang dimaksud sebagai sebuah kebenaran merupakan pengertian kebenaran yang immanen yakni kebenaran yang tetap tinggal di dalam jiwa dengan kata lain adalah keyakinan. (Andri Dkk, 2014)

Sedangkan dalam pendapat  Endang Saifuddin Anshori dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama menulis bahwa agama dapat diibaratkan sebagai suatu gedung besar perpustakaan kebenaran. Didalam pembicaraan mengenai kepercayaan, dapat disimpulkan bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan. Manusia tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan benar hanya dengan kebenaran kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa adanya kebenaran agama.

Agama dijadikan sebagai teori kebenaran, karena pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan sebuah kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan suatu kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. (Bakhtiar, 2012)  

Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan cara mencari jawaban berbagai masalah yang ditemukan kepada kitab suci. Dengan demikian, sesuatu hal uyang dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. (Bakhtiar, Ibid 121)

Proses pengetahuan dalam memeperoleh kebenaran diakui telah terhegemoni oleh epistemologi Barat modren. Standar rasio dan empiris yang bersifat postivistik, dalam artian harus dapat dirasionalkan dan dibuktikan secara empiris melalui panca indera menjadi ukuran ilmiah bagi mereka (kaum rasionalis). Mereka meragukan dan bahkan tidak mengakui kebenran yang diperoleh melalui intuisi (dzauq atau wijdan). Sebab proses pengetahuan melalui intuisi ini bagi mereka tidak rasional dan tidak dapat dibuktikan secara empiris, melalui panca indera. Sehingga sumber kebenaran melalui intuisi inipun dianggap tidak ilmiah. Tegasnya, Barat selama ini telah membatasi sumber kebenaran hanya pada rasio dan empiris saja. (Hasan, 2012)

Sementara dalam Islam, intuisi menjadi salah satu sumber kebenaran sebagaimana rasio dan empiris. Bahkan kebenaran melalui intuisi ini lebih tinggi kedudukannya. Dalam dunia tasawwuf, kebenaran yang dicapai melalui intuisi metodenya tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris. Akan tetapi hasil dari kebenaran intuisi ternyata dapat dibuktikan secara rasional sekaligus empiris. Artinya banyak orang yang memperoleh pengetahuan yang mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh karena itu, Bergon mengatakan bahwa intuisi sebanrnya bersifat intlektual dan sekaligus supra-intlektual dimana pengetahuan supra-intlektual tersebut akan mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal hal yang paling vital. (Syukur, Dkk)

Dari pembahasan materi tentang ukuran kebenaran, bahwa sesungguhnya ilmu dan pengetahuan yang didapat hanya untuk mencari sebuah kebenaran. Dan kebenaran yang mutlak itu hanya dari Tuhan yang harus diyakini. Meskipun demikian, dalam kehidupan perlu mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran yang lainnya yang bersesuaian dengan agama sebagai kebenaran yang mutlak.

  • Tasawwuf Sebagai Aktivitas Rasional

Secara esensial, tasawuf yang menjadi salah satu tradisi islam telah ada pada masa nabi Muhammad saw. Praktek tasawuf yang telah Rasulullah saw lakukan terpancar dari Al-Qur’an, yang beliau sempurnakan dan beliau tafsirkan dalam kehidupannya, dan menjadi sakral yang Baginda bentuk dalam ajaran, pemikiran, perkataan, dan contoh perbuatan (sunnah). Pada perkembangan selanjutnya adalah diformulasikannya ajaran-ajaran tasawuf yang Nabi Muhammad SAW praktekkan dalam sebuah teori dan ilmu keislaman, yaitu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana manusia mengadakan hubungan dan komunikasi dengan Tuhan. (Al Ayubi, 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun