Karya Ahmad Sahide ini menawarkan panorama politik Indonesia dari tahun 2014 hingga 2016, mengulas transisi dari era SBY ke Jokowi dengan detail dan nuansa. Sahide dengan cermat memaparkan berbagai dinamika dan tantangan yang mewarnai lanskap politik nasional selama periode tersebut.
Melalui lensa kritisnya, Sahide menggambarkan dua sisi mata uang kepemimpinan Jokowi. Di satu sisi, ia memuji keberhasilan Jokowi dalam pemerataan pembangunan infrastruktur dari Sabang sampai Merauke. Namun di sisi lain, ia juga menyoroti berbagai kasus korupsi dan polemik seputar upaya pelemahan KPK yang menodai citra pemerintahan.
Sebagai perbandingan, Sahide menghadirkan profil pemimpin internasional seperti Rodrigo Duterte dan Hillary Clinton. Pemilihan kedua tokoh ini bukan tanpa maksud; Sahide seolah ingin menggugah pembaca untuk membayangkan sosok pemimpin Indonesia masa depan yang memiliki ketegasan Duterte dan kecerdasan politik Clinton.
Meski mengakui keunikan dan fenomena kepemimpinan Jokowi, Sahide tampaknya belum menempatkannya setara dengan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno atau Fidel Castro. Ia menyiratkan bahwa Indonesia masih membutuhkan pemimpin yang lebih berani dan tegas, terutama dalam kepentingan menghadapi sumber daya alam negeri ini.
Melalui rangkaian esai ini, Sahide tidak sekadar merekam sejarah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merefleksikan makna kepemimpinan sejati dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam kancah politik global. Ia menyodorkan cermin bagi bangsa untuk introspeksi sekaligus inspirasi untuk beraspirasi lebih tinggi dalam memilih dan menjadi pemimpin masa depan.
- Kelebihan dan Kekurangan
Karya Ahmad Sahide ini memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Salah satu tantangan yang mungkin dihadapi pembaca adalah penggunaan terminologi yang cenderung kompleks dan akademis. Hal ini berpotensi menciptakan jarak pemahaman bagi pembaca umum yang mungkin tidak akrab dengan jargon politik tertentu.Â
Selain itu, meski tidak signifikan, ada beberapa kesalahan penulisan yang seharusnya dapat dihindari melalui proses penyuntingan yang lebih teliti. Aspek-aspek ini sedikit mengurangi kenyamanan membaca dan berpotensi memengaruhi pemahaman pembaca terhadap konten yang disajikan.
Namun demikian, kekuatan buku ini terletak pada keberanian dan ketajaman analisis penulis dalam mengupas dinamika politik Indonesia. Pendekatan reflektif Sahide, terutama dalam membandingkan fenomena Jokowi dengan Obama, serta kritiknya terhadap generasi muda Indonesia, menawarkan perspektif segar yang memperkaya wawasan pembaca.
Keberhasilan Sahide dalam membahas isu-isu krusial seperti terorisme, upaya pelemahan KPK, dan dinamika politik di DKI Jakarta dengan sudut pandang yang kritis namun seimbang patut diapresiasi. Melalui esai-esainya, Sahide berhasil menghadirkan beragam perspektif yang menjadikan buku ini sumber bacaan yang berharga bagi mereka yang ingin mendalami kompleksitas politik Indonesia.
Dengan demikian, meskipun terdapat beberapa aspek teknis yang dapat ditingkatkan, karya Sahide ini tetap merupakan kontribusi yang signifikan dalam diskursus politik Indonesia kontemporer, menawarkan analisis mendalam dan wawasan baru yang memperkaya pemahaman pembaca tentang lanskap politik tanah air.