Pemilik akunnya adalah orang paling berkuasa di dunia, Panglima Tertinggi Angkatan bersenjata paling mematikan di bumi, pemegang kode peluncur senjata nuklir dan memiliki pengikut yang luar biasa banyak, 88 juta! Menarik untuk melihat pada bagaimana Twitter meletakkan cuitan yang sebenarnya hanya kata-kata, teks dan huruf pada ranah konteks yang lebih besar.
Cuitan Trump seperti, "To all of those who have asked, I will not be going to the Inauguration on January 20th." bukan sebuah pernyataan "istimewa" jika tidak diletakan pada konstruksi sosial yang khusus dalam hal ini penyerbuan pendukung Trump di Gedung parlemen saat tengah sidang pengesahan hasil pemilihan presiden Amerika.
Sebelum penyerbuan itu terjadi Trump memimpin rapat umum yang ia sebut sebagai Save Amerika March. Dalam orasi di depan puluhan ribu pendukungnya Trump berulang kali menyebut kata fight, fighting, courage, patriot, strong, strength dan menyebut mereka yang tak sejalan dengan keyakinannya sebagai weak, ashamed, bahkan traitors.Â
Rudi Giullani, pengacara pribadinya, bahkan mengatakan "So let's have trial by combat!". Anaknya, Donald Trump, Jr juga menyebutkan, "Hari ini kita akan mulai mencatat nama-nama dan menendang bokong mereka". Trump, Jr mengancam anggota senat dan kongres yang tidak mendukung ayahnya "Saya akan ada di halaman belakang rumah Anda, dua bulan ke depan"
Bagi yang mengikuti Trump, minimal melalui Twitter, cuitan, retorika, pernyataan dan klaim Trump terhadap banyak kerap dinilai memicu perbedaan, kebencian dan ketakutan. Tapi itulah cara dia untuk mendapatkan bensin bagi generator kekuasaannya.Â
Trump tidak lagi bersembunyi pada apa yang disebut filsuf Jennifer Saul sebagai Daun Ara Rasial (Saul, 2017). Bahasa Trump semakin eksplisit, menyebut orang Meksiko sebagai penjahat dan pemerkosa, memberi nama Coronavirus menjadi China Virus, menyebut Biden sebagai orang yang lemah secara fisik dan mental, Obama tidak lahir di Amerika, pelarangan muslim, melarang masuknya imigran dari negara yang ia sebut "shithole country", orang-orangnya ia sebut sebagai "infestation" (hama, kutu) dan banyak lagi.
Pendukungnya yang merasa cocok dengan cuitan-cuitan Trump tak segan untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih ekstrem. Meski tidak mudah menentukan hubungan antara pidato dan cuitan (teks) dengan tindakan (actions) dalam diskursus sosial dan psikologi, namun apa yang terjadi antara Trump dengan pendukungnya patut mendapat perhatian.
Kata-kata yang kerap diucapkan Trump penting untuk dua alasan; Pertama, kata-kata itu tidak berdiri sendiri. Setiap kata terhubung dalam sebuah jaringan pengetahuan dan mengkonstruksi sebuah konsep tertentu.Â
Jika seseorang menyebut kelompok lain sebagai "hama" maka penerima pesannya akan menafsirkan/mendiskusikannya sebagai kelompok yang tidak diinginkan, harus dibasmi, menyakitkan atau berbahaya. Menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai hama akan berujung pada dehumanisasi.
Kedua, jika seseorang atau sekelompok orang mengalami dehumanisasi akan menuntun pada logika bahwa orang atau kelompok tersebut layak untuk diberangus bahkan pemberangusan etnis dan genosida. Indonesia sebagai contoh, memiliki kata jahanam seperti; komunis.Â
Dari sebuah konsep atau ideologi sosial, representasi mental komunis berubah menjadi "monster" yang harus dilenyapkan. Ratusan ribu nyawa melayang karena kata ini.Â