Semua stasiun televisi yang ada, menyiarkan operasi tangkap tangan sebagai berita. 'Tumbangnya Sang Teladan' begitu salah satu dari mereka menyebutnya.Â
Biasanya aku akan tersenyum sinis bila melihat seorang pejabat atau salah satu wakil rakyat, ditahan karena korupsi atau menerima suap. Tetapi kali ini aku terperanjat. Diam di sebuah kursi lusuh di dalam ruang pengap, di sebuah sudut Ibukota yang padat.
Jiwaku terguncang. Asa serasa melayang. Sang teladan itu ternyata dosenku. Guru besar yang telah menjelma bagai orangtua sekaligus sahabat bagiku. Dunia serasa berhenti, tersentak pilunya sebuah tragedi.
Hari yang telah kami lewati, melakonkan dia sebagai seorang dosen yang menjadi motivator saat jiwa butuh dorongan. Yang menjadi pencerah saat mataku dihalang kegelapan. Yang menjadi sahabat dalam kesukaran.
"Aku sangat mengenal Pak Budi. Beliau orang baik, sangat religius dan murah hati. Aku sangat yakin, ada konspirasi besar di balik semua ini," komentar salah seorang bekas mahasiswa beliau di televisi, yang kini menjadi seorang politisi.
Sedikit aku terobati. Namun pikiranku tidak lari pada teori konspirasi. Tetapi pada idealisme yang terbeli. Idealisme, yang ternyata oleh rupiah dapat dilampaui.
Kini, apa yang pernah beliau bicarakan, seperti hanya retorika untuk mencari keuntungan pribadi. Ketika topeng itu terlepas, tampaklah bagaimana buruknya wajah yang bersembunyi dibalik teori-teori yang membentuk mimpi indah kami.
Saat ini, setelah kami bertekad mewujudkan mimpi-mimpi, kemana lagi kami akan mengadu? Kemana lagi kami bertukar pikiran? Kemana lagi kami berharap motivasi?
Sang teladan telah tumbang. Nasib pengikutnya belum bisa dipastikan. Mungkin ada yang akan meneladani dengan ikut merusak negeri. Mungkin ada yang tetap mempertahankan idealisme dan mewujudkan mimpi. Atau mungkin ada yang mengubur idealisme dan mencari kebahagiaan di lain sisi.
Aku cenderung pada kemungkinan terakhir. Tetapi sebelum membuat keputusan pasti, aku ingin bertemu Pak Budi. Pak dosen yang membentuk dan menjaga mimpi. Mimpi untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh negeri.
*
"Bagaimana mau mencintai negeri ini tanpa mengenalnya?"
"Bagaimana kita megenalnya, kalau hanya duduk manis di ruang kuliah tanpa turun tangan dan berbaur dengan masyarakat luas?"
"Masih banyak masyarakat kita yang belum sadar bahwa kita adalah bangsa besar"
"Saat kalian bertekad menjaga dan memajukan negeri ini, berbahagialah. Karena kalian adalah orang-orang terpilih"
Di dalam perjalanan menuju hotel prodeo dimana Pak Budi menginap, kalimat-kalimat penyemangat yang pernah beliau ungkap, kembali teringat.
Sosok dirinya nyata dalam ingatanku : sorot mata memancarkan semangat berkobar berpadu dengan wajah penuh optimisme. Senyum khas memancarkan cinta dan damai. Gerak tubuh dinamis menjaga harap tak pernah lenyap.
Selalu begitu setiap kami bertemu.
Tetapi tak lama kenangan itu membayang.
"Aku bangga menjadi bagian dari bangsa ini, karena penduduk miskinnya lebih dari 20 juta orang. dan aku tidak turut di dalamnya"
Perkataan sinis Ridwan menyingkirkan kenangan manis. Senyum dan ekspresinya meluapkan rasa pesimis. Selalu begitu, terkesan egois tetapi realistis. Kini aku merasa diapit oleh malaikat dan iblis. Namun aku tidak tahu, siapa yang benar dan siapa yang harus ditepis.
Ridwan adalah teman kuliahku dulu. Dia terkesan egois dengan sikap dan pemikirannya. Tetapi dia tak pernah peduli dengan anggapan miring orang lain. Baginya setiap orang berhak bahagia dengan caranya masing-masing. Oleh sebab itulah dia menertawakan cita-citaku yang ingin menyejahterakan Indonesia. Karena menurutnya, tak semua orang yang sejahtera bisa bahagia. Dengan kata lain, kesejahteraan tidak menjamin seseorang akan bahagia.
Dulu aku berseberangan pendapat dengan Ridwan. Tetapi sejak ditangkapnya Pak Budi, aku mulai mengamini beberapa pendapatnya.
"Jika ada orang ingin menjadi bupati, gubernur, presiden, anggota dewan, itu karena jabatan tersebut memang kebahagiaan bagi mereka. Hanya retorika murahan jika mereka berkata 'demi rakyat'... Omong kosong!"
Sekarang aku baru mengerti apa yang pernah dikatakan Ridwan. Dulu aku berpikir bahwa pendapatnya itu berdasar dari tingkah pejabat negara belakangan ini. Aku salah. Kini kusadar, uang dan kekuasaan memang kelemahan yang ada pada setiap orang.
Bayang Pak Budi dan Ridwan terus menghantuiku sampai aku tiba di kantor KPK. Setelah menjalani beberapa prosedur, aku dipersilahkan untuk bertemu dengan dosenku itu. Ah..tidak. Bukan dosenku, tetapi bekas dosen.
Dulu aku memang pernah bertekad, mengabadikan Pak Budi sebagai dosen selama aku hidup. Karena beliau bukan hanya mengajarkan materi kuliah tetapi juga tentang kebijaksanaan hidup.
Namun sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Dan pertemuan kami nanti, kuharap sebagai pamungkas semua angan.
"Gi?" Pak Budi terkejut melihat kedatanganku. Dari balik jeruji besi, dia melemparkan senyum untuk menyambutku. Senyum yang tak biasa. Tampak seperti dipaksa.
Di ruang sempit berlatar warna putih ini, aku merasa asing dengan sosok yang dulu sangat kukagumi. Aku benci dengan keadaan ini. Tetapi semua telah terjadi, tak ada jalan lain kecuali melepas diri dari kenangan yang terus menghantui.
Kutatap beliau tanpa berkata sepatah kata pun. Dengan tatapan sinis nan tajam, agar dia terajam di waktu siang dan malam. Saat cerah maupun temaram. Suatu hukuman yang pantas untuk perbuatan haram.
"Bapak kalah, Gi"
Tak kuasa menahan amarah, aku menyembur tanya dengan nada marah, "Tapi mengapa kau terus memotivasiku? Mengapa kau menjagaku dalam mimpi-mimpi itu?"
"Karena Bapak tahu kau mampu. Kau masih muda dan penuh energi," suaranya meninggi, memotivasi.
"Dan kau membiarkanku sendirian?"
Hari ini lah pertama kali aku bersikap tak sopan pada beliau. Aku memanggilnya dengan sebutan 'kau'. Tetapi Pak Budi tak sedikit pun tampak kecewa dengan sikapku. Mungkin dia sadar dia bersalah. Atau memang, sikap sabarnya belum berubah.
"Banyak yang terpanggil, tapi sedikit yang terpilih, Gi."
Pak Budi kembali membenamkan wajahnya. Dari sorot matanya tak terpancar lagi semangat yang berkobar berpadu dengan wajah penuh optimisme. Tidak ada lagi senyum yang terlukis yang memancarkan cinta dan damai. Tidak ada lagi gerak tubuh dinamis yang memancarkan harap yang tak pernah lenyap.
Diam menguasai kami.
Suasana hening terasa menyiksa. Aku kemudian terhanyut dalam bayang wajah keluargaku. Secara bergantian tubuh senja bapak, wajah sayu mamak, dan murka saudaraku terlintas di benak. Membuat dadaku terasa sesak. Ditekan dosa terasak. Sesaat aku merasa kaki tak mampu lagi beranjak. Dimana aku akan berpijak?
Sudah bertahun-tahun aku tak mengunjungi keluargaku. Tak peduli pada kesehatan bapak dan mamak. Tak peduli pada pekerjaan dan pendidikan saudara-saudaraku. Hanya karena mereka tidak setuju aku menjadi seorang aktivis. Hanya karena mereka menertawakan cita-citaku. Cita-cita yang kini telah pupus. Cita-cita yang memang pantas untuk ditertawakan.
Setelah semua ini terjadi, apa lagi yang tertinggal? Siapa lagi yang akan peduli padaku? Adakah mereka -- yang untuk mereka aku berjuang -- mempedulikanku? Akankah mereka memberiku santapan jiwa setelah kuperjuangkan keadilan bagi mereka?
Sampai detik ini, aku tak melihat sedikit pun buah dari perjuanganku yang tak kenal lelah. Mungkin, aku hanya orang bodoh bagi mereka. Sebab, perjuanganku adalah sia-sia karena mereka sudah terbiasa pasrah. Menghadapi dengan lapang dada, kesewenang-wenangan yang tak terbantah.
Andai aku sejak dulu mendengar nasihat orangtuaku, penderitaan ini tak akan singgah mendekamku. Juga penderitaan hidup serba kekurangan menjadi seorang aktivis yang menjunjung tinggi kejujuran, idealisme, dan kemanusiaan.
Aku bodoh. Sangat-sangat bodoh.
"Aku ingin mengejar kebahagiaanku. Yang juga membahagiakan orangtuaku," bisikku spontan dengan terbata. Mungkin karena tak mampu lagi menahan sesak yang mendesak.
"Bapak mengerti. Perjuangan untuk negeri memang tak mudah. Hanya jika memang kita tulus dan sepenuh hati, perjuangan kita tak akan pernah berhenti. Jangan memaksa mengabdi pada negeri sebelum kau selesai dengan dirimu sendiri."
"Harusnya aku mendengar itu dari dulu."
"Maka tak ada alasan kau bersedih lagi. Kebahagiaan seorang idealis adalah mati bersama idealismenya, Gi!"
Aku tersentak. Betapa bodohnya aku. Harusnya aku tidak berubah saat yang lain menyerah. Tak berbalik arah saat yang lain kalah. Karena perjuangan ini bukan kompetisi memperebutkan hadiah. Tetapi untuk sang ideologi negara, Pancasila.
Spontan, rentetan kejadian hadir kembali. Aku ingat alasanku berdiri sampai saat ini : karena cinta.
Karena cinta pada diri sendiri, aku bertekad berbakti pada orangtua yang telah membesarkan dan merawatku. Karena cinta pada kedua orangtuaku, aku mencoba membuat kotaku sejahtera agar perjuangan mereka tidak sia-sia. Karena cinta pada kotaku, aku ingin membangun negeriku agar kotaku dapat bertahan dalam kerasnya pertarungan hidup. Karena cintaku pada negeriku, aku mencintai Tuhan.
Atau mungkin sebaliknya, karena cinta pada Tuhan aku melakukan semua ini.
Sekarang aku semakin yakin, Dia pasti punya maksud baik melahirkan aku di Bumi pertiwi ini, jika Tuhan memang Mahabaik. Dan baik itu adalah damai dan sejahtera di bumi pertiwi.
Jika orang banyak meragukan cita-cita baik itu, berarti mereka juga meragukan Tuhan. Dan jika mereka mengaku ber-Tuhan, harusnya mereka percaya bahwa kedamaian dan kesejahteraan dapat terwujud di negara ini.
Tidak ada alasan lagi untuk menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H