Dulu aku berseberangan pendapat dengan Ridwan. Tetapi sejak ditangkapnya Pak Budi, aku mulai mengamini beberapa pendapatnya.
"Jika ada orang ingin menjadi bupati, gubernur, presiden, anggota dewan, itu karena jabatan tersebut memang kebahagiaan bagi mereka. Hanya retorika murahan jika mereka berkata 'demi rakyat'... Omong kosong!"
Sekarang aku baru mengerti apa yang pernah dikatakan Ridwan. Dulu aku berpikir bahwa pendapatnya itu berdasar dari tingkah pejabat negara belakangan ini. Aku salah. Kini kusadar, uang dan kekuasaan memang kelemahan yang ada pada setiap orang.
Bayang Pak Budi dan Ridwan terus menghantuiku sampai aku tiba di kantor KPK. Setelah menjalani beberapa prosedur, aku dipersilahkan untuk bertemu dengan dosenku itu. Ah..tidak. Bukan dosenku, tetapi bekas dosen.
Dulu aku memang pernah bertekad, mengabadikan Pak Budi sebagai dosen selama aku hidup. Karena beliau bukan hanya mengajarkan materi kuliah tetapi juga tentang kebijaksanaan hidup.
Namun sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Dan pertemuan kami nanti, kuharap sebagai pamungkas semua angan.
"Gi?" Pak Budi terkejut melihat kedatanganku. Dari balik jeruji besi, dia melemparkan senyum untuk menyambutku. Senyum yang tak biasa. Tampak seperti dipaksa.
Di ruang sempit berlatar warna putih ini, aku merasa asing dengan sosok yang dulu sangat kukagumi. Aku benci dengan keadaan ini. Tetapi semua telah terjadi, tak ada jalan lain kecuali melepas diri dari kenangan yang terus menghantui.
Kutatap beliau tanpa berkata sepatah kata pun. Dengan tatapan sinis nan tajam, agar dia terajam di waktu siang dan malam. Saat cerah maupun temaram. Suatu hukuman yang pantas untuk perbuatan haram.
"Bapak kalah, Gi"
Tak kuasa menahan amarah, aku menyembur tanya dengan nada marah, "Tapi mengapa kau terus memotivasiku? Mengapa kau menjagaku dalam mimpi-mimpi itu?"