Aku bodoh. Sangat-sangat bodoh.
"Aku ingin mengejar kebahagiaanku. Yang juga membahagiakan orangtuaku," bisikku spontan dengan terbata. Mungkin karena tak mampu lagi menahan sesak yang mendesak.
"Bapak mengerti. Perjuangan untuk negeri memang tak mudah. Hanya jika memang kita tulus dan sepenuh hati, perjuangan kita tak akan pernah berhenti. Jangan memaksa mengabdi pada negeri sebelum kau selesai dengan dirimu sendiri."
"Harusnya aku mendengar itu dari dulu."
"Maka tak ada alasan kau bersedih lagi. Kebahagiaan seorang idealis adalah mati bersama idealismenya, Gi!"
Aku tersentak. Betapa bodohnya aku. Harusnya aku tidak berubah saat yang lain menyerah. Tak berbalik arah saat yang lain kalah. Karena perjuangan ini bukan kompetisi memperebutkan hadiah. Tetapi untuk sang ideologi negara, Pancasila.
Spontan, rentetan kejadian hadir kembali. Aku ingat alasanku berdiri sampai saat ini : karena cinta.
Karena cinta pada diri sendiri, aku bertekad berbakti pada orangtua yang telah membesarkan dan merawatku. Karena cinta pada kedua orangtuaku, aku mencoba membuat kotaku sejahtera agar perjuangan mereka tidak sia-sia. Karena cinta pada kotaku, aku ingin membangun negeriku agar kotaku dapat bertahan dalam kerasnya pertarungan hidup. Karena cintaku pada negeriku, aku mencintai Tuhan.
Atau mungkin sebaliknya, karena cinta pada Tuhan aku melakukan semua ini.
Sekarang aku semakin yakin, Dia pasti punya maksud baik melahirkan aku di Bumi pertiwi ini, jika Tuhan memang Mahabaik. Dan baik itu adalah damai dan sejahtera di bumi pertiwi.
Jika orang banyak meragukan cita-cita baik itu, berarti mereka juga meragukan Tuhan. Dan jika mereka mengaku ber-Tuhan, harusnya mereka percaya bahwa kedamaian dan kesejahteraan dapat terwujud di negara ini.