"Bagaimana mau mencintai negeri ini tanpa mengenalnya?"
"Bagaimana kita megenalnya, kalau hanya duduk manis di ruang kuliah tanpa turun tangan dan berbaur dengan masyarakat luas?"
"Masih banyak masyarakat kita yang belum sadar bahwa kita adalah bangsa besar"
"Saat kalian bertekad menjaga dan memajukan negeri ini, berbahagialah. Karena kalian adalah orang-orang terpilih"
Di dalam perjalanan menuju hotel prodeo dimana Pak Budi menginap, kalimat-kalimat penyemangat yang pernah beliau ungkap, kembali teringat.
Sosok dirinya nyata dalam ingatanku : sorot mata memancarkan semangat berkobar berpadu dengan wajah penuh optimisme. Senyum khas memancarkan cinta dan damai. Gerak tubuh dinamis menjaga harap tak pernah lenyap.
Selalu begitu setiap kami bertemu.
Tetapi tak lama kenangan itu membayang.
"Aku bangga menjadi bagian dari bangsa ini, karena penduduk miskinnya lebih dari 20 juta orang. dan aku tidak turut di dalamnya"
Perkataan sinis Ridwan menyingkirkan kenangan manis. Senyum dan ekspresinya meluapkan rasa pesimis. Selalu begitu, terkesan egois tetapi realistis. Kini aku merasa diapit oleh malaikat dan iblis. Namun aku tidak tahu, siapa yang benar dan siapa yang harus ditepis.
Ridwan adalah teman kuliahku dulu. Dia terkesan egois dengan sikap dan pemikirannya. Tetapi dia tak pernah peduli dengan anggapan miring orang lain. Baginya setiap orang berhak bahagia dengan caranya masing-masing. Oleh sebab itulah dia menertawakan cita-citaku yang ingin menyejahterakan Indonesia. Karena menurutnya, tak semua orang yang sejahtera bisa bahagia. Dengan kata lain, kesejahteraan tidak menjamin seseorang akan bahagia.