Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jati Diri Uang

13 Maret 2018   06:55 Diperbarui: 13 Maret 2018   08:38 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: techcruch.com

Sejak bertemu dengannya sekitar setahun yang lalu, aku tahu kalau ada yang berbeda dari Rio. Walau berpenampilan sederhana, dia berhasil membuatku tenggelam dalam misteri dirinya. Mungkin bukan hanya aku, tetapi juga ribuan orang di kampus ini. Bukan karena sensasi murahan seperti yang banyak dilakukan para artis yang sudah tak laku lagi, tetapi karena pemikiran dan tindakannya yang tak lazim ditemui di zaman ini.

Seperti ketika mendapat bantuan dana dari kampus berupa beasiswa, Rio dengan tegas menolaknya. Tetapi karena alasan administrasi, dia akhirnya menerima. Rio mengalah karena terlanjur tertera namanya sebagai penerima. Namun seluruh kampus gempar dibuatnya, ketika tersiar kabar bahwa dia menghabiskan semua uang itu dengan anak jalanan untuk makan bersama.

Tindakannya itu membuat Rio dihujat. Ada yang mengatakan dia tak tahu bersyukur, ada yang mengatakan dia terlalu naif, bahkan ada yang mengatakan dia orang terbodoh di dunia ini. "Kau bodoh, Rio. Uang itu bisa mempermudah kau meraih cita-cita" cetus seseorang yang melihat Rio bersama anak-anak berwajah lusuh dan berpakaian compang-camping itu.

Namun berbeda dengan anak-anak dari pers mahasiswa. Mereka memburu Rio untuk menjadi narasumber. Mereka tahu, jika Rio sebagai tokoh utama pemberitaan, penjualan majalah universitas pasti laku keras.

Tetapi Rio menolak diwawancarai.

Layaknya wartawan profesional, pers mahasiswa tidak tinggal diam. Mereka mencari cara untuk mendapat alasan atas apa yang dilakukan Rio. Akhirnya mereka mencoba mewawancarai teman baiknya : aku.

"Apa yang dilakukan Rio tidak biasa, atau mungkin belum pernah terjadi. Anda tahu alasan di balik itu semua?" dengan mengarahkan alat perekam ke mulutku, wartawan bertanya dengan ekspresi rasa ingin tahu yang besar.

"Aku tidak tahu. Kalau dia menolak diwawancarai, pasti dia sudah tahu itu yang terbaik. Jadi aku tak ingin merusak apa yang dianggapnya telah baik," aku tersenyum tipis, sedikit merasa tak enak karena menolak. Apalagi yang mewawancarai adalah seorang perempuan cantik yang terlihat sangat berharap mendapat jawab.

"Tapi ini penting untuk kita dan Rio. Yang dilakukannya bisa menginpirasi banyak orang," desaknya.

Aku berpikir sejenak. Puluhan pertimbangan lahir di otak. Entah tergoda atau ingin terkenal mendadak, aku memberi jawaban. "Dia pernah mengatakan masih sanggup membayar uang kuliah, ketika aku mengajaknya mendaftar untuk mendapatkan beasiswa dari salah satu perusahaan rokok. Mungkin saat ini dia masih juga merasa sanggup tanpa beasiswa."

"Apa ada kemungkinan, dia menolak karena yang  memberi adalah perusahaan rokok?"

"Tidak tahu."

"Apa dia seorang perokok?"

Aku menggeleng. Sepengetahuanku memang Rio tak pernah merokok, tetapi, dia tak pernah anti pada perusahaan rokok. Meski dia selalu tersenyum sinis melihat iklan rokok -- yang kebanyakan menganggap lelaki gagah dengan sebatang rokok di tangan.

"Apa dia punya trauma terhadap uang?" tanya reporter cantik itu lagi.

"Tidak tahu," jawabku. Aku juga tidak tahu kenapa reporter yang cerdas ini berpikir ada seorang manusia yang trauma terhadap uang. Bukankah semua orang bersusah payah untuk mendapat uang agar bisa bahagia?

Akhirnya wawancara berakhir setelah hampir semua pertanyaan dari wartawan kujawab dengan kalimat 'tidak tahu'. Awalnya, aku berpikir hasil wawancara itu tak akan dimuat. Nyatanya, 4 hari kemudian majalah kampus terbit dengan karikatur wajah Rio terpampang besar di sampulnya. Disampul itu terlihat Rio mencampakkan uang yang diterima dari kampus, plus sederet kalimat yang tampak keluar dari mulutnya : AKU MASIH SANGGUP MEMBAYAR UANG KULIAH!

Aku terperanjat. Cepat-cepat aku menemui Rio sebelum dia marah. "Maaf, Io. Aku tidak bermaksud merusak nama baikmu."

Dia tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Par. Lagipula tidak ada yang salah. Biarkan mereka berekspresi, yang penting mereka bahagia."

"Tapi aku tidak mau ada salah paham diantara kita."

"Terus?"

"Kita sama-sama pergi menemui pewawancara itu. Supaya semua jelas," pintaku.

"Tak ada yang perlu dijelaskan, Par. Setiap orang bebas berpikir dan berpendapat yang berbeda. Ketika aku mengatakan 'A' belum tentu kamu menangkap 'A'. Meskipun kau teman baikku. Apalagi orang lain. Yang tidak mengenalku sama sekali."

Tetapi aku terus mendesak. Dengan berbagai alasan yang kuungkap, akhirnya Rio berkehendak. Saat itu juga kami menuju sekretariat pers mahasiswa.

Di hadapan mereka semua, kami meminta penjelasan terhadap tulisan itu. Apalagi dibawah tulisan tertulis namaku : Parlin.

Pemimpin redaksi akhirnya meminta maaf. Kemudian dia memberi penjelasan dengan santun dan lugas. Diakhir penjelasan, dia bertanya, "Kenapa kau melakukannya, Rio?"

Rio tersenyum. Seakan sudah tahu kalau pertanyaan itu akan muncul lagi.

Seolah tahu Rio akan memberi jawaban, semua orang di ruangan itu mendekat ke arah tempat duduk kami. Mereka terlihat seperti tidak ingin ketinggalan jawaban dari Rio. Hanya butuh waktu sedikit, belasan orang itu telah mengerumuni kami.

Saat itu tampak dia akan memberi jawaban. Bola mata Rio berputar menatap ke sekeliling ruang. Dia heran. Ekspresinya mengingatkanku pada satu perkataannya. "Yang kulakukan sebenarnya sangat sederhana, dan begitulah seharusnya. Tetapi karena tidak ada lagi orang yang melakukannya, hal itu menjadi luar biasa."

Saat itu ekspresinya sama dengan ketika dia melihat ekspresi para buruh tulis di universitas ini. Apa dia juga ingin mengatakan hal yang sama?

"Yang kulakukan adalah yang seharusnya. Karena masih banyak yang lebih membutuhkannya namun tak mampu mendapatkannya."

Semua orang menggeleng, seolah mereka tidak percaya baru mendengar kalimat tersebut. Ada suara yang berkata "Tidak banyak orang sepertimu, kau berhati malaikat". Kemudian ada yang berceletuk "Kau tidak pantas hidup di sini. Ini dunia nyata, bukan negeri dongeng". Tetapi perempuan yang mewawancaraiku beberapa hari yang lalu, malah bertanya lagi "Ada alasan yang lain?"

"Aku sudah bosan mendengar kebahagiaan selalu diukur dengan jumlah banyaknya uang."

Beberapa orang mengernyitkan dahi. Ada juga yang tersenyum sinis. Dan sisanya memasang ekspresi ingin mendengar lebih banyak lagi, entah itu penjelasan lanjutan atau curahan hati akan masa lalu yang suram, yang membuat Rio terdengar seperti sangat membenci uang.

"Aku ingin menghina orang yang memuja uang dengan membagikan uang kepada mereka yang terhina karena tidak punya uang. Bagi orang yang merasa membagikan uang adalah tindakan bodoh, mungkin dia salah satu yang kuhina," lanjut Rio.

Di ruang -- yang katanya -- mempunyai semangat berbagi ini, semua orang yang mendengar jawaban itu, terdiam. Mereka tertunduk, seolah mengarahkan mata ke hati yang paling dalam.

*

Sejak pertemuan di ruang pers mahasiswa, nama Rio melejit bak roket. Banyak yang kemudian memuji, namun tak sedikit pula yang mencaci.

Seperti ketika kami lewat dari depan kantin kampus : "untuk apa kuliah kalau bukan untuk uang?" teriak seorang mahasiswa berambut gondrong dengan senyum sinis di wajahnya.

Tetapi Rio hanya tersenyum tanpa tampak ekspresi marah sedikit pun di wajah.

Namun diam tak selamanya emas. Pertanyaan itu semakin hari semakin ramai menyerangnya.

Rio tetap diam dan tersenyum. Malah aku yang semakin 'panas'

"Kenapa tidak dijawab, Io? Aku tahu kau punya jawaban yang bisa membuat mereka diam," desakku.

"Ah... untuk apa, Par? Aku juga pernah menghina mereka"

Lagi, aku tak berdaya oleh jawaban Rio. Aku tak berdaya memintanya untuk menjawab. Meski kutahu dia punya jawaban untuk pertanyaan yang semakin ganas menyerangnya.

Tetapi, itu mungkin strategi yang disusun Rio untuk mendapat perhatian yang lebih banyak. Pasalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa akhirnya mengadakan sebuah acara seminar dengan tema : Pendidikan dan Uang. Rio dipilih sebagai pembicara utama.

Saat itu Rio meminta bayaran besar dan dia berani mengatakan bahwa seminar ini akan memenuhi gedung auditorium universitas.

Dan perkataannya itu terbukti. Ratusan mahasiswa dengan antusias mendengarkan pemaparannya. Termasuk aku. Meski setiap hari bersama dia, aku pun turut penasaran. Apa yang akan dikatakan Rio di seminar itu? Bukankah menyetujui jadi pembicara sama saja dengan bunuh diri? Aku takut kalau seminar itu sengaja dibuat untuk mempermalukan Rio.

Tetapi, mengapa dia minta bayaran besar?

Kecurigaanku tidak terbukti. Sebab sampai akhir acara, tidak ada satu pertanyaan pun yang berusaha menyudutkan Rio. Aku malah semakin penasaran. Mungkinkah seminar ini memang diadakan karena orang semakin tertarik dengan pandangan Rio terhadap uang?

Didorong rasa penasaran yang tinggi, akhirnya aku mengajukan pertanyaan, "Sewaktu kita kecil, orangtua kita sering berkata 'nak, rajin belajar supaya sukses' atau ketika akan kuliah, orangtua kita, saudara maupun teman sering menyarankan jurusan yang bisa membawa kita pada pekerjaan yang bergengsi dan bergaji tinggi. Menurut saudara, untuk apa kuliah kalau bukan untuk uang?"

Rio tersenyum. "Aku kuliah untuk mencapai cita-cita. Mungkin kalian bingung dan bertanya 'bukankah dengan banyak uang akan memudahkan kita mencapai cita-cita?' apakah kalian bertanya demikian?"

Tanpa komando, semua peserta serentak menjawab "Ya!"

"Dan kalian heran karena aku membagi-bagikan uang?"

Sekali lagi, "Ya!"

"Mungkin kalian akan terus heran, karena aku akan terus membagi-bagikan uang. Aku akan mencari uang sebanyak-banyaknya dan membagikan sebanyak-banyaknya kepada mereka yang membutuhkan namun tak punya jalan untuk mendapatkannya."

"Dan kau mempersulit diri untuk mencapai cita-cita?" tanya seorang lelaki berkacamata tebal. Dari penampilannya, ia seorang pengejar cita-cita garis keras.

"Tidak!" jawab Rio tegas, yang membuat semua peserta semakin bingung. "Aku akan terus membagikannya, sampai orang memandang uang bukan sesuatu yang penting lagi. Dan aku juga tak mempersulit diri, karena itu adalah cita-citaku. Dan hari ini, saat ini, kalian turut membantuku. Aku merasa telah meraih cita-cita."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun