Beberapa orang mengernyitkan dahi. Ada juga yang tersenyum sinis. Dan sisanya memasang ekspresi ingin mendengar lebih banyak lagi, entah itu penjelasan lanjutan atau curahan hati akan masa lalu yang suram, yang membuat Rio terdengar seperti sangat membenci uang.
"Aku ingin menghina orang yang memuja uang dengan membagikan uang kepada mereka yang terhina karena tidak punya uang. Bagi orang yang merasa membagikan uang adalah tindakan bodoh, mungkin dia salah satu yang kuhina," lanjut Rio.
Di ruang -- yang katanya -- mempunyai semangat berbagi ini, semua orang yang mendengar jawaban itu, terdiam. Mereka tertunduk, seolah mengarahkan mata ke hati yang paling dalam.
*
Sejak pertemuan di ruang pers mahasiswa, nama Rio melejit bak roket. Banyak yang kemudian memuji, namun tak sedikit pula yang mencaci.
Seperti ketika kami lewat dari depan kantin kampus : "untuk apa kuliah kalau bukan untuk uang?" teriak seorang mahasiswa berambut gondrong dengan senyum sinis di wajahnya.
Tetapi Rio hanya tersenyum tanpa tampak ekspresi marah sedikit pun di wajah.
Namun diam tak selamanya emas. Pertanyaan itu semakin hari semakin ramai menyerangnya.
Rio tetap diam dan tersenyum. Malah aku yang semakin 'panas'
"Kenapa tidak dijawab, Io? Aku tahu kau punya jawaban yang bisa membuat mereka diam," desakku.
"Ah... untuk apa, Par? Aku juga pernah menghina mereka"