"Tak ada yang perlu dijelaskan, Par. Setiap orang bebas berpikir dan berpendapat yang berbeda. Ketika aku mengatakan 'A' belum tentu kamu menangkap 'A'. Meskipun kau teman baikku. Apalagi orang lain. Yang tidak mengenalku sama sekali."
Tetapi aku terus mendesak. Dengan berbagai alasan yang kuungkap, akhirnya Rio berkehendak. Saat itu juga kami menuju sekretariat pers mahasiswa.
Di hadapan mereka semua, kami meminta penjelasan terhadap tulisan itu. Apalagi dibawah tulisan tertulis namaku : Parlin.
Pemimpin redaksi akhirnya meminta maaf. Kemudian dia memberi penjelasan dengan santun dan lugas. Diakhir penjelasan, dia bertanya, "Kenapa kau melakukannya, Rio?"
Rio tersenyum. Seakan sudah tahu kalau pertanyaan itu akan muncul lagi.
Seolah tahu Rio akan memberi jawaban, semua orang di ruangan itu mendekat ke arah tempat duduk kami. Mereka terlihat seperti tidak ingin ketinggalan jawaban dari Rio. Hanya butuh waktu sedikit, belasan orang itu telah mengerumuni kami.
Saat itu tampak dia akan memberi jawaban. Bola mata Rio berputar menatap ke sekeliling ruang. Dia heran. Ekspresinya mengingatkanku pada satu perkataannya. "Yang kulakukan sebenarnya sangat sederhana, dan begitulah seharusnya. Tetapi karena tidak ada lagi orang yang melakukannya, hal itu menjadi luar biasa."
Saat itu ekspresinya sama dengan ketika dia melihat ekspresi para buruh tulis di universitas ini. Apa dia juga ingin mengatakan hal yang sama?
"Yang kulakukan adalah yang seharusnya. Karena masih banyak yang lebih membutuhkannya namun tak mampu mendapatkannya."
Semua orang menggeleng, seolah mereka tidak percaya baru mendengar kalimat tersebut. Ada suara yang berkata "Tidak banyak orang sepertimu, kau berhati malaikat". Kemudian ada yang berceletuk "Kau tidak pantas hidup di sini. Ini dunia nyata, bukan negeri dongeng". Tetapi perempuan yang mewawancaraiku beberapa hari yang lalu, malah bertanya lagi "Ada alasan yang lain?"
"Aku sudah bosan mendengar kebahagiaan selalu diukur dengan jumlah banyaknya uang."