"Tidak tahu."
"Apa dia seorang perokok?"
Aku menggeleng. Sepengetahuanku memang Rio tak pernah merokok, tetapi, dia tak pernah anti pada perusahaan rokok. Meski dia selalu tersenyum sinis melihat iklan rokok -- yang kebanyakan menganggap lelaki gagah dengan sebatang rokok di tangan.
"Apa dia punya trauma terhadap uang?" tanya reporter cantik itu lagi.
"Tidak tahu," jawabku. Aku juga tidak tahu kenapa reporter yang cerdas ini berpikir ada seorang manusia yang trauma terhadap uang. Bukankah semua orang bersusah payah untuk mendapat uang agar bisa bahagia?
Akhirnya wawancara berakhir setelah hampir semua pertanyaan dari wartawan kujawab dengan kalimat 'tidak tahu'. Awalnya, aku berpikir hasil wawancara itu tak akan dimuat. Nyatanya, 4 hari kemudian majalah kampus terbit dengan karikatur wajah Rio terpampang besar di sampulnya. Disampul itu terlihat Rio mencampakkan uang yang diterima dari kampus, plus sederet kalimat yang tampak keluar dari mulutnya : AKU MASIH SANGGUP MEMBAYAR UANG KULIAH!
Aku terperanjat. Cepat-cepat aku menemui Rio sebelum dia marah. "Maaf, Io. Aku tidak bermaksud merusak nama baikmu."
Dia tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Par. Lagipula tidak ada yang salah. Biarkan mereka berekspresi, yang penting mereka bahagia."
"Tapi aku tidak mau ada salah paham diantara kita."
"Terus?"
"Kita sama-sama pergi menemui pewawancara itu. Supaya semua jelas," pintaku.