Mohon tunggu...
Bagus Suminar
Bagus Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Pemerhati Ilmu Manajemen

Ayah dgn 2 anak dan 1 cucu, memiliki hobi menciptakan lagu anak dan pemerhati manajemen mutu pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?

7 September 2024   13:21 Diperbarui: 8 September 2024   10:03 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), khususnya dalam konteks PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), adalah instrumen yang digunakan oleh perguruan tinggi untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi. 

Ketentuan tentang SPMI yang terbaru diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu PT pasal 67 sampai pasal 70. 

Dalam perjalanan, semenjak acuan lama digunakan yakni Permenristekdikti no 62 tahun 2016, diduga banyak perguruan tinggi menghadapi tantangan dan kesulitan dalam mengimplementasikan SPMI. 

Begitu banyak standar yang harus dikelola, begitu banyak manual dan SOP yang perlu dijalankan, begitu banyak formulir yang harus dikendalikan. Kondisi ini menyebabkan manajemen kesulitan mengintegrasikan SPMI dengan praktek manajemen keseharian.

SPMI sering kali menuntut perhatian yang lebih detail, sementara disisi lain manajemen memiliki keterbatasan dalam banyak hal. Dalam kondisi ini adakah tips dan strategi yang bisa ditawarkan?

Kompleksitas SPMI 

Perguruan tinggi sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa SPMI melibatkan berbagai proses yang sangat kompleks, mencakup banyak aspek mulai dari standar pendidikan-pengajaran, standar penelitian, standar pengabdian pada masyarakat hingga standar tambahan lainnya. 

Dalam kondisi seperti ini, manajemen perguruan tinggi dan tim SPMI sering merasa kewalahan. 

Mereka dihadapkan pada banyak informasi, data, kebijakan, dan prosedur yang harus dikelola dengan benar, tepat waktu dan akurat. 

Disisi lain produk-produk jasa pendidikan didominasi dengan layanan yang tidak berwujud (intangible), seperti proses belajar mengajar, konsultasi dan kepuasan layanan. 

Tentu ini bukan persoalan yang mudah untuk memantau, mengukur dan mengevaluasi layanan-layanan yang tidak berwujud. 

Di sinilah muncul kebutuhan untuk bisa fokus pada inti permasalahan, karena sesungguhnya tidak semua hal harus diperhatikan dengan intensitas yang sama. 

Bounded Rationality

Herbert Simon, memperkenalkan Sistem pengambilan keputusan dalam situasi yang serba terbatas,  konsep ini dikenal dengan istilah bounded rationality. 

Konsep bounded rationality menggambarkan bagaimana pengambil keputusan sering kali tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk mempertimbangkan semua informasi dan semua alternatif yang tersedia secara optimal. 

Dengan kata lain, manusia cenderung membuat keputusan yang dianggap 'cukup baik'. Bukan keputusan yang benar-benar perfect /sempurna. 

Hal ini logis karena manusia memiliki keterbatasan waktu, tenaga, sumber daya, dan kapasitas untuk pemrosesan semua informasi yang ada di dunia ini. 

"Bounded rationality mengajarkan bahwa keputusan bijak adalah yang efektif dalam keterbatasan, bukan yang mengejar kesempurnaan."

Dalam konteks SPMI, bounded rationality menarik untuk menjadi bahan pertimbangan segenap pimpinan perguruan tinggi. 

Konsep bounded rationality, membantu memberikan pencerahan kepada para pengambil keputusan. Ide ini membimbing untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan dengan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan mendasar. 

Alih-alih berusaha menyempurnakan seluruh aspek dari sistem yang "rumit dan komplek", manajemen perguruan tinggi perlu mengidentifikasi elemen-elemen mana saja yang paling berpengaruh terhadap mutu pendidikan. 

Selanjutnya pimpinan dapat fokus mengalokasikan sumber daya yang ada untuk menangani masalah-masalah inti dengan sebaik-baiknya. 

Baca juga: SPMI dan Konsep Bounded Rationality

Fokus pada 20%

Vilfredo Pareto adalah seorang ekonom dan sosiolog berkebangsaan Italia. Pareto dikenal karena kontribusinya dalam teori ekonomi, teori manajemen dan ilmu sosial. 

Salah satu ide cemerlang dari Vilfredo Pareto adalah "Prinsip Pareto" atau yang sering dikenal sebagai "Hukum 80/20". 

Pareto mengamati bahwa sekitar 80% dari total kekayaan di Italia (pada masa itu) dimiliki oleh hanya 20% dari populasi. 

Dari pengamatan ini, Pareto menyimpulkan bahwa distribusi yang tidak merata dapat terjadi di banyak aspek kehidupan, seperti perdagangan, produktivitas, dan manajemen.

Dalam konteks manajemen dan organisasi, Prinsip Pareto memberi gambaran bahwa sekitar 20% dari usaha sering kali menghasilkan 80% dari hasil.

Prinsip ini kemudian menjadi landasan penting dalam proses manajemen waktu, alokasi sumber daya, dan pengambilan keputusan. Prinsip Pareto sangat relevan untuk diterapkan dalam upaya penguatan SPMI. 

Baca juga: SPMI dan Prinsip Pareto

Penguatan SPMI

Dalam konteks SPMI, tidak semua aspek (elemen) dalam sistem ini memiliki dampak yang sama terhadap mutu pendidikan di perguruan tinggi. 

Beberapa elemen utama, seperti mutu pengajaran, keterlibatan dosen, dan manajemen kurikulum, mungkin merupakan faktor-faktor yang paling berpengaruh.

Oleh sebab itu, fokus utama pimpinan dan tim SPMI sebaiknya pada 20% elemen ini, karena elemen tersebut yang mampu berkontribusi / memberikan 80% dari hasil yang diinginkan. 

Dengan memusatkan perhatian pada area-area utama, area-area krusial, pimpinan dan tim SPMI dapat mengurangi beban kerja yang tidak relevan sekaligus meningkatkan produktifitas dan efisiensi. 

Berikut adalah beberapa poin penting yang dapat diterapkan: 

  • Identifikasi area-area krusial: Contoh, perguruan tinggi dapat fokus pada peningkatan mutu pengajaran atau pengembangan kurikulum daripada membuang waktu pada prosedur-prosedur administratif yang tidak berdampak langsung pada mutu pendidikan.
  • Alokasi sumber daya (resources): Alokasikan pikiran, tenaga, waktu, dan anggaran pada proses-proses utama yang memiliki pengaruh signifikan terhadap mutu pendidikan.
  • Pengukuran berbasis "Impact": Gunakan indikator-indikator yang relevan untuk menilai hasil dari 20% upaya yang dipilih.

Berikut contoh terkait alokasi sumber daya (Prinsip Pareto): 

  1. Pelatihan dan Pengembangan Dosen (20%) Menghasilkan 80% Mutu Pengajaran: Fokuskan sumber daya yang ada untuk pelatihan dan pengembangan dosen, karena dosen bermutu berdampak langsung pada pengajaran, penelitian, dan proses pembimbingan. 
  2. Pengembangan Kurikulum Inti (20%) untuk Meningkatkan 80% Hasil Pembelajaran: Capaian pembelajaran lulusan ditentukan oleh elemen kunci kurikulum. Fokuskan sumberdaya pada revisi kurikulum inti yang mempengaruhi kompetensi utama, bukan pada kegiatan administrasi atau mata kuliah opsional.
  3. Investasi Teknologi Digital (20%) Menghasilkan 80% Efisiensi Pembelajaran: Alokasikan sumber daya pada teknologi pendidikan yang efisien, seperti platform pembelajaran daring, learning management system (LMS), dan alat-alat media interaktif. Penggunaan teknologi informasi dapat menghemat waktu dosen dan mahasiswa, serta meningkatkan akses terhadap sumber-sumber belajar.

Bounded Rationality

Dalam menghadapi kompleksitas SPMI, pendekatan yang paling realistis adalah dengan memanfaatkan prinsip Pareto yang diiringi dengan konsep bounded rationality. 

Kedua konsep ini memungkinkan manajemen untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan, sehingga tidak terjebak dalam detail-detail yang kurang penting (tidak substantif). 

Alih-alih mencoba memperbaiki semua target dan indikator mutu, manajemen dapat menggunakan prinsip Pareto untuk mengidentifikasi beberapa indikator kunci yang paling berpengaruh, contohnya seperti mutu pengajaran dan keterlibatan mahasiswa. 

Selanjutnya, dengan menyadari dan memahami keterbatasan rasionalitas, pengambil keputusan dapat menetapkan strategi dengan memilih opsi yang dirasa "cukup baik", meskipun opsi tersebut mungkin tidak sepenuhnya sempurna. 

Penutup

Penguatan SPMI di perguruan tinggi memerlukan kecakapan untuk menyederhanakan kompleksitas melalui pendekatan yang lebih efektif, efisien, dan fokus. 

Dalam proses ini, Hukum Pareto memberikan kesadaran (insight) penting bahwa upaya manajemen seharusnya difokuskan pada 20% elemen yang paling berpengaruh, dengan demikian akan lebih mendatangkan nilai dan manfaat yang lebih besar (80% hasil). 

Pendekatan Pareto, Insya Allah dapat membantu manajemen untuk mengalokasikan sumber daya secara optimal, baik dalam hal pemikiran, anggaran, maupun perhatian.

Di sisi lain, konsep bounded rationality mengingatkan kita bahwa keputusan "tidak harus" selalu sempurna, karena secara logis sulit sekali mendapatkan informasi dan data-data yang akurat dalam waktu cepat.

Oleh sebab itu, dalam "decision making", manajemen dapat memilih alternatif-alternatif keputusan yang dirasa "cukup baik" dan efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 

Keputusan yang rasional dalam keterbatasan informasi dan waktu yang ada, memungkinkan pimpinan dan tim SPMI untuk bergerak cepat, tanpa terjebak dalam kesempurnaan yang tidak realistis. 

Dengan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, manajemen perguruan tinggi insya Allah dapat meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan dampak signifikan yang berkelanjutan bagi perguruan tinggi. Stay Relevant!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun