***
Di lihatnya hari yang semakin menyudutkan dirinya, Rusmana berada di persimpangan jalan yang tak jelas. Satu sisi ia tak enak dengan segala kebaikan Tuan besar dan lain sisi yang tak mungkin mengkhianati kesejatian dirinya sebagai bagian dari masyarakat asli anak pulau.
Di antara waktu jedahnya setelah ia mondar mandir mencari solusi persoalan yang membelenggunya, seketika kelibatan masa lalunya meruang di kepalanya.
Saat ia sekolah dan mulai mengerti tentang asal usul sejarah negeri ini. Tentang konolialisme. Pejajahan yang kejam. Membuktikan bahwa negeri ini sangat berpotensi untuk di ambil alih oleh orang-orang asing yang berambisi serakah. Merampas kekayaan semesta Indonesia. Mengakuinya sebagai tanah sendiri yang serta merta di eksploitasi untuk kesenangan  kalangan mereka.
Rusmana sebagai anak yang menyenangi pelajaran sejarah, mengambil makna terbaik bahwa dari sejarah itulah pengenalan terhadap hal-hal peninggalan yang berharga adalah dengan tidak menjual, menggadaikan, menukar keutuhan negeri dengan dollar, emas, atau kenikmatan semata yang menggiurkan.
Dan tentang proyek Tuan besar yang sempat menggiurkan dirinya, ia anggap sebagai ancaman dari dalam bahwa sesungguhnya masih banyak orang-orang yang dilahirkan di tanah sendiri rela menjual semua kekayaan negeri demi kepuasan sementara.
Rusmana bahkan siap menjadi penghuni terakhir di tanah kelahirannya anak pulau Nusantara. Melindungi keutuhan jasad pulau sebagaimana ibu pertiwi melindungi dirinya.
Bagus Setyoko Purwo, tinggal di Babelan Town, kab. Bekasi, menulis fiksi dan non fiksi, bergabung di Forum Sastra Bekasi, menulis di bulletin Jejak Forum Sastra Bekasi, mengajar di SMK Ananda, Bekasi Timur dan STIE Indonesia, Jakarta Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H